Tulusan ini adalah kumpulan Esai Muhammad Ainun Nadjib
Titik Nadir Demokrasi
(Kesunyian Manusia dalam Negara)
Yang sedang kita lalui sekarang ini adalah hari-hari yang sedang sangat rawan-rawannya
bagi kehidupan hati nurani, akal sehat dan kemanusiaan. Hari-hari penghancur
logika, penjungkir-balik rasionalitas dan peremuk kejujuran. Hari-hari di mana
pengetahuan dan ilmu manusia diselubungi oleh kegelapan, atau
sekurang-kurangnya keremangan. Hari-hari di mana manusia, kelompok-kelompok
masyarakat, lembaga dan birokrasi sejarah, bukan saja tidak memiliki akurasi,
kejernihan dan kejujuaran dalam menatap hal-hal di dalam kegelapan – tapi lebih
dari itu bahkan tidak semakin bisa mereka pilahkan beda antara cahaya dan
kegelapan.
Inilah hari-hari di mana kebanyakan manusia bukan hanya kehilangan alamat
kemanusiaannya, alamat rohaninya, alamat moralnya, lebih dari itu juga
kehilangan alamat sosialnya, alamat politik, ekonomi dan kebudayaannya. Inilah
hari-hari di mana standar-standar pengetahuan bersifat terlalu cair, di mana
pilar-pilar ilmu dan pandangan kabur pada dirinya sendiri, di mana kepastian
hukum bersifat terlalu gampang dilunakkan dan diubah bentuk maupun substansinya
sehingga juga sangat gampang kehilangan kepastiannya.
Inilah hari-hari di mana makhluk kekal yang bernama rakyat tidak dipandang
sebagai Ibu dari siapapun, melainkan lebih diperlakukan sebagai anak-anak
kecil, yang sangat banyak di antara mereka diperhatikan hanya sebagai anak tiri
yang hampir selalu dianggap potensial untuk bodoh dan bersalah. Inilah
hari-hari di mana makhluk yang bernama politik tidak lagi mengenali dirinya
sebagai anak dari kedaulatan rakyat. Di mana para pelakunya melakukan
perjalanan sejarah yang berpangkal tidak di kepentingan rakyat dan berujung
juga tidak di kesejahteraan rakyat, tanpa kondisi itu disadari oleh
subyek-subyeknya.
Para pelaku kedhaliman merasa tidak enak terhadap perasaannya sendiri,
sehingga mereka berusaha menutup-nutupinya bungkus kemuliaan dan label
keluruhan – sampai pada akhirnya mereka kehilangan obyektivitas dan benar-benar
percaya bahwa yang mereka lakukan memang bukan kedhaliman. Para pekerja
kediktatoran bisa meminta bantuan kepada para pekerja ilmu untuk meyakinkan
diri mereka bahwa itu bukan kediktatoran. Para penerap monopoli, oligopoly,
subyektivisme kekuasaan dan hedonism keduniaan, bisa dengan gampang membeli
‘parfum-parfum’ untuk mengubah kebusukan menjadi seakan-akan berbau harum,
sampai akhirnya mereka yakin bahwa yang terpancar dari diri mereka adalah
aroma-aroma harum.
Orang-orang yang paling tidak eling dengan mantap menganjurkan agar orang
lain eling. Orang-orang merasa menjalankan etos waspada, padahal yang
diwaspadainya adalah geliat dan kemungkinan gerak dari musuh-musuh yang mereka
ciptakan sendiri: kewaspadaan bukan lagi kehati-hatian berperilaku di hadapan
mata pandang Tuhan, moralitas dan nurani kemanusiaan. Adapun — siapakah yang
sesungguhnya gila, edan dan sinting di zaman serba kabur dan rabun ini– tatkala
hampir setiap ‘aku’ dan ‘kami’ telah sedemikian yakin bahwa ‘dia’, ‘kalian’ dan
‘mereka’ yang edan? Sedangkan para ‘dia’, para ‘kamu’, para ‘kalian’ dan
‘mereka’ adalah ‘aku’ dan ‘kami’ juga bagi diri mereka sendiri?
Inilah hari-hari di mana kejahatan memproduk kebodohan. Di mana kebodohan,
yang bekerja sama dengan suatu jenis kepandaian tertentu, mendorong terciptanya
kejahatan. Di mana kebodohan berdialektika dengan kejahatan untuk memproses
lahir dan berkembangnya destruksi-destruksi sistemik dan structural atas bumi,
nilai-nilai dan manusia.
Inilah hari-hari sarat penyakit. Hari-hari penuh penyakit di dalam diri
manusia. Penyakit dalam kalbu, yang meruak pikiran, kita suburkan, bahkan kita
agung-agungkan, sehingga Tuhan membengkak menjadi gumpalan-gumpalan besar –
karena memang demikian sifat dan kesukaanNya.
Penyakit-penyakit dengan omset ekonomi polhtik yang tinggi, dengan mobolitas
total di hampir seluruh wilayah penjaringan kekuasaan, dengan
penekanan-penekanan konstan agar institusi-institusi informasi dan komunikasi
menjadi kepanjangan tangan dari kedholiman, serta kemudian dengan peraihan
sejumlah kambing-hitam yang periodik, juga dengan sejumlah sesaji zaman yang
bukan hanya dilabuh melainkan juga dicacah-cacah secara kolektif dalam atmosfir
hukum rimba kebudayaan.
Jalanan zaman yang sedang kita lewati sekarang ini adalah jalanan yang
sedang licin-licinya, namun berserakan batu-batu terjal di sana-sini. Di
tempat-tempat tertentu yang semula tidak licin, hari-hari ini ia ditaburi
cairan-cairan penggelincir. Jalanan ini menggelincirkan manusia ke berbagai
arah, di mana sebagian itu dirancang, direkayasa, dengan tingkat kecanggihan
strategis dan taktis yang gelap di mata para pakar namun seluruh dunia tak
meragukannya.
Jalanan ini licin tidak hanya bagi siapapun saja yang mendambakan dan
mempertahankan tegaknya akal sehat, bagi kejujuran, bagi murninya nurani dan
teguhnya prinsip-prinsip nilai: ia juga licin bagi para penguasanya. Para
pelaku ketidakjujuran tergelincir untuk sedemikian khusyuk meyakini bahwa yang
mereka lakukan adalah kejujuran. Orang-orang yang menghancurkan bangunan moral
di dalam diri mereka sendiri, tergelincir untuk percaya bahwa yang mereka
kerjakan adalah kemuliaan dan budi luhur. Orang-orang mengangkat penipu menjadi
pahlawan, orang-orang yang menguburkan para pecinta kebenartan di kubur busuk,
atau sekurangnya melemparinya dengan batu-batu kutukan, yang kemudian disusul
oleh ribuan penguntuk lainnya yang mengutuk tanpa kegelisahan untuk bertanya
apakah merteka benar-benar memahami apa yang mereka lakukan atau tidak.
Orang-orang mem-blow up kilatan emas semu dan mentakhayulkannya habis-habisan
dalam pesta hedonism sejati hanya karena ia terbungkus oleh kekumuhan dan
kebersahajaan.
Inilah hari-hari dimana kekuasaan mustahil untuk dilawan, juga oleh para
penyusun dan pelakunya sendiri. Inilah hari-hari di mana raksasa-raksasa
‘Cakil’ didoakan oleh berjuta orang agar bersegera menusuk perutnya sendiri dan
memuntahkan ususnya keluar. Inilah hari-hari di mana Suyudana bukan hanya mengaku
Yudhistira, melainkan yakin sepenuhnya bahwa ia memang Yudhistira. Inilah
hari-hari di mana para ‘Dursasana’ menatap wajah mereka sendiri di cermin dan
yang tampak adalah Bima. Inilah hari-hari di mana ‘Aswatama’ yang pengecut
mendandani dirinya dengan kostum Arya Setyaki dan membusungkan dadanya karena
percaya bahwa mereka sesungguhnya gagah perkasa. Inilah hari-hari di mana
‘Karna-Karna’ kecil menginterpretasikan tradisi penjilatan sebagai perwujudan
hutang budi dan keabsahan nasionalisme. Inilah hari-hari di mana ‘Semar’
direformasikan dan direfungsionalisasikan dalam peran-peran yang membuat roh
Semar sendiri terpingsan-pingsan karena kebinggungan.
Inilah hari-hari di mana manusia meletakkan dunia, capital, modal dan segala
sumber daya di tangan kanan, sementara Tuhan, para Nabi dan Agama digenggam di
tangan kiri. Tangan kanan itu mengendalikan dan menjadi pelaku
pergerakan-pergerakan utama dalam sejarah, menjadi pusat Negara dan pembangunan
— kemudian hanya pada saat-saat terpojok dan terancam saja genggaman tangan
kiri dibuka, untuk kemudian Tuhan didayagunakan simbiol-simbolNya untuk
menyelematkan diri.
Inilah hari-hari di mana manusia membangun kekuasaan dan kekayaan untuk
menindas orang lain, untuk kemudian menindas kemanusiaannya sendiri. Karena kemanusiaan
tidak hanya beremanyam pada rakyat, pada wong cilik, pada bawahan-bawahan,
melainkan juga bertempat tinggal di badan siapapun saja meskipun ia menduduki
singgasana-singgasana sejarah yang tinggi dan mewah.
Inilah hari-hari di mana konteks yang mempolarisasikan antara ‘yang
berkuasa’ dengan ‘yang dikuasai’ sesungguihnya bersifat multi-dimensi, sehingga
pandangan yang memiliki emphasis perhatian terhadap ‘pemerintah dan rakyat’
atau ‘militer dan sipil’ harus memperbaharui dirinya dan memperluas cakrawalanya.
Karena di dalam tatanan struktur sosial dengan sistem kekuasaan politik yang
sangat bersifat kulturistik: keterkuasaan atau ketertindasan tidak terletak
opposisional selama ini — sebagaimana yang menjadi isyu pokok setiap pemikiran
opposisional selama ini — hanya pada makhluk sejarah yang bernama rakyat, wong
cilik, petani atau kaum buruh; melainkan bisa juga berlaku pada seorang
prajurit, petugas kepolisian, karyawan sebuah kantor pemerintah, atau bahkanpun
seorang Mayor Jendral.
Jadi inilah hari-hari di mana manusia terbumerangi oleh bangunan dan
sistem-sistem kekuasaan yang ia ciptakan sendiri. Jikapun seseorang atau
sekelompok orang mendiami dan menggenggam pusat kekuasaan itu sama sekali tidak
menjamin bahwa ia atau mereka berkuasa atas sistem yang mereka rekayasa sendiri
tersebut. Inilah yang Allah sendiri selalu memperingatkan. Manusia menganiaya
dirinya sendiri.
Atau bahkan antara ‘yang berkuasa’ dengan ‘yang dikuasai’ bisa terdapat pada
sekaligus wilayah ‘kaum penindas’ maupun daerah ‘kaum tertindas’. Lebih dari
itu, peta keterkuasaan dan ketertindasan sudah tidak hanya beralamatkan pada
geopolitik atau geoekonomi, melainkan juga yang lebih intrinsic: geopsikologi.
Di dalam ruang kemanusiaan setiap orang terdapat potensi Negara, potensi militer,
potensi keberkuasaan; sekaligus potensi rakyat kecil, potensi sipil, potensi
ketertindasan. Sebaliknya di dalam kosmos Negara, kemanusiaan yang tertekan
tidak hanya kemanusiaannya wong cilik, tapi mungkin juga kemanusiaannya seorang
Jendral, seorang Bupati, dan lain sebagainya.
Inilah hari-hari kesunyian manusia dalam Negara. Manusia terasing di dalam
rumah sejarahnya sendiri. Manusia menciptakan penjara-penjara politik yang
pengap, penjara-penjara ekonomi yang menyesakkan dan mencambuki punggung, serta
penjara-penjara kebudayaan yang wajahnya gemerlap namun membuat lubuk nuraninya
lenyap ke ruang-ruang hampa. Manusia menciptakan penjara-penjara sampai
akhirnya rekayasa-rekayasa untuk mempertahankan eksistensi penjara-penjara itu
menjelma menjadi penjara tersendiri yang lebih dahsyat kungkungannya.
Sebagian manusia mengasingkan saudara-saudaranya sampai mereka sendiri
terasing dan kesepian, serta tidak kunjung bisa menjamin bahwa jika ia
melepaskan diri dari kesepian itu keadaan akan lebih baik bagi diri mereka.
Manusia terasing dari produk-produk peradabannya sendiri, karena di dalam
bangunan itu kemanusiaan tidak dinomersatukan, juga kemanusiaan yang terkandung
di dalam diri para penguasa itu sendiri. Roda politik menggerakkan kereta
sejarah ke cakrawala yang sesungguhnya tidak dikenal oleh gagasan dan filosofi
awal tatkjala ilmu politik dilahirkan. Roda ekonomi dan teknologi menggulirkan
zaman ke benua-benua peradaban yang di setiap ujungnya membuat rohani
manusia-manusia pelakunya mereka kecele.
Sementara kebudayaan hanya sanggup menyediakan panggung-panggung joget bagi
perasaan-perasaan picisan, bagi napsu-napsu permukaan yang tidak pernah
mempertanyakan dirinya, serta bagi upaya-upaya katarsis kecil-kecilan dan
temporal, atau kamuflase dan eskapisme yang penuh berisi omong kosong yang
dibangga-banggakan. Kebudayaan kontemporer memasang gedung-gedung,
panggung-panggung dan layar-layar pertunjukan serta arena ajojing yang watak
dan temanya satu belaka: yakni proses pendangkalan kemanusiaan.
Inilah hari-hari di mana titik nadir demokrasi telah dicapai dengan amat
sukses, sehingga budaya otoritarianisme semakin tidak bisa dikontrol, tidak
saja oleh lembaga-lembaga kebenaran dan moral, tapi juga bahkan tidak
terkontrol oleh diri para penguasa itu sendiri. Inilah hari-hari di mana
terdapat kerjasama sejarah yang otomatik antara mereka yang berkuasa dengan
mereka yang tidak berkuasa untuk – sampai batas tertentu – bersama-sama
mentradisikan kepatuhan terhadap system kedhaliman yang diciptakan oleh semua
pihak secara dialektis.
Inilah hari-hari di mana kita bisa dengan gambling menyaksikan terputus dan
terbuntunya tugas kebenaran dunia ilmu dan kaum intelektual dari realitas
kekuasaan Negara. Sehingga kenyataan-kenyataan runtuhnya akal sehat politik dan
kebudayaan bukan saja semakin tidak bisa diantisipasi, melainkan terkadang
malah dikukuhkan oleh lembaga-lembaga ilmu. Karena para pekerja kebenaran ilmu,
para pengembara pengetahuan, beserta institusinya, sudah terlalu lama tidak
berkeberatan untuk bertempat tinggal di propinsi sejarah yang tidak memiliki
otonomi nilai dan independensi politik.
Inilah hari-hari di mana Agama semakin terasing dari para pelakunya. Di mana
agama tidak disikapi rendah hati oleh para pelakunya, melainkan dijadikan alat
untuk tidak dewasa dan pemarah. Di mana Agama tidak dijadikan samudera ilmu,
melainkan dijadikan jimat-jimat beku yang disimpan, dielus-elus, namun tidak
diperkenalkan kepada hakekat realitas dan tidak diterjemahkan ke dalam syariat
sosial sebagaimana Agama itu sendiri menuntunnya. Di mana Agama tidak dijadikan
sumur kearifan dan kolam kedamaian, melainkan dipandei menjadi pisau tajam
untuk mengiris-iris ulu hati dan harga diri sebagian hamba Allah.
Inilah hari-hari di mana Agama tidak digali akurasi moral dan power (akhlaq
dan sulthan)nya demi mengontrol dan membimbing perilaku kekuasaan, sehingga
nilai-nilai Agama justru banyak tersisakan sisi simboliknya belaka yang
dipresentasikan justru pada fungsi legalisasi dan legitimasinya terhadap
perilaku kekuasaan belaka.
Inilah hari-hari semakin tidak berdayanya kaum seniman dan pekerja
kebudayaan terhadap proses dekulturasi budaya kekuasaan, sehingga mereka
sendiri mengalami stress kekaburan diri, degradasi integritas sosial serta
hanya terpukau pada khayal-khayal subyektif. Inilah hari-hari ini di mana
kantong-kantong kreativitas dan kemerdekaan mencipta tidak memiliki geografi
konkret, dan hanya terdapat di kandungan hati dan mentalitas masing-masing
seniman dan pekerja kebudayaan.
Inilah hari-hari di mana dua sayap tugas kaum seniman dan pejalan kebudayaan
tiba pada titik mutu terendahnya. Pertama tugas kreativitas kesenian yang
semakin tidak mengenali seberapa luas cakrawalanya, seberapa tingkat eksplorasi
tematik dan fungsi sosial yang semestinya bisa dijangkau. Kedua tugas para
seniman sebagai warga suatu system Negara, untuk mengamankan propinsi
kreativitasnya serta wilayah kemerdekaan seluruh rakyat yang menjadi Ibu
kebudayaannya — melaui jaringan perjuangan hukum dan politik — dan bukan hanya
melalui himbauan serta tradisi mengemis kemerdekaan.
Inilah hari-hari semakin tidak jernihnya mata pandang lembaga-lembaga
informasi dan komunikasi. Para kuli tinta tidak sempat merenung dan harus
berlari cepat dalam keasyikan budaya oplag yang tidak cukup sempat mengontrol
diri dengan (karena semakin tipisnya) tradisi kejernian ilmiah, serta oleh
skala prioritas moral dalam politik keredaksiannya. Para jurnalis tidak punya
waktu, stamina mental dan kelapangan jiwa untuk selalu mempersegar kembali
standar-standar persepsinya terhadap realitas hidup, terhadap ukuran-ukuran
kualitas makhluk manusia, terhadap skala moral dan kebenaran nilai-nilai.
Inilah hari-hari di mana jaringan para pelaku budaya tanding, di mana
network kekuatan-kekuatan opposisional dalam sejarah, di mana segmen-segmen
gerakan demokratisasi tidak kunjung sanggup menyembuhkan penyakit atau
mengurangi kelemahan di dalam diri mereka sendiri. Di mana bukan saja tak
kunjung tercapai jaringan kerjasama yang kondusif dan komplementer simbiose
mutualistic) untuk memproses perbaikan-perbaikan sejarah, melainkan terkadang
malah melarihkan langkah-langkah yang counter-productive. Di mana skala
prioritas perjuangan tak kunjung disepakati, di mana psikologisme dan egoism
antar kelompok tak kunjung bisa disirnakan, serta di mana langkah-langkah
strategis dan taktis tak kunjung dititik-temukan. Di mana ‘pasukan’
demokratisasi masih banyak dipenuhi oleh ideological inter prejudice, oleh lack
of trust serta oleh terpuruknya jaringan itu pada masalah-masalah yang
sesungguhnya tidak prinsipal.
Inilah hari-hari di mana Allah menganugerahimu kesunyian. Di mana Allah
mengujimu dengan hal-hal yang — karena belum tersentuh sungguh-sungguh oleh
tangan kejuanganmu — terasa sebagai duka dan kepiluan. Inilah hari-hari di mana
kegelapan mengepung demi memberimu ilham tentang cahaya. Di mana keedanan
memuncak untuk menawarkan kepadamu kewarasan. Di mana kebuntuan-kebuntuan
menabrakmu dan mengundangmu untuk menjebolnya.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Merindu Nasionalisasi Indonesia
Berangkat dari Jokowi ke Indonesia,
esai ini bukan tentang pemilihan gubernur, politik Indonesia, atau
baik-buruknya pemerintah dan pejabat. Inilah kerinduan manusia Indonesia.
Seusai Pemilihan Umum Kepala Daerah
DKI Jakarta, bangsa Indonesia kini menggerakkan kaki sejarahnya menuju 2014.
Namun, imaji mereka terhadap 2014 sangat buram dan penuh kesemrawutan.
Bangsa Indonesia hampir mustahil
menemukan calon pemimpin yang berani pasang badan, misalnya untuk nasionalisasi
Freeport. Bahkan, menghadapi kasus seringan Century, bangsa kita tidak memiliki
budaya politik kerakyatan untuk mendorongnya maju atau menarik mundur.
Yang rutin, bangsa Indonesia adalah
ketua yang tidak berkuasa atas wakil-wakilnya. Bagai makmum shalat yang tidak
berdaulat untuk memilih imamnya. Bangsa Indonesia hidup siang-malam dalam
penyesalan, dalam kekecewaan atas diri sendiri, tetapi dicoba dihapus-hapus
dari kesadaran pikiran dan hati karena mereka selalu tidak mampu mengelak untuk
memasrahkan kebun buahnya pada rombongan monyet yang silih berganti.
Manusia
Berani
Manusia Indonesia adalah manusia
tangguh, tidak peduli punya masa depan atau tidak. Mereka berani hidup tanpa
pekerjaan tetap, berani beranak pinak dengan pendapatan yang tidak masuk akal.
Berani menyerobot, menjegal, menjambret, dan mendengki seiring kesantunan dan
kerajinan beribadah.
Manusia Indonesia tidak jera
ditangkap sebagai koruptor, tetapi berpikir besok harus lebih matang strategi
korupsinya. Mereka melakukan melebihi saran setan dan ajaran iblis, pada saat
yang sama bersikap melebihi Tuhan dan Nabi.
Manusia Indonesia mampu tertawa
dalam kesengsaraan. Bisa hidup stabil dalam ketidakjelasan nilai. Terserah mana
yang baik atau buruk: Era Reformasi, Orba, atau Orla. Bung Karno, Pak Harto,
Habibie, Gus Dur, atau Mega. Baik-buruk tidak terlalu penting. Benar-salah itu
tidak primer. Setan bisa dimalaikatkan dan malaikat pun bisa disetankan kalau
menguntungkan. Jangan tanya masa depan kepada mereka.
Maka, bawah sadar mereka tergerak
memimpikan masa silam. Mereka memilih Jokowi, tidakpeduli soal mobil esemka.
Ahok biar saja katanya begini-begitu, siapa tahu dia keturunan Panglima Cheng
Hoo yang lebih hebat dari Marco Polo.
Bangsa Indonesia mampu membikin
“siapa tahu” dan “kalau-kalau” menjadi makanan yang mengenyangkan perut dan
menenangkan hati.
Jokowi lho, bukan Joko
Widodo. Kalau Joko Widodo assosiasinya ke Ketua Karang Taruna atau penganut
kebatinan. Akan tetapi, tambahan ‘wi’ telah menyekunderkan ‘Joko’. ‘Wi’ itu
suku kata paling kuat bagi telinga bangsa Indonesia untuk menuansakan masa
silam.
Sudah sangat lama hati rahasia
bangsa Indonesia mengeluh kepada leluhurnya, sampai-sampai mereka membayangkan
saat ini sedang berlangsung rekonsiliasi leluhur: dari Rakai Pikatan, Ajisaka,
Bung Karno, Sunan Kalijaga, Gadjah Mada, hingga Gus Dur. Semua menangisi anak
cucu yang galau berkepanjangan.
“Jokowi” itu nama yang mengandung
harapan. Bangsa Indonesia sudah sangat berpengalaman untuk tidak berharap pada
kenyataan karena mau berharap pada sesama manusia terbukti puluhan kali kecele.
Mau bersandar pada Tuhan rasanya kurang begitu kenal.
Fauzi Bowo dirugikan oleh
penampilannya yang bergelimang teknokrasi dan industri politik. Sosoknya,
wajahnya, gayanya adalah prototipe birokrat yang menguras energi. Namanya pun
kontra-produktif. Fauzi itu nama Islam lusinan, di tengah situasi global di
mana Islam “harus jelek” bahkan “miskin, bodoh, dan pemarah”. Ditambah Bowo
pula.
Kalau “Prabowo” masih lumayan, punya
arti kewibawaan. Bowo itu tipikal umum “wong Jowo”.
Begitu jadi orang Jakarta, Anda
tidak lagi tinggal di Pulau Jawa sehingga setiap tahun harus “mudik ke Jawa”.
Jawa adalah entitas masa silam yang sudah jauh kita tinggalkan. Logat Jawa di
siaran teve menjadi simbol kerendahan kasta budaya, dijadikan bahan ketawaan,
diucapkan buruh atau pembantu.
Bukan
Kendali Manusia
Pasti tidak ada maksud tim sukses
Jokowi untuk berpikir demikian dan menyingkat Joko Widodo menjadi Jokowi.
Sejarah umat manusia pun tidak 100 persen dikendalikan manusia. Ada yang lain
yang bekerja, malah mungkin lebih bekerja.
Waktu pun tidak liniei; meskipun
kita menitinya melalui garis Tinier. Proses-proses sejarah berlangsung dengan
multisiklus dan lipatan-lipatan tak terduga yang sulit dirumuskan pengetahuan
manusia sampai hari ini.
Maka, baik-buruknya gubernur
terpilih Jakarta, siapa pun dia, terlalu relatif untuk diidentifikasi dan
dirumuskan melalui beberapa gumpal ilmu politik, demokrasi dan pembangunan.
Sejarah umat manusia tidak semester dua meter, tidak semata-mata selesai
dihitung per lima tahun: sesungguhnya kita tidak mengerti apakah yang balk dan
benar itu Foke atau Jokowi.
Kita jalani hidup dengan sikap
kristal: kerjakan yang baik di mana pun dengan apa atau siapa pun. Dipacu
dengan rasa syukur dan sangka balk terhadap hari esok sehingga yang kemarin
masih kita sangka, hari ini menjadi doa, besok menjelma fakta.
Bahkan, apa jadinya manusia kalau
tak ada iblis. Bagaimana anak-anak kita naik kelas kalau tidak ada ujian. Apa
jadinya kita semua kalau Allah tidak mengambil keputusan mentransformasikan
Syekh Kanzul Jannah (bendaharawan surga), senior para makhluk rohani yang
sangat dekat dengan-Nya, menjadi Iblis?
Yang dikontrak Allah sampai hari
kiamat, yang menolak bersujud kepada Adam, yang bahkan para malaikat pun
memberi legitimasi “Ya, Allah untuk apa Engkau ciptakan manusia yang toh
kerjaannya adalah merusak Bumi dan menumpahkan darah”.
Mencari
Asal
Orang memilih Jokowi mungkin setahap
perjalanan di alur “sangkan paran”, bawah sadar mencari asal muasal, kerinduan
kepada din sejatinya. Di mana mereka menemukannya pada Jokowi. Ya, namanya, ya,
sosoknya. Jokowi kurus seperti rakyat, kalah ganteng dari Foke. Mungkin rakyat
sadar dulu salah pilih SBY karena gagah-ganteng.
Tidak penting, apakah Jokowi
benar-benar mengindikasikan asal-usul itu atau tidak, bahkan Jokowi juga tidak
akan dituntut-tuntut amat, apakah dia nanti mampu menjadi pemimpin yang baik
atau tidak. Manusia Indonesia di Jakarta tidak sadar sedang mencari dirinya,
bukan mencari Jokowi.
Jokowi beruntung karena mereka
menyangka is yang dicari. Namun, Jokowi punya peluang untuk membuktikan bahwa
memang dia yang dicari.
Bagi orang Jakarta yang Sunda,
diam-diam menemukan sosok manusia Sunda Wiwitan pada Jokowi. Bagi orang Jajarta
yang Jawa dan darahnya mengandung virus wayang, Jokowi seperti Petruk, anaknya
Kiai Se-mar, Sang Prabu Smarabhumi, perintis babat alas Jawa.
Allah menciptakan Adam dengan
menyatakan, “Sesungguhnya Aku menciptakan khalifah di, Bumi”. Manusia dan
bangsa Indonesia mengakui mereka gagal mengkhalifahi kehidupan. Maka, mereka
rindu, seakan-akan ingin mengulang dari awal, dengan sosok dan kepribadian yang
mereka pikir sebagaimana di awal dulu.
Secara rahasia bangsa Indonesia
berpikir bahwa “bukan ini Indonesia”. Maka bawah sadar mereka terbimbing untuk
Nasionalisasi Indonesia.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Allah, 2014
Ada jawaban “close-up” : si FN bagusnya di sini, kacaunya di situ; si JA hebatnya begini, memblenya begitu — tentu saja semua dalam skema nilai-nilai baku kebangsaan dan kenegaraan: kualitas kepemimpinan, kematangan manajemennya, kreativitas pembangunannya, watak sosial budayanya, juga kadar kasih sayang kerakyatannya.
Jawaban yang ini ada yang ambil dari konsep demokrasi modern, ada yang dari filosofi dan budaya tradisi, ada yang dari Agama, tapi tentu saja banyak yang “common sense” atau “kata ini”, “menurut itu” dan lain sebagainya. Yang dari Agama misalnya menyebut pemimpin harus soleh. Soleh maksudnya kebaikan yang dikerjakan dengan konsep, perencanaan dan perhitungan komprehensif sedemikian rupa sehingga “dipastikan” sangat minimal mudlaratnya.
“Soleh” itu “baik” pada formula yang demikian. Ada “baik-baik” yang lain dalam bahasa Tuhan. “Khoir” itu kebaikan yang universal, cair, bahkan Kristal, belum berbentuk, belum aplikatif. “Ma’ruf” itu kebaikan yang sudah melalui dialektika, diskusi, perundingan, pergesekan-pergesekan antar manusia, sehingga kemudian disepakati sebaga aturan bersama. “Ihsan” itu kebaikan yang lahir murni dari nurani manusia: orang berbuat baik meskipun tidak disuruh, tidak diwajibkan, tidak diatur oleh hukum atau etika. Ada lagi “birr”, yang menghasilkan istilah “mabrur” : itu puncak pencapaian kebaikan dalam hubungan spesifik antara manusia dengan Tuhan, pada posisi di mana dunia dipunggungi atau sekurang-kurangnya dinomer-duakan secara total.
Kalau memakai “close-up” pemahaman yang ini, benar-benar tidak gampang menilai mana yang lebih oke antara FN dengan JA. Begitu luasnya kemungkinan dalam kehidupan, namun begitu jauh lebih luasnya cakrawala probabilitas pada diri manusia. Kalaupun persepsi, analisis dan kesimpulan kita tepat tentang JA dan FN, kebenarannya direlatifkan oleh teori ilmu teater: “Tidak ada aktor yang buruk. Yang ada adalah pemain yang berada di tempat yang tepat atau tidak”.
Jadi, soal “casting”. Hidung seindah dan semancung apapun menjadi mengerikan kalau letaknya tergeser setengah sentimeter. Shalat menjadi kebaikan kepada Tuhan hanya kalau dilaksanakan pada interval waktunya. Berdzikir siang-siang itu buruk ketika berbarengan dengan istri bingung tak punya beras. Bernyanyi dan bermusik dangdut itu sangat dilaknat kalau dilaksanakan di halaman Masjid ketika orang sedang shalat Jumat berjamaah.
Bahkan ada orang yang ketepatannya adalah memelihara kambing, bukan ayam. Ada pejabat yang ketepatannya menjadi penjaga gudang. Ada tentara yang ketepatannya berpangkat Kolonel, sehingga Pak Riamirzad Ryacudu ketika menjadi KASAD pusing kepala karena ada temannya yang mengajukan Surat Mohon Tidak Naik Pangkat. Orang macam saya ini hampir sama sekali nir-tepat: jadi intelektual tidak tepat, jadi seniman, kiai, aktivis, dukun, pengasuh Sekolah, pemikir, dan macam-macam lagi — belum pernah benar-benar berada pada koordinat ketepatan.
Kalau keruwetan hidup macam itu dituruti: bagaimana bisa punya presisi pengetahuan bahwa JA tepat memimpin Jakarta? Apalagi terkadang, entah berapa prosentasenya, justru yang diperlukan adalah ketidak-tepatan. Striker sebuah kesebelasan nendang bola agak melenceng, sehingga terkena kaki pemain belakang lawan, sehingga bola meleset dan masuk gawang.
Nabi Muhammad SAW menyarankan mantan musuh utamanya sesudah “Kemenangan Mekah” agar segera cari istri dan berumah tangga. Dilaksanakan. Kelak putra beliau yang dikasih saran ini yang membunuh cucu Nabi. Jengis Khan menghancur-leburkan peradaban Islam meluluh-lantakkan perpustakaan besar Islam Bagdad, kemudian kelak cucunya menjadi tokoh Muslim yang membangun kembali tradisi intelektual dan kebudayaan Islam.
Dalam kasus itu di mana letak ketepatan dan di mana ketidak-tepatan? Penguasa pembunuh keluarga Nabi Muhammad SAW itu menambah teks khutbah Jumat dengan kalimat kutukan kepada Sayyidina Ali bin Abi Thalib. Kelak cucunya menjadi Khalifah terbaik dalam sejarah Islam dan dia yang menghapus kalimat kutukan itu. Karena itu dalam sebuah peperangan, tatkala pasukan musuh keok dan tinggal dipenggal lehernya, Nabi Muhammad SAW melarangnya: “Jangan bunuh, saya sudah mendoakan kebaikan Islam bagi cucu-cucu mereka”.
Jadi JA dan FN berangkulan aja dari maqamnya masing-masing untuk membangun kegembiraan rakyat Jakarta dengan kesungguhan hati dunia akhirat terserah Jokowi bisa wudlu atau tidak, itu wilayah konflik dia dengan Allah. Toh sudah sama-sama bisa makan berkecukupan, bisa beli pakaian lebih dari tiga lembar, punya mobil, dan sudah sama-sama aqil baligh.
Aqil artinya sudah memiliki kesanggupan untuk menggunakan akal. Dan akal itu pasti sehat. Baligh artinya kemampuan untuk menyampaikan, menerapkan, mengaplikasikan, mewujudkan, mengejawentahkan atau mentransformasikan visi menjadi realitas, ilmu menjadi kenyataan, cita-cita dan cinta menjadi entitas kehidupan.
Mereka toh juga sama-sama “Amirul Mu’minin”, pemimpin proses menuju “aman”, dengan landasan “iman”, membawa senjata “amanah”, dengan ujung doa “amin”. Amirul Mu’minin membangun iman amin amanah aman beras rakyatnya, aman sekolah anak-anaknya, aman pasarnya, aman kesehatannya, aman keadilannya, aman hartanya, aman kerjaannya, aman seluruhnya.
Jokowi dan Foke sama-sama Muslim dan Mu’min. Kriteria, parameter atau tanda-tandanya: kalau ada Jokowi dan Foke, kalau ada Muslim dan Mu’min di suatu lingkungan, maka terjamin amanlah harta semua orang, aman martabat semua orang, dan aman nyawa semua orang.
Tetapi jaminan “aman” itu belum pernah benar-benar menjadi pengalaman sejarah, sekurang-kurangnya belum dipercaya bahwa benar demikian. Sehingga atas pertanyaan tentang JA-FN itu muncul jawaban yang sangat lebih jauh “mempercayai” relativitas. Memang lebih luas namun ada semacam tarik-ulur antara kemungkinan dengan kepastian. Semacam jawaban agak bingung antara sangka baik dengan sangka buruk, antara kewaspadaan dengan rasa kapok — oleh suatu keberlangsungan realitas yang mungkin mengecewakan, bahkan mungkin menyiksa.
Kehidupan ini sedemikian tidak pastinya sehingga ada suatu momentum pertandingan sepakbola di mana suatu kesebelasan lebih baik kalah dari pada menang. Karena faktor mental, karakter, route hati dan bioritme, situasi kebersamaan mereka, peta dan tahap turnamen — membuat kesebelasan itu lebih baik mengalami kalah dulu kali ini, demi kebangunan yang lebih matang pada tahap berikutnya. Juga karena kwalitas mental para pemain belum transenden dari situasi kalah atau menang.
Jawaban yang ini berpandangan bahwa dalam hukum dialektika sejarah, belum tentu kalau JA menang itu pasti baik bagi diri mereka atau rakyat Jakarta. Juga kalau FN kalah belum tentu itu buruk bagi keduanya maupun bagi rakyat. Juga tak bisa dipastikan sebaliknya. Tetapi karena keterbatasan rasional, manusia harus mengambil ketetapan pandangan bahwa yang baik adalah kalau JA menang dan yang celaka adalah kalau FN menang. Sementara kalangan yang lain harus memastikan pendapat sebaliknya: bahwa yang aman adalah kalau FN menang dan yang bahaya adalah kalau JA menang.
Keduanya memiliki kebenarannya masing-masing, sehingga yang terindah dalam kehidupan adalah kita manusia menyediakan ruang seluas-luasnya untuk apresiasi bahwa orang lain hidup dalam kebenarannya sendiri yang bisa jadi berbeda atau bertentangan dengan kebenaran kita. Kebudayaan dan peradaban dibangun oleh kesanggupan managemen, kerendah-hatian, dinamika-kontinyu ilmu, kearifan dan kelenturan mental pada manusia di antara perbedaan dan pertentangan itu.
Itulah sebabnya selama pertandingan dua petinju saling mengincar, memukul dan menjatuhkan, kemudian selesai tanding mereka berpelukan, saling mengangkat dan mengacungkan tangan lawannya. Sebab mereka itu “mtsuh” selama pertandingan namun sahabat dalam kehidupan. Partnership yang kompak dalam ideologi untuk sama-sama menghormati sportivitas. Sportif itu bahasa moralnya: jujur. Bahasa hukumnya: adil. Bahasa keseniannya: pas.
Jawaban yang paling “parah” berbunyi semacam “distrust statement”. Suatu ungkapan pesimis yang ternyata optimistik. Misalnya: “Jokowi atau siapapun pasti bisa berbuat baik dan sedikit mengubah Jakarta, tapi tidak akan berdaya menghadapi penyakit-penyakit Indonesia yang sudah terlalu akut. Yang dicuri terlalu banyak, yang mencuri terlalu banyak, modus pencuriannya, formulanya dan teknis strategi pencuriannya saling mendukung dan saling menggelembungkan dengan mental dan budaya kemunafikan yang hampir sempurna.”
“Semua itu muncul di semua lini dan segmen, di semua bidang dan disiplin, di gedung pemerintahan, di sekolah, di lembaga-lembaga apapun, di jalanan, di tempat-tempat ibadah. Teraplikasi pada manusianya dan sistemnya, etika sosialnya dan hukumnya. Komplikasi penyakit Pemerintahan Indonesia di era apapun sudah bukan hanya tidak bisa diatasi, tapi bahkan semua bertengkar ketika mencoba merumuskannya. Dengan pendekatan ilmu dari bumi, planet-planet maupun dari langit sap tujuh”.
“Ini bangsa semakin tidak mengerti dirinya. Ini Negara salah lahirnya. Ini rakyat menjalani 25 tahun Orde Lama untuk menyesalinya, menelusuri 32 tahun Orde Baru untuk mengutuknya, kemudian memanggul 14 tahun Reformasi untuk muntah dan pecah kepalanya. Bawa ke sini Mahatma Gandhi, Abraham Lincoln, Nelson Mandela, Firaun yang cacat teologi namun ratusan tahun sejahtera rakyatnya, serta semua pemimpin dunia yang terpuji dan emas catatan sejarahnya: gabungkan menjadi satu orang, mari bertaruh kalau sampai dia bisa mengatasi masalah Indonesia….”
Jadi bagaimana pesismisme itu bisa bersifat optimistik? Teman itu menjawab: “Barang siapa tidak punya kemampuan untuk mengatasi masalah, maka ia tidak berkewajiban untuk menyelesaikan masalah. Barang berat yang mestinya dimuat oleh truk besar, tidak memberi kewajiban kepada becak atau andong untuk mengangkutnya. Kita yang becak lakukan terus darma perjuangan becak, yang andong aktif terus menyelenggarakan pengabdian becak.”
“Setor-setor kerja keras dan kebaikan ke masa depan sesedikit apapun. Rajin tanam padi terus, karena ada sahabat-sahabat dari pegawai birokrasi alam semesta yang menjalankan kewajiban menumbuhkan padi itu dan menyiapkan panen raya. Ada ratusan Kabinet dalam kehidupan, termasuk yang meneteskan embun dari gigir daun-daun, yang memelihara detak jantung, juga yang menjadwal jam berapa kita buang air kecil pagi ini, siang nanti, sampai kelak kita mati atau datang kiamat besar atau kecil, tanpa bergantung pada keputusan DPR dan Sidang Isbat Depag”.
“Ya Allah, nanti 2014 iku Pemilu dong…. Kalau Engkau berpartisipasi, jatah suara-Mu tak satu, melainkan hidayah-Mu dengan mudah merasuki semua mereka yang sedang bingung menentukan pilihan”.
------------------------------------------------------------------------------------------------------------
------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Presiden
Kalau konstitusi dan undang-undang tidak memungkinkan rakyat mencari pemimpin sendiri, berarti undang-undangnya dibikin tidak berlandaskan kejernihan ilmu, kejujuran demokrasi dan jiwa kasih sayang kepada rakyat.
Saya tidak percaya bangsa Indonesia memang hobi masuk ranjau, sehingga menjalani sejarah dengan gairah sakit jiwa mencari ranjau-ranjau baru. Mungkin karena penderitaan dan ketertindasan sudah menjadi narkoba psikologi dan budaya mereka.
Usia rata-rata penduduk Indonesia adalah 27,5 tahun. Anak-anak muda adalah penduduk mayoritas. Mereka sangat potensial untuk tidak mempermudah jalan bagi siapapun untuk menjadi Presiden. Kriteria dan syarat-rukunnya wajib dilipat-gandakan dibanding presiden-presiden sebelumnya. Ini Negara besar dengan problema sangat besar. Ini bangsa besar dengan ujian yang luar biasa besar. Ini tanah air kaya raya dengan kesembronoan pengelolaan yang sangat melampaui batas. Ini kepulauan raksasa dihuni oleh manusia-manusia spesifik, prolifik dan multi-talent, namun sedang berada di titik nadir ketidakpercayaan diri. Ini Garuda, sedang mabuk jadi Emprit.
Calon pemimpin tidak sekedar diuji integritas moralnya, kematangan proffesionalnya, kredibilitas ekspertasinya, visi masa depannya, akurasinya dalam menemukan segala sesuatu yang bermanfaat bagi rakyatnya, keberaniannya mengambil resiko pribadi untuk keperluan rakyatnya, serta berbagai parameter lainnya yang dikenal oleh pemikiran kenegaraan modern.
Kalau pakai common-sense, Presiden dan Pemerintah memiliki mental berani tidak makan sebelum rakyatnya kenyang. Ibarat kepala keluarga, kalau ada kenduri, ia makan terakhir. Kalau ada kebakaran, semua anggota keluarga ia upayakan keluar rumah duluan. Ibarat kantor, Presiden adalah karyawan rakyat yang datang paling awal dan pulang paling akhir. Presiden siap menjadi orang paling sedih dibanding semua orang.
Atau ambil wacana dari Agama: Presiden adalah orang yang paling berat hatinya melihat penderitaan rakyatnya, sementara ia tidak cengeng atas penderitaannya sendiri. Hatinya tidak tegaan kepada nasib orang banyak. Kalau Malaikat mendadak datang mencabut nyawanya, Presiden merintih: “Rakyatku… rakyatku… rakyatku…”, bukan “Ibu…istriku…anakku….”
Adab sosial Bangsa Jawa menemukan idiom “manunggaling kawula lan Gusti”. Menyatunya hamba dengan Tuhan.
Bukan hamba adalah rakyat, Presiden adalah Tuhan. Itu pemahaman manipulatif untuk keperluan feodalisme budaya dan kekuasaan politik. “Manunggaling kawula lan Gusti” bukan rakyat harus mematuhi dan melaksanakan kehendak Presiden.
“Presiden” itu suatu idiom di dalam bingkai konsep kenegaraan modern yang mengacu pada ideologi demokrasi. Demokrasi menetapkan suatu kebenaran bahwa tanah air dan lembaga Negara adalah hak milik rakyat. Seseorang diangkat menjadi Presiden pada posisi dimandati, dipinjami atau diamanati sebagian kedaulatan dalam batas ruang dan selama waktu tertentu. Maka tafsir feodal “menyatunya hamba dengan Tuhan” tidak bisa dipinjam oleh pemikiran demokrasi untuk mengabsolutkan kekuasaan Presiden.
Mungkin sebagian Raja di masa lalu memperdaya rakyatnya dengan penafsiran yang disebarkan bahwa rakyat adalah “kawula” dan Raja adalah “Gusti”. Tetapi sejak Sunan Kalijaga di abad 14-16 M menginnovasikan penghadiran Semar di dalam peta kekuasaan Kerajaan-kerajaan yang dikenali masyarakat melalui Wayang, struktur hubungan vertikal hamba-Gusti rakyat-Raja direlatifkan oleh adanya Semar.
Semar adalah rakyat biasa, Ki Lurah Semar Bodronoyo di sebuah dusun bernama Karang Kedempel. Pada saat yang sama beliau adalah Panembahan Ismaya. Dewa yang posisinya sangat tinggi, paling senior, di atasnya Bathara Guru Presidennya Jagat Raya. Di atas Semar langsung adalah Sang Hyang Widhi (istilah Arabnya “Ilahi”) atau Sang Hyang Wenang (“Robbi”), yakni yang di segala zaman dikenal sebagai Tuhan itu sendiri dengan sebutan bermacam-macam.
Dengan adanya Semar struktur kedaulatan vertikal dilengkungkan menjadi bulatan. Kekuasaan itu siklikal. Semar ada di titik tertinggi di bawah Tuhan, sekaligus di titik terendah bersama rakyat jelata. Dua titik itu satu, sehingga garis lurus vertikal itu menjadi bulatan. Sangat indah Sunan Kalijaga mendisain demokrasi.
Maka tafsir “manunggaling kawula lan Gusti” yang saya sebarkan beberapa tahun belakangan ini adalah bahwa di dalam diri seorang Presiden, “kawula” dengan “Gusti” itu “manunggal”. Di dalam entitas tugas kepresidenan, rakyat dengan Tuhan menyatu. Di dalam dada dan kepala Presiden, rakyatnya dengan Tuhannya tidak bisa dipisahkan. Kalau Presiden menindas rakyatnya, Tuhan sakit hati. Kalau Presiden mengkhianati Tuhannya, rakyat turut tertimpa kehancuran karena kemarahan Tuhan.
Isi kepala Presiden adalah kesibukan mesin penyejahteraan rakyat, isi dadanya adalah “rasa bersalah” karena belum maksimal bekerja, “rasa malu” karena belum berhasil seperti yang seharusnya, serta “kerendahan hati” kepada Tuhan dan rakyatnya.
Maka sejak semula ia tidak menawar-nawarkan diri, memasang gambar-gambar wajahnya di sepanjang jalan, menyatakan “aku yang baik” — yang maknanya adalah “selain aku tak ada yang baik”. Kata tukang-tukang becak di Yogya: “bisa rumangsa, ora rumangsa bisa”: sanggup merasa tak mampu, bukan mampu merasa “aku bisa”. Toh nanti rakyatnya akan memberi “raport” kepada setiap Presidennya ia bisa ataukah ber-bisa. Orang yang bilang “aku bisa” adalah orang yang tak percaya diri sehingga memompa-mompa dan membisa-bisakan diri.
Sebenarnya agak mengherankan bahwa, rakyat Jawa umpamanya, bisa sedemikian serius kehilangan kearifan lokalnya, setelah mereka terseret memasuki model aplikasi tipu-daya demokrasi untuk memilih pemimpin mereka. Seluruh cara orang-orang yang mencalonkan diri menjadi Presiden, Dewan Perwakilan, Gubernur, Bupati, Walikota hingga Lurah, tanpa terkecuali seluruhnya sangat menunjukkan bahwa mereka adalah orang-orang yang “rumangsa bisa”. Nuansa budaya pencalonan dengan modus “rumangsa bisa” itu dipastikan akan membuat semua orang lain yang berkwalitas “bisa rumangsa” akan minggir dari lapangan politik. Sehingga bisa dipastikan juga bahwa hampir mustahil rakyat akan memperoleh pemimpin yang sebagaimana mereka dambakan dari antara para pemamer wajah yang mutunya adalah “rumangsa bisa”.
Di Masjid dan Mushalla manapun tidak ada orang bodoh tak tahu diri yang berteriak “Ayo kalian berbaris makmum, saya yang paling pantas menjadi Imam shalat kalian”. Dalam kehidupan manusia yang berakal, pemimpin lahir dari apresiasi rakyatnya dan rakyat pulalah yang mendaulatnya menjadi pemimpin. Kiai dan Ustadz menjadi Kiai dan Ustadz karena ummat menemukan kesalehan mereka dan mengangkat mereka menjadi “Ki Hajar”, tempat semua orang merujukkan persoalan. Kiai dan ustadz tidak lahir dari pemilik modal dan pengarah acara televisi.
Kalau pakai filosofi klasik, manusia ada empat: (1) orang yang mengerti dan mengerti bahwa ia mengerti, (2) orang yang mengerti tapi tak mengerti bahwa ia mengerti, (3) orang yang tak mengerti tapi ia mengerti bahwa ia tidak mengerti, kemudian (4) orang yang tidak mengerti dan tak mengerti bahwa ia tak mengerti — maka Presiden kita adalah manusia kategori pertama.
Kalau pakai peta akademis, (1) orang yang tahu sedikit tentang sedikit hal, (2) orang yang tahu banyak tentang sedikit hal, (3) orang yang tahu sedikit tentang banyak hal, kemudian (4) orang yang tahu banyak tentang banyak hal – maka Presiden kita adalah manusia keempat.
Atau pakai pakai pendekatan “intel” : (1) ada sesuatu yang seseorang tahu dan masyarakat tahu, (2) ada sesuatu yang seseorang tahu tapi masyarakat tidak atau belum tahu, (3) ada sesuatu yang masyarakat tahu tapi seseorang itu tidak atau belum tahu, kemudian (4) ada sesuatu yang seseorang maupun masyarakat tidak atau belum tahu — maka yang keempat inilah Presiden kita nanti.
Ia bukan hanya Presiden suatu Negara, tapi juga pemimpin suatu masyarakat, guru suatu bangsa. Presiden berdiri sendirian memandang sesuatu yang semua orang dan ia sendiri belum tahu. Tugasnya sebagai Presiden adalah mencari tahu. Ia berdiri paling depan menembus kegelapan, untuk menemukan cahaya.
Presiden menjadi Presiden karena ia punya kesanggupan akal, stamina mental, keluasan hati, kesabaran rohani serta kekompakan frekwensi dengan seluruh unsur jagat raya — untuk membawa “oleh-oleh” kepada rakyatnya sesuatu yang sebelumnya rakyat belum tahu sehingga belum pernah merasakan. Salah satu hal yang Presiden perlu cari tahu adalah: untuk Indonesia yang hancur lebur sekarang ini, ia wajib berani mati, misalnya beberapa minggu atau bulan sesudah dilantik.
Presiden adalah orang yang paling berani bergerak meringsek masa depan yang gelap. Ia melindungi rakyatnya yang tidak tahu, ia berperang melawan ketidak-tahuannya, kemudian ia memenangkan peperangan itu dan menghasilkan sebuah pengetahuan yang baru sama sekali, yang belum pernah ditemukan oleh siapapun sebelumnya. Presiden adalah “pengarep”, perintis, pelopor, ujung tombak sejarah, yang siap sirna ditelan resiko perjuangan dalam gelap mencari cahaya.
Presiden adalah pengambil keputusan pertama dan utama untuk melangkahkan kaki menapaki kegelapan. Sebab manusia itu hidup dulu baru mengerti, bukan mengerti dulu baru hidup.
Di bawah ubun-ubun kepala Presiden terdapat “chips” penerima dan pengolah cahaya. Daya serap dan daya olah cahaya itu mensifati pandangan matanya, pendengaran telinganya, struktur urat sarafnya, modulasi kuda-kuda jasad dan ruhaninya dengan “badan besar” alam semesta. Maka dari telapak tangannya memancar cahaya.
Dengan suluh cahaya telapak tangan ilmu itu ia menapaki kegelapan. Ya. Masa depan itu gelap. “Aku”, kata Tuhan, “memperjalankan hamba-hambaKu menembus kegelapan malam hari”. Hidup adalah malam hari, karena “sekarang” sesungguhnya tak ada. Tatkala engkau berada di “se”, tiba-tiba sudah “ka”. Dan tatkala engkau tiba di “ka”, “se” sudah masa silam yang “tiada”, sementara “rang” adalah masa depan yang engkau tak tahu apa-apa.
Jika engkau melembut, waktu tampak olehmu. Jika engkau meregang membesar, engkau paham kebesaran ruang, keluasan dan ketidak-terbatasannya tak terjangkau olehmu. Maka kuda-kuda terbaik bagi setiap makhluk, apalagi manusia, adalah kerendahan hati. Itulah ‘kesadaran debu’.
Tak bisa kau tempuh gelapnya “rang” dengan modal “merasa bisa”. Hari siangpun gelap. Sebab matahari bukan benar-benar bercahaya sebagaimana yang ilmu memerlukan. Matahari hanya mengantarkan kesadaran tentang cahaya. Orang menanam tak tahu panennya, orang berjualan tak tahu berapa calon pembelinya. Orang lahir tak tahu matinya. Pada interval antara diri mereka dengan titik ketidak-tahuan itu terdapat bentangan nasib, mungkin ada sejumlah Malaikat berseliweran, Dewa Nasib, makhluk distributor “pulung”, atau apapun namanya.
Mungkin itulah sebabnya Tuhan memberi tuntunan melalui salah satu sifat-Nya sendiri: kalau mau jadi Presiden, pertama sekali kamu harus “mempelajari kegaiban, dan menyaksikannya”. ‘Alimul-ghaibi was-syahadah. Kognitif dan empiris. Kegaiban yang paling utama adalah rahasia hati rakyatmu. Justru karena itu maka sesungguhnya cahaya itu terletak di kandungan hati nurani rakyatmu.
Sebagai Presiden kau menggenggam suluh cahaya. Kau tak punya kemungkinan lain pada posisi itu kecuali melimpah-limpahkan kasih sayangmu kepada rakyatmu. Engkau menjadi kabel yang dilewati arus listrik “Rahman”, cinta yang meluas, serta “Rahim”, cinta yang mendalam, sampai 12 tingkat frekwensi perjuangan kepresidenanmu. Atau sesekali tengok Ronggowarsito: pemimpinmu berikut ini adalah “Satria Pinandita Sinisihan Wahyu”. Pendekar ilmu dan managemen, yang hatinya sudah selesai dari nafsu keduniaan, dibimbing “pendaran-pendaran gelombang elektromagnetik” hidayah Tuhan di ubun-ubunnya.
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Para Kekasih Iblis
Maka orasi seorang tokoh tua di sebuah “rapat gelap” ini mungkin justru merupakan ungkapan cinta yang mendalam dan pembelaan kepada Indonesia:
“Kita bangsa Indonesia jangan sampai berhenti berjuang sebelum Indonesia benar-benar total kehilangan Indonesianya. UUD perlu kita amandemen terus sampai berapa kalipun sampai kelak nasionalisme dan kedaulatan keIndonesiaan terkikis habis”.
“Setiap bikin undang-undang baru, peraturan-peraturan baru, di lembaga kenegaraan sebelah manapun, di tingkat paling atas sampai bawah, sebaiknya dipastikan menuju proyek besar sejarah de-nasionalisasi Indonesia hingga titik paling nadir”.
“Demikian juga policy dan penanganan segala bidang: perdagangan, pertanian, perpajakan, pendidikan, kebudayaan, sampaipun cara berpikir dan selera makan, hendaknya jangan memanjakan ke-Indonesiaan. Bangsa Indonesia adalah bangsa besar yang dengan ketangguhannya siap ditimpa dan memikul ujian-ujian sangat berat yang tak mungkin dipanggul oleh bangsa-bangsa lain”.
“Pemimpin bangsa berikutnya haruslah lebih buruk. Nasionalisme Indonesia harus dihajar habis sampai tingkat kematian yang memungkinkan ia lahir kembali. Kita memerlukan tempo yang lebih tinggi untuk menyelenggarakan kehancuran, kebobrokan dan kebusukan — bangsa kita amat sangat tahan derita, sanggup hidup nyaman dalam kebusukan, bahkan mampu hidup sebagai kebusukan itu sendiri”.
“Dialektika Penghancuran Nasional harus dipacu habis. Kokohkan setiap pemerintahan sebagai perusahaan yang memanipulasi dan mengeksploitasi rakyatnya. Proyek penjualan tanah air dengan segala kekayaannya harus dijadikan ideologi utama”.
Pasti itu bukan pernyataan politik. Bukan anjuran sejarah. Itu jeritan orang patah hati.
Kalau Negara rusak, pemerintahan penuh dusta, sistem bobrok dan prinsip nilai jungkir-balik: yang terutama menangis adalah “orang”. Adalah “manusia”. Adapun Negara, pemerintah, ssstem, nilai, tak bisa menangis, tak bisa bersedih. Juga tak menanggung apa-apa. Yang menanggung duka derita adalah manusia.
Jadi tulisan ini tak lebih hanyalah tegur sapa dengan sesama manusia, dengan derita hatinya, tangisnya, sepi dan bisunya.
Dan apa boleh buat, kalau menyapa manusia, tidak mungkin dilakukan tanpa menyapa juga pihak yang bikin manusia: Tuhan. Kemudian juga IBlis, “hulu” derita ummat manusia.
Iblis berkata : “Tahukan engkau, Muhammad, aku adalah asal usul dusta. Aku adalah makhluk pertama yang berdusta. Para pendusta di bumi adalah sahabatku. Dan mereka yang bersumpah kemudian mendustakan sumpah itu, mereka adalah kekasihku”.
Kurang jelaskah pemandangan wajah Indonesia sekarang ini di kalimat Iblis itu? Kurang tampakkah, sosok pemerintahan Indonesia, tradisi mental banyak pejabatnya, pengkhianatan terhadap amanat kerakyatannya, juga manipulasi kebijakan yang sangat tidak bijak — pada pernyataan Iblis itu?
Dan, pen “citra” an, apakah gerangan ia kalau bukan dusta? Siapakah yang memamerkan wajahnya, menyorong punggungnya, menyodorkan dirinya untuk menjadi pemimpin, selain sahabat dan kekasih Iblis?
Iblis tidak berjarak dengan diri kita, dengan karakter budaya, politik dan pasar sejarah kita. Malah Tuhan yang jaraknya cenderung semakin menjauh dari kita, kecuali pas kita perlukan untuk memperoleh keuntungan atau mentopengi muka.
Akan tetapi dalam kehidupan kita Iblis bukan fakta. Ia hanya simbol. Idiom. Icon. Hanya abastraksi untuk menuding “kambing hitam”. Atau Tuhan kita perlukan untuk kapitalisasi karier, bisnis pendidikan, usaha dagang sedekah dan industri zakat, kostum religi perbankan dan bermacam-macam lagi dusta liberal penyelenggaraan kapitalisme kita.
Tuhan juga makin jadi “dongeng”. Segera Ia akan masuk daftar dongeng sesudah Malaikat dan dan Iblis. Peta mitos. Khayalan tentang suatu pemahaman yang disepakati istilahnya: Iblis, Setan, Dajjal, sebagaimana abstraksi kata Bajingan, Bangsat, Dancuk, Anjing. Sebab pada makian “Anjing!” yang dimaksud bukan benar-benar anjing. Anjing adalah binatang yang baik, tidak pernah berdosa, tidak pernah berbuat jahat dan tidak ada statemen Tuhan yang menyatakan bahwa anjing masuk neraka. Bahkan dalam faham pewayangan malah Puntadewa atau Prabu Dharmakusuma yang hidupnya sangat ikhlas dan sumeleh, tidak bisa naik ke langit yang lebih tinggi sementara anjingnya melaju ke sana.
Iblis dipahami sebagai simbol, tidak sebagai fakta. Itupun wilayah berlakunya simbolisasi Iblis tidak dipetakan secara memadai. Iblis diidentifikasi sebagai “idiom” untuk menyebut segala jenis keburukan dan kejahatan manusia — dan itu tidak sepenuhnya benar. Sedangkan “arupadatu” di Borobudur pun fakta, tak hanya “rupa datu” yang tampak oleh mata, yang tergolong “Ilmu Katon”: pemahaman tentang segala sesuatu yang bisa dilihat dengan mata. Iblis sendiri tidak sepenuhnya tinggal di wilayah “arupadatu”. Ia sangat faktual di “rupadatu”, sebab ia berada pada syariat utama kehidupan manusia, yakni darah yang mengalir di dalam tubuhnya.
“Kamu Muhammad”, kata Iblis suatu hari, “tak akan bisa berbahagia dengan ummatmu, karena aku bisa memasuki darah mereka tanpa mereka bisa menemukanku”. Iblis melanjutkan, “aku minta kepada Allah agar menganugerahiku kemampuan untuk mengalir di dalam darah manusia, dan Allah menjawab Silahkan!”.
Sebentar. Yang menyuruh Iblis datang ke Muhammad adalah Tuhan sendiri. Yang disuruh itu lazimnya adalah anak buah. Dan kalau musuh tidak pada tempatnya menyuruh musuh. Allah menginstruksikan agar Iblis tidak berdusta kepada Muhammad, menjawab pertanyaan dengan jujur, serta membuka semua rahasia tugasnya dari Allah di medan kehidupan manusia.
Coba ingat kata-kata Iblis “Akulah makhluk pertama yang berdusta”. Fakta dusta Iblis yang pertama adalah ia tidak mau bersujud kepada Adam. Penolakan untuk menghormati manusia ini parallel dengan pernyataan semua Malaikat kepada Tuhan: “Kenapa Engkau ciptakan manusia, yang kerjanya merusak bumi dan menumpahkan darah”. Andai di-kalimat-kan, Iblis meneruskan: “Maka aku menolak bersujud kepada Adam”.
Kemudian Allah mengizinkan Iblis yang meminta “tangguh waktu” sampai hari Kiamat, untuk kelak membuktikan bahwa setelah menjalani sekian peradaban, manusia terbukti tidak punya kelayakan untuk dihormati atau “disembah” oleh Iblis dan para Malaikat. Dan Iblis hari ini tersenyum-senyum: tak perlu nunggu sampai Kiamat, datang saja ke Indonesia tanggal berapa bulan apa saja untuk menemukan bahwa penolakan bersujud oleh Iblis itu pada hakekatnya bukan dusta.
Jadi, siapa yang lebih kompatibel dengan neraka: kita atau Iblis? Ketika ada orang berbuat jahat, kita maki “Dasar Iblis!”, secara idiomatik makian itu tidak faktual. Ketika 70.000 anak-anak Iblis berdebat, lantas salah satu dari mereka memaki “Dasar manusia!”, itu bisa jadi itu malah benar dan jujur.
Kayaknya salah satu kesalahan manusia yang paling serius adalah memanipulasi Iblis. Padahal seluruh keburukan yang kita ludahkan itu bukan bikinan Iblis, melainkan produk keputusan kita sendiri.
“Aku tidak diberi kemampuan oleh Allah untuk menyesatkan manusia”, kata Iblis lagi kepada Muhammad, “Aku hanya membisiki dan menggoda. Kalau aku dikasih kuasa untuk menyesatkan manusia, maka tak akan tersisa satu orangpun yang menjadi pengikutmu. Sebagaimana engkau Muhammad, tak ada kemampuanmu untuk memberi hidayah kepada manusia. Engkau hanya berhak dan mampu menyampaikan, tetapi tak bisa mengubah hati manusia. Sebab kalau kau dianugerahi kesanggupan untuk memberi hidayah, tak akan ada satu orangpun yang menjadi pengikutku”.
Begitu banyak — mengacu ke Borobudur — fakta “rupadatu” pada kehidupan manusia yang mata mereka tak melihatnya. Udara yang ia hirup, suaranya sendiri, bahkan mata tidak mampu melihat mata, paling jauh ia melihat bayangannya di cermin, tapi bukan diri mata itu sendiri. Jangankan lagi dengan semakin canggihnya teknologi ultra-modern sekarang: kita bingung siaran televisi itu berasal dari “rupadatu”, diantarkan oleh “arupadatu”, ditangkap dan diekspressikan secara “rupadatu”. Belum lagi ke kerjaan frekwensi yang lain: software di komputer, lalulalang Sms, Bbm, unduh ini unggah itu. Dulu saya menyangka telegram itu dikirim kertasnya meluncur nyantol lewat kabel-kabel sepanjang jalan. Se-nyata dan se-faktual itulah Iblis dalam kehidupan kita, bahkan di dalam diri kita, bahkan ia mengalir di dalam darah kita.
Maka sebagaimana formula “casting” Iblis, orasi tokoh tua kita di atas tepatnya dipahami tidak dengan logika linier. Ia suatu lipatan, mungkin dialektika berpikir yang zigzag, mungkin spiral, mungkin siklikal. Kalimat seniman kita “Nasionalisme Indonesia harus dihajar habis sampai tingkat kematian yang memungkinkan ia lahir kembali” adalah sisipan cita-cita mulia di tengah deretan pernyataan yang seolah-olah mendorong kita ke kehancuran.
Muhammad bertanya, “Siapa temanmu?”
Iblis menjawab, “Para pemakan riba”. Sangat jelas mappingnya di Indonesia.
“Siapa tamumu?”
“Para pencuri”. Sampai-sampai diperlukan KPK, yang kita doakan segera bubar, yakni sesudah Kepolisian Kejaksaan Kehakiman bisa dipercaya untuk menangani perilaku tamu-tamu Iblis.
“Siapa utusanmu?”
“Tukang-tukang sihir”. Sihir pemikiran, cara berpikir, peta manipulasi wacana berpikir, di Sekolah, Kampus, semua media wadah pemikiran.
“Siapa teman tidurmu?”
“Para pemabuk”. Mabuk idolatri, mabuk tayangan-tayangan, mabuk artis-artisan, Ustadz-ustadzan, Gus-Gusan, Kiai-Kiaian… yang terbuat dari plastik… seperti mobil-mobilan untuk kanak-kanak di pasar Kecamatan.
Iblis juga menyindir kita: “Gosip dan adu-domba adalah hobiku”.
Ada baiknya kita undang Iblis menjadi narasumber rembug nasional, dengan syarat: “Aku mendatangi semua manusia, yang bodoh maupun pintar, yang durjana atau yang salah, yang bisa membaca atau buta huruf. Semuanya, kecuali orang ikhlas”.
------------------------------------------------------------------------------------------------------------
------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Hinalah Daku, Kau Kusayang
Tak ada perdebatan kenapa hanya 63 tahun, sementara pendahulunya, misalnya Adam atau Nuh, ditugasi menjadi pelakon utama antara 900 sd 1300 tahun. Mungkin Allah ambil keputusan begini: Muhammad sebentar aja, tetapi saya bawain buku panduan lengkap, Al-Qur’an, tinggal disampaikan, terserah manusia memakainya atau tidak.
Para pendahulu dikasih ratusan tahun tapi ternyata tidak cukup untuk meneliti dan menemukan jatidiri. Maka yang terakhir ini 63 tahun saja, dengan “buku manual” yang terjaga kemurniannya secara absolut. “Inna nahnu nazzalnadz-dzikro wa inna lahu lahafidhun”, Allah kasih buku bimbingan, dan Ia berjanji menjaganya.
63 tahun dengan pencapaian sejarah yang membuat Michael Hart meletakkannya sebagai tokoh nomer satu yang paling berpengaruh dalam sejarah ini, terlalu revolusioner dan ekstra-fenomenal — sehingga sangat potensial untuk melahirkan rasa cemburu dan kedengkian di seluruh muka bumi. Mungkin karena itu “software” manusia Muhammad juga disiapkan oleh Allah untuk memiliki ekstra-resistensi terhadap berbagai jenis pelecehan yang amat merendahkannya.
Sejak Muhammad mensosialisasikan “tauhid” di komunitas sekitar Ka’bah Mekah, siang malam ia diejek, dihalangi, dirancang untuk dibunuh, atau dilempari batu seperti ketika ia berimigrasi ke Ethiopia.
Tak hanya teologinya yang ditolak dan dianggap anarkis. “Hak paten” Muhammad atas sumber air Zamzam karena ia adalah cucu penemunya, yakni Mbah Abdul Muthalib: merupakan ancaman terhadap dominasi konglomerat Abu Jahal atas perekonomian Mekah. Selama ini kita terlalu berpikir polos, menyangka bahwa yang diberangus hanya “tauhid”, bahwa yang dihancurkan adalah Islam –- padahal faktor air zamzam, juga tambang minyak, sebenarnya mungkin lebih primer.
Melihat wataknya, soal Agama tak penting-penting amat bagi Abu Jahal. Tapi para anak buahnya terperdaya; mereka pikir “Muhammad” dan “Islam” nya yang menjadi sasaran utama. Sehingga fokus mereka adalah memukuli Muhammad, membuat karikatur untuk memperolok-olokkannya, membikin film yang memperhinakannya, bikin macam-macam games di internet untuk menyebarkan virus kebencian kepada Muhammad.
Beberapa tahun yang lalu di banyak forum Maiyah di berbagai daerah, saya pasang layar untuk menunjukkan gambar-gambar dan video penghinaan itu. Dan saya bertanya kepada semua yang hadir; “Kira-kira kalau Rasulullah melihat tayangan-tayangan penghinaan ini, akan naik pitam atau tersenyum?”
100% hadirin di semua tempat menjawab: “Tersenyum”.
“Apa yang kira-kira diucapkan oleh beliau?”
Jamaah menjawab: “Berdoa, ya Allah ampunilah mereka, karena mereka tidak mengerti apa yang mereka lakukan”.
“Lha kita”, tanya saya lebih lanjut, “akan ikut tersenyum dan berdoa seperti itu ataukah mengamuk, demo, membikin tayangan penghinaan balasan, atau gimana?”
Mengamukpun bisa dipahami, tersenyum juga oke. Demo juga wajar, diam dalam kesabaran juga tidak aneh. Yang mungkin perlu disepakati adalah jangan melakukan apapun yang memang dikehendaki oleh mereka yang memasang ranjau melalui penghinaan itu. Jangan menjelma minyak, karena yang mendatangimu adalah api.
Para penghina Nabi Muhammad itu berjasa besar kepada Ummat Islam, karena repot-repot menciptakan momentum, konteks dan nuansa kekhusyukan agar kita semua lebih rajin menyatakan cinta dan kesetiaan kita kepada Allah dan Muhammad.
Bentuk pernyataan cinta itu bisa batiniah saja, bisa dengan pekikan-pekikan dalam demo, bisa counter-informasi, atau apapun. Yang penting tidak perlu “GR” seolah-olah Muhammad butuh pembelaan kita karena beliau kita anggap lemah dan kita yang kuat. Jadi, pembelaan kita atas Muhammad sasaran utamanya adalah integritas kita sendiri di hadapan beliau dan Allah. Apalagi semarah-marah kita terhadap penghinaan itu, masih jauh lebih murka Allah, sebab cinta kita kepada Muhammad tidak ada sebutir debu dibanding cinta Allah kepada kekasih-Nya itu.
Kaum Muslimin juga diam-diam berterima kasih kepada para penghina Muhammad karena kekejaman mereka adalah peluang sangat indah untuk memaafkan mereka, sehingga derajat kita meningkat di mata Allah. Penghinaan adalah rejeki kemuliaan bagi yang dihina. Ayo, hinalah daku, kau kusayang.
Tahun 2008 bersama musik Kiai Kanjeng saya pentas di distrik dekat rumah Geerd Wilders, Belanda, orang penting dalam kasus film penghinaan atas Islam yang membuat Theo van Gogh dibunuh oleh pemuda Muslim keturunan Maroko. Sebelum atau sesudah pentas kami berniat bertamu ke rumah beliau, tapi tak jadi karena beliau pergi tak jelas ke mana. Kami menyesal karena gagal menyampaikan ucapan terimakasih atas penghinaannya, demi mengurangi dosa-dosa kami.
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Kaum Muda Masa Depan Bangsa
Sebenarnya terserah masing-masing untuk mengambil sisi yang mana dalam menilai bangsa Indonesia. Boleh pilih hipotesis bahwa bangsa ini sengaja dikubur kenyataan sejarah masa silamnya, sehingga penduduk bumi hanya mengenal Yunani Kuno, Mesir Kuno, Mesopotamia, atau Inka Maya. Statemen Santos Brazil bahwa Negeri Atlantis tak lain adalah nenek moyang Nusantara tidak boleh dilegalisir secara ilmiah.
Yang punya duit dan yang mengolah duit di abad ini adalah keturunan dua kakak beradik, yakni Ismail dan Ishaq, putra Mbah Ibrahim. Sementara di bawah tanah sedang mulai diyakini bahwa Ibrahim adalah anak turun Bangsa Nusantara yang lahir oleh salah seorang putra Nuh. Salah satu pendekatan ilmu menduga Adam adalah produk hibrida makhluk abu-abu, sementara manusia Nusantara adalah hibrida yang lebih “gawat”; blasteran antara ekstrem densitas positif dengan ekstrem densitas negatif.
Maka manusia Nusantara memiliki kenekadan hidup melebihi manusia bangsa manapun di muka bumi. Kata “nekad” tidak ada padanan bahasanya. berani merundingkan rencana korupsi ketika air wudlu belum kering. “Tolong yang 10% dikasih para Kiai, yang 10% dihibahkan ke Pesantren, jelasnya nanti kita tahlilan di Hotel X tanggal sekian jam sekian….”. Yang dimaksud para Kiai adalah anggota DPR tertentu yang terkait dengan proyek yang sedang akan disunat. Pesantren adalah pejabat Kementerian yang merupakan jalur proyek itu. Tahlilan maksudnya adalah meeting untuk pembagian apel Malang, apel Washington dst yang kemudian diubah idiomnya dengan kata-kata dari tradisi budaya Islam.
Bangsa nekad berani kawin tanpa punya kerjaan. Berani kredit motor ketika hutang yang dari kemarin masih bertumpuk. Berani naik menara tinggi pakai sandal jepit sambil merokok tanpa tali pengaman. Berani naik atap kereta api ratusan orang sekaligus tanpa berpegangan apa-apa. Kalau sudah tertangkap korupsi langsung pakai peci atau kerudung dan jilbab, begitu duduk di kursi pengadilan sudah nenteng tasbih di jari-jemarinya. Bangsa yang tidak kunjung hancur oleh krisis-krisis perekonomian, tetap menang kontes tertawa dan tersenyum sedunia, industri kuliner melonjak ekstrem, kampung-kampung dan jalanan tetap memancarkan kehangatan hidup.
Ada ratusan lainnya contoh ketangguhan manusia Nusantara. Ketangguhan, keanehan dan kegilaan. Tidak sekedar memiliki kesanggupan untuk mengalihkan area hujan cukup dengan sapi lidi dan cabe merah, atau memakelari peluang cium Hajar Aswad di tengah jejalan ratusan ribu orang berthawaf mengelilingi Ka’bah. Akan tetapi sisi itu boleh dianggap isapan jempol dan khayalan untuk menghibur-hibur diri dari kebrengsekan kehidupan bernegara yang tak kunjung usai. Setiap orang berhak ambil sisi lain: Bangsa Nusantara adalah Garuda yang sangat jinak dan berkekuatan Emprit: bisa dijajah ratusan tahun oleh beberapa peleton Satpam sebuah perusahaan Negeri Belanda….
Ada yang berpikir kontekstual: ayam tak mungkin melakukan pekerjaan burung, tapi burung juga jangan melakukan kebangkitan ayam. Kalau bangsa Indonesia adalah Garuda, kebangkitannya harus bervisi Garuda. Kalau bangsa Indonesia tidak tahu siapa dirinya, bagaimana mendisain kebangkitannya.
Tetapi ada juga yang berpikir universal dan esensial: terserah siapa kita dan siapa nenek moyang kita, pokoknya hari ini kamu punya potensi apa, kembangkan secara maksimal dengan kerja keras dan ketekunan.
Kita kembali close-up menatap diri. Bangunan NKRI disangga oleh lima pilar. Pilar pertama, yakni yang utama, sangat besar, tinggi dan berada di tengah bangunan, adalah rakyat.
Empat pilar lainnya, yakni kedua: Kaum Intelektual. Untuk konteks Negara modern disebut Kelas Menengah. Wilayah perannya: Legislatif, Eksekutif, Yudikatif, dan Pers.
Pilar ketiga, Tentara Rakyat. Sekarang TNI dan Polri. Pilar keempat, Kraton-kraton dan kekuatan kebudayaan. Pilar kelima, intitusi Agama-agama dan bangunan spiritualisme.
Pada era awal kemerdekaan hingga menjelang akhir 1950an, terdapat keseimbangan yang lumayan di antara lima pilar itu. Kemudian mengerucut ke “Aku Sukarno”, lantas pada 1965 dijebol oleh strategi “anak petani” Suharto yang mempersiapkan kekuasaan sejauh tujuh tahun lebih sebelumnya. Untuk kemudian mendayagunakan Pilar Ketiga, dengan membonekakan Pilar Kedua dan mengebiri Pilar-pilar lainnya.
Suharto dengan Pelita 5×5 tahun, pupus di tengah jalan, sesudah ia menggeser landasan kekuatannya dari “merah putih” ke hijau, dari ABRI merah putih Ali Murtopo Beny Murdani ke ABRI hijau Hartono, dari Merah Putih Golkar ke embrio politik hijau melalui persemaian ICMI. Kekuasaan global yang menguasai bumi punya “pasal”: Indonesia silahkan maju dan jaya perekonomiannya, bahkan boleh berkibar Tri-Sakti (politik, ekonomi dan kebudayaan)nya, asal jangan “pakai peci”.
Karena pergeseran warna Suharto dari merah putih ke hijau, dari Suharto abangan ke Haji Muhammad Suharto, dari “Islam Jawa” ke “Jawa Islam”, ditambah sejumlah variable lain, maka Reformasi direkayasa untuk menjatuhkannya. Mahasiswa dan Kelas Menengah intelektual dibusungkan dadanya di-casting jadi pahlawan yang mampu menggulingkan Suharto, serta dibikin tidak ingat bahwa mereka tidak mampu menggulingkan Gus Dur, Megawati dan Susilo Bambang Yudhoyono. Sambil disibukkan dengan sensasi budaya tawur dan euforia peradaban busa-busa intertainment.
Suharto lengser, tenang-tenang menyiram kembang di Cendana dan merokok “klobot”, tidak minta suaka ke luar negeri, tidak di demo di RT-RWnya, senyum-senyum melihat Reformasi, perih hatinya melihat anak-anaknya, menyesali Ilmu Pranatamangsa dan Ilmu Katuranggan yang sanggup ia terapkan dalam menguasai Indonesia selama 32 tahun, namun tidak sedikitpun ia mampu mengaplikasikan di keluarga kecil Cendananya.
Suharto benar-benar “ora petheken” selama tidak menjadi Presiden di sisa hidupnya. 16 bom di 8 pom bensin dan 8 titik jalan tol seputar Jakarta Kota dia acuhkan, padahal siap mengamankan Istana dan kekuasaannya kalau ia kasih kode dalam pertemuan 19 Mei 1998 di Istana Negara. Bahkan Suharto membuka dada dan tangannya dengan “4 Sumpah”: “Pertama, saya, Suharto, mantan Presiden RI, bersumpah kepada Tuhan Yang Maha Esa dan rakyat Indonesia bahwa saya tidak akan melakukan apapun untuk menjadi Presiden lagi. Kedua, untuk turut campur dalam pemilihan Presiden. Ketiga, siap diadili oleh Pengadilan Negara untuk mempertanggungjawabkan kesalahan-kesalahan saya selama menjadi Presiden. Keempat, siap mengembalikan harta rakyat berdasarkan putusan Pengadilan Negara….”
Ia tahu tak akan pernah diadili. Hanya dikutuk, dibenci dan dirasani. Sebab kebanyakan orang Indonesia ingin menjadi dia, calon-calon penguasa bukan anti-Suharto, melainkan ingin menggantikan dan memperoleh laba, keenakan dan kenikmatan yang ia peroleh 32 tahun. Maka ia tidak lari ke mana-mana, jangankan ke luar negeri, pindah RT-pun tidak. Ia tenang sembahyang, secara resmi mengangkat seorang Imam untuk memandunya berwirid husnul khatimah.
Akhirnya ia dipanggil Tuhan, meninggalkan rakyat Indonesia yang makin kebingungan menentukan Sukarno itu baik atau buruk, Suharto itu benar atau salah, sebenarnya mana rujukan masa depan kita: Orde Lama, Orde Baru ataukah Reformasi. Bahkan para penganut substansialisme hampir pecah kepalanya tak bisa menjawab SBY ini beneran Presiden atau Presiden-presidenan terbuat dari plastik. Sambil bersedih hatinya: dulu kita muak pada Bung Karno, tapi tetap bangga kepadanya. Dulu kita benci Suharto, tapi tidak sampai berani melecehkan bahkan menghinanya, sebagaimana sekarang orang melakukan pelecehan dan penghinaan itu di berbagai media bebas maupun di jalanan-jalanan.
Apalagi kalau melihat lebih spesifik dan detail — misalnya — atas pertimbangan keguru-bangsaan apa Bung Karno membubarkan HMI dan begitu dekat dengan PKI. Atas pertimbangan masa depan yang bagaimana Pak Harto menyimpan sejumlah rahasia 1998, termasuk sampai wafatnya tidak mengizinkan buku “Lalu lintas Keuangan Cendana” diterbitkan. Sebagaimana HB-IX juga sampai wafat beliau menolak membuka rahasia tentang fakta Perjuangan 1 Maret 1949, tentang peran Suharto yang sebenarnya.
Kita bangsa Indonesia tidak mau disiksa terus menerus oleh kebingungan, sehingga yang penting sekarang di tempat masing-masing kita sibuk “cari untung”. Kita manusia Indonesia memfokuskan diri pada tema-tema kecil, sekunder dan parsial. Karena yang besar-besar hampir mustahil diidentifikasi dan dielaborasi, serta tak mencukupi bahan-bahan sejarahnya. Juga tidak akan populer.
Akan tetapi kita jangan mati dengan melepas anak-anak kita buta tak tahu belakang dan tak mengerti depan. Sebenarnya saya gembira dan optimis hampir tiap malam di berbagai wilayah saya berjumpa dengan ribuan anak-anak muda yang berjuang menyembuhkan kebutaan hidupnya. Penduduk Indonesia sekarang rata-rata usianya adalah 27,5 tahun. Dan yang saya jumpai sejauh saya berkeliling ke pelosok-pelosok sejak hari kedua Suharto jatuh, adalah para pemuda usia tersebut dengan sorot mata yang aneh.
Aneh karena muatan orisinalitasnya. Mereka tidak hancur oleh ketidak-menentuan keadaan Negaranya. Mereka tidak semena-mena bisa dicuci otak dan mentalnya oleh industri disinformasi dan peradaban hiburan kekonyolan. Anak-anak muda Nusantara sedang mempersiapkan kebangkitannya. Ada gerakan 1 juta petani muda, ada eksperimentasi-eksperimentasi keIndonesiaan di segala bidang. Pelan-pelan tapi pasti akan lahir kaum muda visioner dan expert, dengan atau tanpa profesionalisme kependidikan. Nutrisinya meningkat, daya akuntansinya makin tajam, ‘militerisme atas diri sendiri’ atau kedisiplinan dan kesungguhannya lahir serius, di dunia maya mereka juga sangat mengincar supremasi. Bahkan sejarah hari esok Indonesia tidak bisa mengelak dari pemikiran-pemikiran baru kaum muda untuk mentransformasikan ketatanegaraan NKRI dan men-saleh-kan konstitusi dan hukumnya.
“Saleh” adalah kebaikan yang dihitung dan disimulasikan sedemikian rupa sampai manfaatnya maksimal dan mudaratnya minimal.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Persemakmuran
Nusantara
“Persemakmuran Nusantara” bukan kata atau bahasa konstitusi. Juga bukan
draft formula kenegaraan. Ia lebih merupakan istilah romantik kebudayaan.
Kepala mau pecah mikirin Indonesia, bolehlah iseng memimpikan kebersamaan namun
dengan membuka kemungkinan tafsir baru, sepanjang bersetia kepada moral
kebangsaan dan kesatuan hati seluruh manusia Indonesia.Persemakmuran Nusantara bukan Persemakmuran Indonesia. NKRI kabarnya sudah “harga mati”. Sudah “padat”. Sedangkan Persemakmuran Nusantara itu “cair”. Ia ruh, gairah, semangat, impian, cita-cita. Bukan pula berassosiasi ke Negara Federasi atau “commonwealth”. Ibarat menggembalakan kambing, patok kayu penyimpul tali yang mengikat leher kambing-kambingnya adalah NKRI. Tetapi tali antara patok itu dengan leher kambing adalah kemerdekaan berpikir, romantisme cita-cita, dinamika cinta bagi kita kambing-kambing untuk sejauh mungkin mencari rumput-rumput masa depannya. Kita ulur tali itu sepanjang-panjangnya, tetapi patok NKRI menjaga batas seberapa panjang tali itu.
Kemerdekaan manusia, masyarakat dan bangsa, adalah kemerdekaan untuk menemukan batas. Ketepatan batas itu berpedoman pada titik akurat dari kesejahteraannya, kesehatan dan keselamatannya. “Terlalu membatasi” atau “tidak terbatas” sama-sama mengandung ranjau atas kesejahteraan, kesehatan dan keselamatan. Kemerdekaan adalah punya pilihan baju sebanyak-banyaknya tetapi membeli hanya beberapa helai. Berdirinya NKRI menapaki “kemerdekaan” nya dengan mempersyaratkan perdamaian abadi, menuju keadilan sosial. Punya pakaian sebanyak-banyaknya atau tidak punya pakaian sama sekali: sama-sama tidak adil. Terlalu kenyang itu tidak adil, sebagaimana tidak makan juga tidak adil.
Apakah para pendahulu kita di zaman silam pernah bikin Persemakmuran Nusantara? Dulu saya menyangka Kesultanan Demak yang merintis itu. Tapi kemudian saya memperoleh wacana bahwa Persemakmuran Nusantara sudah diselenggarakan oleh Gadjah Mada, Perdana Menteri Majapahit, yang disempurnakan justru dengan Sumpah Palapa.
Sumpah Palapa 1336 yang diucapkan oleh putra Lamongan itu bukan ikrar penjajahan, tekad kolonisasi dan imperialisasi. Negeri-negeri yang dimobilisasi tidak dirampok alam dan hartanya, tidak dijadikan “Provinsi” atau bawahannya. Secara berkala para pimpinan wilayah berkumpul di Trowulan untuk minum air kendi emas bersama, dalam posisi melingkar dan sejajar.
Tentu hal itu harus diuji dengan penelitian yang mendalam untuk lebih memastikan apakah kepemimpinan Majapahit ketika itu memenuhi “kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”. Apakah ia menerapkan otoritarianisme-diktatorisme ataukah semacam demokrasi. Apakah selama Majapahit memerintah, rakyatnya berada dalam keadaan “adil dan makmur”. Atau, Sumpah Palapa itu sendiri sesungguhnya lahir dari semangat Persatuan dan Kesatuan, ataukah penguasaan yang kolonialistik dan imperialistik.
Jendela sejarah perlu dibuka lebih lebar. Apakah bangsa kita pernah mengalami, misalnya, “simulasi” transformasi dari sistem kekuasaan “tumpengan” menjadi “ambengan”. Tumpeng itu nasi dibentuk bulatan kerucut, monolitik. Ambeng itu nasi ditaburkan secara merata di “tampah”, sehingga mendekati apa yang dimaksud Persemakmuran Nusantara. Atau pertanyaan mendasarnya begini: NKRI sekarang ini tumpeng ataukah ambeng? Demokrasi itu cenderung tumpeng ataukah ambeng
Yang pasti tradisi masyarakat dan Pemerintah kita sampai hari ini adalah tumpengan, dalam berbagai jenis hajatan. Sisa kesetiaan ambeng justru bisa dijumpai di Tondano, terutama di kalangan masyarakat Jaton, Jawa-Tondano, anak turun deputinya Pangeran Diponegoro, yakni Sentot Alibasyah dan Kiai Mojo.
Sebelum mendengar wacana tentang Air Kendi Emas Majapahit, saya menyangka ambengan Persemakmuran Nusantara adalah gagasan Sunan Kalijaga. Saya berpikir begini: “Negara” Kesatuan Majapahit ditransformasikan menjadi “Negara” Persemakmuran Demak. Atas perundingan antara Sunan Kalijaga dibantu Sunan Kudus, dengan Prabu BrawijayaV — Raja Majapahit terakhir — disepakati mengangkat Raden Patah menjadi Sultan Persemakmuran Demak. Puluhan putra-putri Brawijaya yang lain membantu sistem persemakmuran ini dengan mendirikan Perdikan-Perdikan dari NTT, NTB, sepanjang Pulau Jawa, Sulawesi, Kalimantan, Sumatra dll.
Putra ke-17 Brawijaya raja terakhir Majapahit memegang pucuk pimpinan pemerintahan Demak terusannya Majapahit. Cucu beliau (Raden Timbal, Adipati Terung) dari anak pertama (Aryo Damar, Joko Dilah), menjadi “Pangab” Demak, sesudah menjadi “Pangab” Majapahit. Putra-putra Brawijaya yang lain (semuanya 117 putra-putri) “ambengan” memimpin Tanah-Tanah Perdikan: Haryo Jaran Panoleh Adipati Sumenep, Ki Ageng Pengging, Jaka Peteng di Madura tengah, Raden Jaka Maya di Bali, Haryo Sumanggang di Gagelang, Haryo Tanuraba di Makasar, Haryo Kuwik di Kalimantan, Jaka Suralegawa di Blambangan, Retno Bintara di Nusabarong, Retno Kedaton di Pengging, Ayu Adipati di Jipang, Retno Marlangen di Lowanu, Retno Setaman di Gawang, Haryo Bangah di Kedu, Joko Piturun alias Batara Katong di Ponorogo, Raden Gugur di wilayah Gunung Lawu, Retno Keniten di Madura barat, Jaka Dandun di Parangtritis, Joko Dubruk di Purworejo, Joko Balud di Mangiran, Joko Maluda di Gunung Kidul, Raden Lacung di Bagelen, Joko Semprung di Brosot, Joko Lambare di Ngawen, Joko Balado di Pedan, Joko Jenggring di Banjarnegara, Joko Krendha di Gombong, Joko Delog di Klaten, dst.
Perdikan-Perdikan itu tidak berposisi bawahan yang “wajib lapor” atau kasih upeti ke pusat. Sebagai contoh Ki Ageng Mangir di Yogya selatan sampai menantunya yakni Ki Ageng Mangir Wonoboyo I, bahkan sampai cucu beliau Ki Ageng Mangir Wonoboyo III, sejak mendirikan Tanah Perdikan Mangir di akhir Majapahit, tidak pernah berhubungan secara resmi dengan Kesultanan Demak maupun Pajang. Sampai kemudian terjadi peristiwa sejarah mengerikan di awal Kerajaan Mataram: Ki Ageng Mangir Wanabaya III alias Ki Ageng Mangir IV yang terlanjur menikahi Retno Pembayun, berkunjung ke mertuanya, yakni Panembahan Senopati Raja Mataram — kemudian terjadilah tragedi yang semua orang Yogya dan tlatah Mataram tahu namun saya tidak tega menuliskannya di sini.
Terbunuhnya Wonoboyo III pada logika saya kemarin adalah karena semangat Mataram adalah meneruskan “kesatuan” Majapahit dan menolak “Persemakmuran Nusantara” Demak. Ketika gunung Merapi meletus tahun 2010, menjelang puncak erupsinya tersebar mitos di kalangan rakyat Yogya yang ketakutan. Bahwa “Gunung Merapi akan memuncaki letusannya, mengirim lahar sejauh 30 km sehingga akan menghancurkan Kraton Yogya. Banyak orang percaya bahwa 500 tahun sesudah kehancuran Majapahit sudah tiba, maka Sabdo Palon Noyo Genggong balas dendam karena tidak rela atas sirna ilang kertaning bhumi, yakni hancurnya Majapahit”.
Sabdo Palon dan Noyo Genggong adalah “faksi” anti Demak yang bersumpah akan membalas dendam. Tetapi ada dua faktor yang bisa menegasikan balas dendam lewat letusan Merapi itu. Pertama, 500 tahun sesudah sirnanya Majapahit adalah sekitar 1978, jadi erupsi Merapi itu sudah lewat 32 tahun. Kedua, Sabdo Palon Noyo Genggong tidak akan menjadikan Kraton Yogya sebagai sasaran balas dendam, karena Kraton Hamengkubuwanan Yogya maupun Pakubuwanan Solo adalah metamorphosis dari kerajaan Mataram, yang secara aspirasi dan ideologi merupakan penerus Majapahit.
Perhatikan, Majapahit menggelari rajanya dengan “Prabu”. Demak dan Pajang dengan “Sultan”. Sultan dari kata “Sulthon” (kekuatan khusus dari Allah). Kalau ini kita identifikasi sebagai perbedaan antara aspirasi kesatuan dengan persemakmuran, “tumpeng” dan “ambeng”, maka raja Mataram tidak memakai keduanya. Danang Sutawijaya menggelari dirinya “Panembahan”. Dalam khasanah budaya dan filosofi Jawa, Panembahan adalah orang yang sudah menyingkir dari kekuasaan politik menuju pendalaman spiritual dan kematangan kebudayaan. Jadi gelar Panembahan Senopati itu tidak lazim. Bisa jadi karena beliau sendiri sudah memeluk Islam sebagai murid Sunan Kalijaga (bersama Bapaknya Ki Gede Pemanahan), namun mempercayakan pertimbangan politiknya kepada Ki Juru Martani atau Ki Mondoroko yang beraliran “Kejawen”.
Di sisi lain, kekuatan Mataram tidak sesolid Majapahit, sehingga gelar Prabu juga tidak tepat. Tapi pakai “Sultan” juga tidak mau, karena visi missinya berbeda. “Keprabon” (ke-Prabu-an) Majapahit melandasi kekuatannya pada penyatuan Hindu-Budha, ke-Sultan-an Demak merujukkan nilainya pada Walisongo. Kedua alternatif itu tak mungkin diambil oleh Panembahan Senopati. Mungkin karena itu kemudian muncul “kreativitas“ baru, yakni mitologi “Nyai Roro Kidul”, yang relatif masih belum benar-benar ditinggalkan sampai hari ini.
Saya berharap itu semua tidak benar, dan saya bergembira mendengar Gadjah Mada pun sudah menggelar Persemakmuran Nusantara.
Memang mungkin tidak terlalu salah bahwa wajah sosiologi politik Indonesia modern hari ini sebenarnya dimulai sejak Panembahan Senopati. Konstelasi sosial keagamaan yang tercermin pada peta kekuatan politik Indonesia modern sudah dimulai sejak berdirinya Mataram: kalau Anda salami sejak itu muncul PPP, Golkar dan PDI — kalau seakan-akan ada banyak sekali parpol, pada substansinya hanya variable-variabel dalam bingkai pemetaan yang sama.
Sultan Agung Hanyakrakusuma, cucu Panembahan Senopati mencoba men-Sultan-kan kembali, tapi kemudian ambigu dan kabur pada anak dan cucunya. Pencarian bangsa Indonesia menjadi makin tak kunjung ketemu ketika kemudian hadir VOC, yang semakin memecah belah pemikiran dan aliran politik bangsa kita.
Tetapi sesungguhnya itu semua bisa tidak penting bagi kita sekarang. Mungkin tak perlu mempertentangkan antara kesatuan dengan persemakmuran. Kita universalkan saja: biarin ini Negara atau Kerajaan atau Kesultanan, EGP presidennya siapa saja: yang penting seluruh rakyat Indonesia sama-sama makmur secara berkeadilan. Pakai bahasa sastra saja: persemakmuran harus mempersatukan, kesatuan harus mensemakmurkan.
0 komentar:
Posting Komentar