MATA AIR MAIYAH
Oleh
Muhammad Ainun Nadjib
(1). Meskipun Maiyah adalah mataair yang dicurahkan dari
langit ke suatu titik di tanah Indonesia, tetapi ia diperuntukkan hanya bagi
hamba-hamba yang di dalam dirinya terdapat jiwa yang segelombang dengan amr dan irodah Maha
Ruh sumber mataair itu, melalui garis syafaat kekasih-Nya Muhammad saw.
(2). Mataair Maiyah melahirkan Al-Muhtadin,
hamba-hamba yang dihidayahi oleh Allah. Kemudian berhimpun menjadi Al-Mutahabbina
Fillah, hamba-hamba yang saling mencintai semata-mata karena Allah.
Bersaudara tidak karena hubungan darah, kesamaan golongan atau motivasi
kekuasaan dan transaksi keduniaan. Mereka bersaudara dan merawat persaudaraan fid-dunya
wal-akhirah, kholidina fiha abada, dalam keadaan berdiri, duduk atau
berbaring. Dalam kemudahan atau kesulitan, kemiskinan atau kekayaan, kesedihan
atau kegembiraan, dalam kepungan kegelapan atau limpahan cahaya. Mereka
mengalir dalam getaran bersama. Mereka bergetar di aliran yang sama.
(3). Para pereguk mataair Maiyah diantarkan dan dihimpun
memasuki suatu jagat kejiwaan di mana mereka mengalami kenikmatan bertauhid,
ketakjuban ber-Islam, kesegaran silaturahmi, kemurnian ukhuwah, keseimbangan
mental, kejernihan penggunaan akal, keadilan berpikir, ketenteraman hati,
kebijaksanaan bersikap — serta secara keseluruhan semacam keterbimbingan hidup.
Tetapi Allah menguji mereka: Seperti ada tangan besar yang menarik mereka ke
jalan sunyi, yang membuat mereka terasing, berbeda bahkan bertentangan dengan
dunia dan Indonesia.
(4). Air yang mereka tadahi dari Mataair Maiyah mungkin
sekedar dijadikan minuman untuk kesegaran di tenggorokan hidup bersama
keluarga. Untuk peluasan dan pendalaman ilmu kehidupan. Untuk racikan baru
kesehatan dan pengobatan. Untuk meningkatkan kualitas Ziro’ah, eksplorasi
kreativitas Shina’ah dan respons terhadap perubahan tata
penghidupan Tijaroh. Atau bisa juga untuk penghimpunan energi zaman
melawan kedhaliman nasional dan global. Bahkan lebih menyeluruh, bulat, kaffah sekaligus
detail dan ‘serbuk’. Tetapi skala mereka sebatas “wala tansa nashibaka
minad-dunya”. Tumpuan mereka adalah “innalloha ‘ala kulli syaiin qodir”.
Koridor ilmu mereka adalah kesadaran bahwa pelaku utama perubahan adalah Allah
sendiri. Serta takkan mereka lukai atau retak-kan nikmat Allah berupa
perkenan Al-Muhtadin dan ikhtiar Al-Mutahabbina Fillah.
Pun jangan lupa: Mataair Maiyah bisa tidak berguna apapun. Orang datang ke
Mataair Maiyah sekadar untuk memetik keuntungan bagi dirinya sendiri. Maiyah
bisa tidak pernah menjadi apa-apa. Menguap ke kekosongan zaman. Sirna dari
lembaran buku sejarah dan kehidupan. Menjadi hamparan kerakal-kerikil
diinjak-injak oleh gajah Abrahah. Bisa karena kemalasan mental, kesemberonoan
ilmu, kejumudan spiritual, atau ketidakberdayaan memanggul berkah. Maiyah
menjadi ‘ilmun la yanfa’. Ilmu yang tidak bermanfaat. Dihentikan
oleh Allah.
(5). Sebagai yang dititipi mengawal memancarnya mataair
Maiyah, saya mengalami dan menyimpulkan bahwa Maiyah itu tidak ada manfaatnya
bagi kehidupan di mana manusia menikmati dan merakusi dunia. Disebabkan oleh
sekurang-kurangnya sepuluh hal, yang saya petikkan dari ribuan sebab: Pertama,
Maiyah tidak menjadikan dunia sebagai tujuan. Kedua, Maiyah tidak
memposisikan dunia sebagai tempat membangun kehidupan yang nyata berdasarkan
kesejatian dan keabadian. Ketiga, Maiyah tidak berminat untuk
memiliki dan menguasai dunia. Keempat, Maiyah tidak punya
kesanggupan dan perangkat untuk mengubah kehidupan manusia di dunia. Kelima,
Maiyah tidak berani ikut melakukan perusakan atas rahmat dan amanah Allah. Keenam,
tidak punya daya untuk menyelesaikan masalah-masalah manusia di dunia, apalagi
menjadi dan menambah masalah. Ketujuh, Maiyah takut terlibat di
dalam keserakahan keduniawian, penganiayaan hakikat dan martabat manusia,
kolonialisasi terhadap bangsa-bangsa, pemalsuan literasi, penggelapan
intelektualitas, pemincangan mentalitas, pemenggalan spiritualitas. Terlebih
lagi melakukan pelecehan terhadap eksistensi dan hak Allah, penghinaan terhadap
Agama-Nya serta para pecinta-Nya, pada tingkat dan kadar yang belum pernah
terjadi sebelumnya. Kedelapan, Maiyah sekadar berikhtiar mengurangi
beban-beban yang ditimbulkan oleh hubbud-dunya dan intisyarul-fasad. Kesembilan,
Maiyah menempuh jalan agar tidak ikut sakit-dunia, tidak ikut dianiaya apalagi
menganiaya, tidak ikut menipu, memperdaya, mengebiri, membonsai, menjebak,
menggerogoti, melampiaskan keserakahan, mengkolonisasi dan mengimperialisasi. Kesepuluh,
Maiyah berikhtiar dengan rasa syukur dan husnudh-dhon agar
dijadikan bagian dari perkenan “gabah dèn interi” oleh Allah untuk
menyelamatkan hamba-hambaNya yang dikehendakiNya. Maka saya menganjurkan menjauhlah
dari jalan sunyi Maiyah. Nikmatilah dunia, serakahilah keduniawian,
bergabunglah pada kekuasaan, raihlah jabatan, program, proyek, kemajuan dan
sukses. Atau lawanlah semua itu dengan pemberontakan, revolusi, atau gerakan-gerakan
anak bangsa model apapun. Semoga keputusan kalian ditanggapi oleh amr Allah
swt, irodah Rasulullah saw dan gelombang hamba-hamba yang
Beliau berdua cintai dan mencintai Beliau berdua.
(6). Kalau engkau memandang sampai kedalaman danau air
Maiyah, tampak betapa sejati Tsaqafah Tauhid yang dijalani
Jibril, Adam hingga kesempurnaannya pada Baginda Muhammad saw. Kelihatan juga
oleh pandanganmu tingkat kebenaran alamiah masyarakat nomaden, suku-suku,
komunitas, maupun tingkat kemashlahatan Kerajaan, Keraton, Persemakmuran,
Perdikan, Republik, Demokrasi, hingga pun Globalisasi. Tergambar di
penglihatanmu satuan-satuan Ideologi, aliran pemikiran, organisasi massa, madzhab,
golongan dan kelompok, syu’ub wa qabail, yang sangat mudah kau
temukan rasio iktikad sosialnya, serta kandungan ijtihad rahmah
lil’alamin-nya. Bahkan betapa indahnya sekolah, universitas, pesantren,
percantrikan, halaqah, workshop dan satuan-satuan pembalajaran hidup model
apapun. Apalagi di lingkaran kecil keluarga-keluarga. Tetapi itu semua batal
dan menghanguskan kehidupan, kalau manusianya menuhankan dunia. Bermental
egosentris dan otoriter. Dadanya dipenuhi ananiyah dan hasad.
Otaknya dipenggal dari gelombang akal dan pendaran hidayah. Jiwanya
dikendalikan oleh baghdlun, karhun, ‘ida’un, kebencian, pentidakkan
dan pengkafiran atas yang selain dirinya. Pasukan Zalitun turunan Iblis
menguasai manusia Negerimu. Merasukkan penyakit untuk memperjual-belikan segala
hal dari biji kacang, demokrasi hingga Tuhan. Mengibarkan dusta Pancasila,
Bhinneka Tunggal Ika, pemikiran dan ideologi. Sadar mengkhianati sumpah, sadar
maling dan memaksiati Allah dan Rasul-Nya. Membujukkan pencitraan, merayukan
Talbis, men-spotlight-kan makar dengan wajah kesetiaan, memviralkan
kesetiaan sebagai makar. Kalau kesiapan hidupmu adalah tidak sunyi, tidak
menderita dan rasa lumpuh terhadap ketakberdayaan memanggul ujian Allah,
menjauhlah dari mataair Maiyah.
(7). Maiyah adalah bagian dari Ummat Islam dan bangsa
Indonesia, meskipun ia tidak membatasi dirinya dan tidak bisa dibatasi untuk
hanya berada dan berlangsung di wilayah dan skala itu. Maiyah melihat bahwa
sangat dekat waktu di depan hidungnya: bangsa Indonesia sedang ditimpa bahaya
besar yang mengancam eksistensinya, martabat dan keamanan tanah airnya.
Sementara Ummat Islam sedang mengalami pertentangan yang sangat mendasar dan
serius di antara mereka, meskipun keduanya tidak merasa apa-apa dan tidak
menyadari bagaimana-bagaimana. Maiyah tidak berada pada posisi manapun dalam
pertentangan itu, meskipun bisa ditimpa akibat-akibat langsung maupun tak
langsung, di masa kini dan masa-masa berikutnya, oleh bahaya dan ancaman itu. Di
dalam dirinya Maiyah membangun jiwa pendamai, perekat dan pemersatu. Tetapi ia
berada di tengah bangsa dan ummat yang secara permanen memelihara dan memantapi
permusuhan, secara sadar menolak kerekatan, dan tidak pernah terlihat melakukan
sesuatu menuju ukhuwah, persatuan dan penyatuan. Maiyah seperti berkunjung ke
Rumah Sakit, duduk di tepi ranjang pasien yang semakin parah sakitnya. Namun
Maiyah tidak mungkin mengemukakan hal-hal tentang sakit dan penyakit kepada
pasien yang sedang terbaring sakit. Sedangkan Rumah Sakit itu tidak ada
Dokternya. Si Pasien juga tidak pernah bertanya tentang obat dan Dokter, kepada
siapapun, apalagi mempercayakan jawabannya kepada Maiyah. Maka tugas Maiyah
tinggal dua. Pertama, mengkreatifi mataair Maiyah untuk kebahagiaan hidup para
pelakunya. Kedua, kepada yang di luar mataair dan kebunnya, Maiyah bersedih dan
membisu.
(8). Di tengah panas terik dan puncak kehausan, seteguk air
itu dahsyat, nikmat, ajaib, bahkan serasa “mukjizat”. Bukan karena setetes air
itu sebanding mutunya dengan segelas Es Teler, melainkan karena kadar rasa
syukur orang yang sedang sangat haus. Andaikan Maiyah itu semacam seteguk air:
ia bukanlah karya, bukan prestasi, bukan sukses, bukan keberhasilan dan
kejayaan siapapun saja. Tak ada selain Allah yang mampu menyelenggarakan
keajaiban. Karena keajaiban itu juga diperuntukkan hanya bagi yang Allah
memperkenankannya, sehingga mengalami keajaiban itu. Batu besar menggunduk di
jalanan Maiyah hari ini adalah keinginan dan “semacam nafsu” agar Allah
mengeksekusikan keajaiban yang lebih besar dan kasatmata kepada Indonesia dan
Dunia, dalam wujud dan takaran seperti yang didambakan oleh hati para pejalan
Maiyah. Ingin Allah lebih segera “menagih hutang”, “merampas kembali
segala yang dirampok”, “membangkitkan kembali semua yang dirobohkan”,
“mengangkat yang dilemahkan menjadi pemimpin, dan menjadikannya pewaris
kekuatan-Nya”. Maiyah menemani hamba-hambaNya di ribuan titik. Memohon
pembengkakan jumlah Al-Muhtadin dan Al-Mutahabbina
Fillah. Bershadaqah ikhtiar menghimpun mereka ke dalam Cinta Segitiga
dengan Allah dan Rasulullah. Tetapi Maiyah tidak memasuki pagar Demokrasi,
karena sabda Rasulullah saw: “Wahai Abdurrahman, jangan minta jadi pemimpin.
Kalau kamu jadi pemimpin karena permintaan atau keinginanmu, maka semua urusan
menjadi urusanmu sendiri, Allah tidak mau tahu. Tapi kalau kamu jadi pemimpin
bukan atas permintannmu atau keinginanmu, Allah akan membantumu.” Para
pelaku Maiyah merdeka untuk tidak mampu bertahan berada di luar pagar. Mereka
memiliki hak asasi untuk memasuki Demokrasi, mencalonkan diri menjadi pemimpin,
memamerkan kebaikan dan kehebatannya di baliho-baliho sepanjang jalan. Minimal menjadi
relawan catnya, garisnya, font-nya, kayu framing-nya,
atau logam penyangganya. Syukur nanti katut jadi Menteri,
Dirjen, Sekjen, Dirut, Komisaris, Rektor, Dekan, Duta Dialog Peradaban,
sekurang-kurangnya kesrèmpèt proyek. Para pelaku Maiyah
lainnya bertahan dalam sunyi: “Qulillahumma Malikal mulki tu`til mulka man
tasya`…”. “Kulla ma nadaita ya Hu, qala ya ‘abdi ana-Llah”.
(9). Maiyah tak berguna di Negerimu. Satu bangsa bisa
menjajah bangsa lain karena nasionalisme bangsa penjajah itu tidak diletakkan
dalam spektrum universalisme kemanusiaan. Maiyah tidak begitu, tetapi bangsa
yang dijajah itu kemudian malah menyetujui spektrum itu, bahkan mengikuti jejak
penjajahnya yang nasionalismenya bermakna primordialisme dan egosentrisme suatu
rumpun manusia yang secara “brutal” disebut bangsa. Maka Maiyah tidak
bermanfaat di Negerimu. Dan pada hakikatnya yang terjadi antara bangsa yang
menjajah dengan yang dijajah bukanlah penjajahan, melainkan hubungan
transaksional antara yang melacur dengan pelacurnya. Maiyah bukan dholimun,
madhlumin maupun fasidin. Maka Negerimu tidak punya
kerangka berpikir untuk menerima Maiyah. Sebab kategorisasi pemikiran modern
meletakkan Maiyah di kotak alergi politik. Yang dikenali sebagai politik adalah
perangkat keras kekuasaan. Kepemimpinan adalah jabatan. Derajat adalah pangkat
sosial. Itu pun dalam penyempitan spektrum kehidupan yang dinamakan Negara. Sementara
negeri Maiyah adalah Al’alamin. Maiyah memahami manusia sebagai
pusat komprehensi antara konteks insaniyah, ubudiyah dan khilafah.
Dialektika dari posisi rebah dalam semesta uluhiyah menjadi
transformator rububiyah, membangun rahmah lil’alamin.
Sebatas kadar liutammima makarimal akhlaq. Dengan ketergantungan
kepada mulkiyatullah. Itu pun tidak mbentoyong memanggul
kewajiban lebih dari wala tansa nashibaka minad-dunya. Skala
Nasionalisme adalah bidang garapnya. Para pereguk mataair Maiyah tidak
meliterasikan itu semua secara akademis, melainkan langsung mengalami dan
menikmatinya. Maiyah sangat meringankan perjalanan hidup, tapi sekaligus
menyodorkan tantangan yang mungkin takkan pernah bisa dilunasi. Sebab Maiyah
menemukan tidak ada benda, tema dan peristiwa yang berdiri sendiri secara
steril, parsial dan linier. Seorang koruptor bisa kirim biaya untuk membangun
Masjid di kampungnya. Pelacur kelas tinggi bisa menyisihkan uang untuk membagi
modal kepada ratusan kelompok usaha kecil rakyat bawah. Pejabat tinggi
memberantas maksiat sehingga mulus jalannya menuju jabatan lebih tinggi. Dengan
baju Pewaris Nabi, seseorang bisa mengkapitalisasikan sejumlah tema Agama,
Nabi, bahkan Allah dan firman-Nya. Sedangkan Maiyah saling mempersaudarakan,
saling mengamankan, menolong, menggembirakan dan membahagiakan satu sama lain,
dengan pamrih maksimal memperbanyak jumlah Al-Mutahabbina Fillah.
Puluhan tahun hingga detik ini tak secuilpun terdapat perilaku Maiyah yang
indikatif terhadap kekuasaan, pangkat, jabatan, materialisme dan kapitalisme. Maka
tahun politik di Negerimu mulai tahun depan ini disyukuri oleh Maiyah karena “Apakah
kamu mengira bahwa kamu akan masuk sorga, padahal belum datang kepadamu cobaan
sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu?”. Allah
menganugerahkan ujian itu kepada Maiyah.
(10). Maiyah adalah hadiah dari Allah, bukan karya kita.
Semua kekurangan Maiyah berasal dariku. Kita bersyukur Allah menganugerahkan
Cak Fuad dan Syekh Kamba, sebagai Marja’ ilmu kita semua.
Tetapi kami bertiga bukan Ulama, Mursyid atau Kiai, sebagaimana beliau-beliau
di luar sana. Selama 24 tahun ini kita berkumpul dan hanya berjuang mencintai
dan mendekat kepada Allah Muhammad kekasih-Nya, mengikhtiari manfaat hidup.
Termasuk buat Indonesia. Aku Mbah kalian semua adalah manusia biasa, awam dalam
hal ilmu keagamaan maupun ilmu modern. Tidak ada padaku ekspertasi bidang
apapun. Aku tidak berada di jalur pembelajaran Ulama, Santri maupun para modern
scholars. Aku tidak punya sanad ilmu di wilayah tadarrus, ta’lim,
tafhim, ta’rif maupun ta`dib. Aku tidak merupakan bagian
dari nasab yang perlu diperhatikan. Tidak ada yang anak cucuku
bisa andalkan dan harapkan dariku, lebih dari yang sejauh ini Allah
memperkenankan. Apalagi yang menyangkut perkara-perkara besar Indonesia dan
peradaban ummat manusia. Hanya kasih sayangku dan kami bertiga kepada kalian,
itu pun hanya setetes dua tetes. Anak cucuku silakan menjawab sendiri: Apakah
Allah menitipkan Indonesia kepada kalian dengan dibekali Maiyah, ataukah Allah
mem-fadhilah-kan Maiyah kepada kecerdasan dan kebijaksanaan kalian:
untuk kalian jadikan manfaat apa, bagaimana dan seberapa luas. Atau disimpan
sebagai rahasia di kalbu kalian. Anak cucuku silakan tampil ke gelanggang
persaingan, keunggulan dan kalah menang di luar Maiyah. Tetapi tidak dengan
jiwa “adigang adigung adiguna” jika menang, dan tidak dengki, cengeng
dan dendam kalau kalah. Tegakkan kemandirian eksistensimu. Kibarkan bendera dan
nama jihadmu. Gerakkan da’wah khoir, amar ma’ruf dan nahi munkar,
dengan harta benda, tenaga, ilmu, sampai pun jiwa dan nyawa. Maiyah hanya bisa
membekalimu cairan dan “glepung”, sampai Allah berkenan “dawuh”
yang kasatmata. Kalau kalian memadatkan gerakan sejarahmu itu dalam pemetaan
masalah nasional saat ini: pastikan bahwa tak akan ada perang saudara dan
perbenturan horizontal akan terjadi di antara ummat dan bangsamu, yang membuat
semakin bertumpuk defisit dan utang-utang sejarah. Ingat juga Maiyah tidak
kuasa mengubah silang sengkarut permasalahan Indonesia. Innaka la tahdi
man ahbabta walakinnalloha yahdi man yasya. Maiyah tidak mampu mengobati
Indonesia dan dunia. Pengobatan itu terjadi hanya jika Indonesia dan dunia
dihidayahi Islam oleh Allah, yang bisa juga melalui Maiyah, kemudian Ia
memperkenankan kesembuhannya. Nikmatilah tidak butuhnya dunia dan Indonesia
kepada Maiyah adalah anugerah kemerdekaan. Yang melapangkan ruang dan waktu
kalian untuk memfokuskan kekhusyukan mengasyiki Al-Qur`an, sebagai bekal untuk
menyuburkan Kebun Maiyah, mengkreatifi rezeki mataairnya untuk kalian olah di
bidang-bidang ziro’ah, shina’ah, tijaroh, dan apapun yang Allah
mem-fadhilah-kan kepada kalian. Allah menjadwalku berkeliling, melangkah
di belakang barisan kalian, dengan nafas tersengal-sengal oleh cintaku kepada
ummat manusia, Kaum Muslimin dan rakyat Indonesia. (Caknun.com)
Blackjack: How to Play Blackjack for Real Money in the USA
BalasHapusThe game of blackjack revolves around 양산 출장샵 strategy 남원 출장안마 and strategy. Blackjack begins with a high-quality playing card, 용인 출장안마 and thereafter 아산 출장안마 a 의왕 출장샵 high stakes