SYARAT MENJADI PRESIDEN RI
1. Hak Milik Raja dan Sultan
Sebelum 17 Agustus 1945, seluruh
tanah dan air Nusantara adalah hak milik 140 lebih Raja dan Sultan di seluruh
Nusantara.
Sekarang, ketika Nusantara
menjadi NKRI, siapa pemilik dan pemegang saham Indonesia? Siapa pemilik
konstitusional tanah, air, daratan dan lautan beserta isinya?
Apakah para Raja dan Sultan tetap pemilik sah-nya, ataukah kehilangan haknya, yang sejak berabad-abad sebelumnya ada di tangan mereka?
Apakah para Raja dan Sultan tetap pemilik sah-nya, ataukah kehilangan haknya, yang sejak berabad-abad sebelumnya ada di tangan mereka?
Kalau tahu jawaban
konstitusionalnya, berpeluang memenuhi salah satu syarat jadi Presiden.
2. Ballada Pemindahan Kekuasaan
Proklamator Kemerdekaan Indonesia
menyatakan: “Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain
diselenggarakan dengan cara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya”.
Mengemislah agar rakyat
mengangkutmu naik ke kursi Presiden, asalkan terlebih dulu menjelaskan kepada
rakyat Indonesia kapan pemindahan itu dilaksanakan? Dari siapa ke siapa? Semoga
jangan ada yang menjawab: pemindahan dari Penjajah Belanda ke NKRI.
3. Berkarun-Karun Kekayaan NKRI
Pak Capres, mohon penjelasan. Di
dalam teks Proklamasi 1945 itu, andaikan pemindahan yang dimaksud antara lain
adalah harta berkarun-karun dari Keraton-Keraton dan Kesultanan-Kesultanan yang
diserahkan kepada NKRI:
Kira-kira ukurannya sepadan
dengan berapa juta ton emas?
Berapa ratus gudang raksasa penuh
USD atau UBz atau apapun?
Berapa ratus Brankas berisi
tumpukan Surat-Surat, umpamanya satu lembar bermuatan tanda kepemilikan atas
2,4 juta kilogram emas?
Juga bermacam-macam bentuk
kekayaan NKRI lainnya di awal kemerdekaan itu: bisakah Pak Capres ungkap teks
perjanjian, aturan, sistem kewenangan atau pasal-pasal yang melindungi kekayaan
NKRI itu?
Supaya rakyat tahu bangsa
Indonesia ini kaya ataukah miskin?
4. Yang Digaji Berkuasa Atas Yang
Menggaji
Para Capres tolonglah jelaskan
ini kepada rakyat.
Belanda sampai hari ini tidak mengakui Kemerdekaan RI. Bagi Belanda, Indonesia tidak pernah merdeka, atau tidak perlu merdeka, karena sudah selalu merdeka.
Belanda sampai hari ini tidak mengakui Kemerdekaan RI. Bagi Belanda, Indonesia tidak pernah merdeka, atau tidak perlu merdeka, karena sudah selalu merdeka.
Belanda tidak pernah merasa
menjajah Indonesia. Mereka hanya berdagang. Bertransaksi dan sewa tanah kepada
Raja dan Sultan. Indonesia tidak berada pada posisi untuk memerdekakan diri
dari Belanda.
Atau kita tak perduli itu. Juga
anggap salah satu kemungkinannya adalah pemindahan kekuasaan dari Jepang, yang
tidak ke Sekutu tapi ke NKRI.
Tapi mohon para Capres jelaskan: kemerdekaan Indonesia sekarang ini ada di tangan siapa? Apa maksudnya bahwa bangsa Indonesia berdaulat atas NKRI? Siapa yang berkuasa atas berlangsungnya NKRI? Siapa yang menyusun program 70 atau 100 tahun ke masa depan NKRI?
Pemerintah? Mohon uraikan penjelasan logisnya bahwa sekumpulan orang yang digaji oleh rakyat, justru berkuasa atas rakyat dan Negaranya?
Bagaimana mungkin pihak yang dibayar berkuasa atas yang membayar.
Tapi mohon para Capres jelaskan: kemerdekaan Indonesia sekarang ini ada di tangan siapa? Apa maksudnya bahwa bangsa Indonesia berdaulat atas NKRI? Siapa yang berkuasa atas berlangsungnya NKRI? Siapa yang menyusun program 70 atau 100 tahun ke masa depan NKRI?
Pemerintah? Mohon uraikan penjelasan logisnya bahwa sekumpulan orang yang digaji oleh rakyat, justru berkuasa atas rakyat dan Negaranya?
Bagaimana mungkin pihak yang dibayar berkuasa atas yang membayar.
5. Hemat Energi Nasional
Bapak-bapak Capres Sampeyan mau
jadi Presiden itu maksudnya Kepala Negara atau Kepala Pemerintahan? Apa sudah
dipertimbangkan dengan matang sejak dini?
Kalau yang resmi mencalonkan dan
disahkan oleh Panitia jelas hanya empat, bagaimana kalau “pingsut” atau undian
cara lainnya untuk berbagi menjadi Kepala Negara beserta Wakilnya, serta Kepala
Pemerintahan dengan Wakilnya.
Toh tidak ada kemungkinan selain Bapak berempat.
Toh tidak ada kemungkinan selain Bapak berempat.
Juga menghemat anggaran keuangan
nasionalnya. Hemat energi ratusan juta rakyat Indonesia. Termasuk pasti lebih
aman dari potensi benturan, kekisruhan sosial dan macam-macam kemungkinan
retak-retak kebangsaan kita.
6. Presiden Bombongan
Salah satu pertimbangan mendasar
kalau mau Nyapres: jangan mau lho Pak kelak jadi Presiden Gunggungan alias
Bombongan. Dulu di SD saya punya teman Gunggungan: asal kita bilang dia
ganteng, dia mau kita suruh mengejar tahi di aliran air sungai. Bahkan sangat
bersemangat dan bangga.
Nanti Bapak dibombong bahwa
pidato Bapak sangat bagus, bahwa Sampeyan Presiden Istimewa se-Dunia,
bawahan-bawahan Sampeyan dilulu : ada yang Menteri Keuangan Terbaik se-Asia, 1
dari 50 Wanita Paling Berpengaruh se-Asia Pasifik, dan macam-macam lagi.
Sampeyan hanya pakai Cd dan kaos singletpun dikasih tepuk tangan “Anggun benar
jas dan dasi Bapak”.
Begitulah salah satu cara efektif
yang dipakai oleh para Sekutu Penjajah untuk “morotin” Negara Bapak, untuk
menipu, memperdaya dan menjebak.
7. Lapisan Gelembung-Gelembung
Andaikan Allah terasa seperti
gelembung, maka Ia Maha Gelembung. Di dalamnya terdapat lapisan
gelembung-gelembung, hingga yang paling mikro.
Di lubuk jiwaku, gelembung
terkecil, yang ulang-alik bergeser-geser dari sudut ke pusat hatiku: namanya
Indonesia.
Ada rasa gelembung Tuhan. Ada
gelembung Tanah Air. Kemudian gelembung Rakyat. Lantas gelembung Negara. Dan
yang terkecil adalah gelembung Pemerintah.
Hampir semua orang terpenjara
dalam kesibukan gelembung ke-5, malas mempelajari 4. Padahal 5 selalu
memunggungi 1, memperkosa 2 dan menyiksa 3.
Adapun alamatku di 1-2-3,
menyalurkan kasih sayang dari 1 ke 2 dan 3. Aku cemas melihat 4 semakin
ditenggelamkan oleh lumpur kebodohan dan kemalasan, sementara 5 merasa dirinya
4.
Tapi baiklah. Tak apa, ya Allah,
asalkan tonggak baru 2019 adalah manifestasi dari biyadiKal khoir-Mu: ”tu`til
mulka man tasya wa tunzi’ul mulka min man tasya`”
8. Halalkanlah Segala Cara
Kalau urusannya bukan kekhusyukan
hati dan konsentrasi ilmu untuk menguak masa depan yang terbaik bagi rakyat
Indonesia. Kalau fokus perjuangan Pak Capres dan Pak Cawapres adalah menang
Pilpres dan pesaing harus kalah, maka jangan tanggung-tanggung menghalalkan
segala cara untuk mencapai puncak karier.
Tidak hanya Machiavelisme,
Firaunisme, Sengkunisme yang bisa dipakai. Tidak hanya Iblis, Setan, Dajjal
atau Emha Ainun Nadjib yang bisa dijadikan peluru untuk menembak lawan.Tetapi
wacana-wacana dari para Nabi, bahkan firman-firman Allah pun bisa dieksploitasi
dan dimanipulasi untuk mencapai kemenangan.
Mudah saja. “Katakan, Dialah
Allah Satu”, bisa dipakai oleh nomer urut satu. “Telah datang kebenaran,
maka runtuhlah kebathilan”, bisa dipakai oleh nomer urut dua. “Tanda
orang munafik ada tiga: kalau bicara, dusta. Kalau janji, ingkar. Kalau
dipercaya, khianat”, bisa dipakai oleh kedua-duanya.
9. Turnamen Ajaib
Pak Capres dan Pak Cawapres,
Tanah Air dan Negara yang Anda sangat gencar ingin menang, kemudian Panjenengan
berdua diupah oleh rakyat untuk mengelolanya ini tergolong gaib atau ajaib.
Banyak sekali aturannya yang
melanggar kelaziman aturan yang dikenal di manapun di dunia. Ibarat Turnamen,
peserta yang belum tuntas di Babak Penyisihan bisa loncat masuk Semifinal.
Belum lolos di Semifinal, langsung masuk Final. Sehingga dari Babak Penyisihan
yang belum ia selesaikan, dalam waktu singkat ia menjadi Juara.
Peserta lain membiayai Turnamen
sehingga menjadi kontingen. Di Perempat Final ia hanya menjadi Runner-up tapi
bisa lompat naik bersaing memperebutkan Medali Emas. Sejumlah pemain lain kena
kartu merah tapi tetap boleh melanjutkan pertandingan. Belum lagi Wasit dan
Hakim Garisnya, tidak mengabdi kepada sportivitas, melainkan menghamba kepada
salah satu Kesebelasan milik Klub yang merangkap jadi Panitia Turnamen.
Bapak-bapak ini menjadi Capres
dan Cawapres, apakah karena juga memiliki potensi keajaiban dan kegaiban yang
kompatibel dengan Turnamen yang Bapak ikuti?
10. Nifaq dan Safir alias Saib
Tahukah Pak Capres dan Pak
Cawapres bahwa sebagian rakyat, sebagaimana lazimnya manusia, memiliki sifat Nifaq,
Safir atau Saib.
Hari ini membela mati-matian,
besok ketika Sampeyan kalah, langsung mereka berbalik membela mati-matian musuh
Sampeyan yang menang.
Sekarang musuh Sampeyan dikutuk,
dihina, difitnah habis-habisan. Besok kalau Sampeyan kalah, balik mengutuk
Sampeyan dan menjilat musuh Sampeyan.
Nifaq sifatnya, Munafiq
orangnya. Safir artinya tak punya malu. Saib itu hidup tanpa
harga diri.
11. Rakyat yang Kejam
Para Capres dan Cawapres
hendaklah berhati-hati terhadap perilaku rakyatnya
Rakyat yang mengangkat pendusta menjadi pemimpinnya, adalah rakyat yang pemurah.
Rakyat yang mengangkat pendusta menjadi pemimpinnya, adalah rakyat yang pemurah.
Rakyat yang setelah
terang-benderang didustai pemimpinnya tetap mempercayainya, adalah rakyat yang
arif bijaksana.
Rakyat yang sesudah tiga kali
dibohongi tapi tetap memuja pemimpinnya, adalah rakyat yang dianugerahi
keajaiban oleh Tuhan.
Dan rakyat yang dibohongi sampai
lebih 60 kali namun tetap mengangkatnya jadi pemimpin, adalah rakyat yang kejam
dan tega.
Kejam karena tidak menolong
pemimpinnya dari kehancuran. Tega karena membiarkan Tuhan yang bertindak dengan
neraka-Nya.
12. Kekayaan Tanah Air
Pak Capres dan Pak Cawapres,
sebenarnya kita ini kaya atau miskin, pada ukuran harta benda? Kalau kaya,
seberapa kaya. Kalau miskin, seberapa miskin. Adakah Staf Bapak yang kita minta
tolong untuk membuka catatannya, angka-angka dan jumlahnya, jenis-jenis dan
wujudnya?
Dulu sebelum menjadi Indonesia,
semua tanah adalah milik para Raja dan Sultan. Sesudah merdeka, bagaimana bunyi
pasal-pasal yang mengatur kepemilikan baru itu? Sekarang ini, seberapa tanah
Indonesia yang masih menjadi milik rakyat Indonesia?
Kalau para Raja dan Sultan itu di
tahun kemerdekaan menyumbangkan kepada Indonesia harta benda berlimpah-limpah,
apa saja macam-macam bentuknya? Berapa jumlahnya? Di mana saja kekayaan itu
disimpan? Siapa yang punya legalitas untuk mengambilnya? Bagaimana konstitusi
Indonesia mengatur semua itu?
Mungkinkah jumlah kekayaan itu
dipakai untuk mengentaskan bangsa kita dari jurang utang dan kemiskinan?
13. Menanggung Pilpres 2019
Jangan buka lapisan tabir-tabir
siluman, rongga-rongga remang, sampai yang gelap pekat di belakang
Pilpres2019.
Ada banyak makhluk raksasa gaib,
dua Iblis besar, setan-setan besar yang mengerikan dan setan-setan kecil yang
menjijikkan, dari luar maupun dalam negeri.
Kemunafikan, kejahatan,
kekejaman, kehinaan dan brutalisme sudah terjadi sejak generasi kedua Adam
Hawa, tapi imajinasi manusia tak pernah membayangkan bahwa makhluk Tuhan bisa
berbuat sampai semunafik itu, sejahat itu, sekejam itu, sehina itu dan sebrutal
itu.
Anda takkan tahan. Hatimu tak
sanggup. Otakmu bisa retak-retak. Tenaga batinmu eman-eman untuk kau sia-siakan
memikirkan itu.
Maka jangan buka tabir itu.
Anda tekun bekerja saja, hidup
mesra dengan keluarga. Hal Pilpres kirim ke Tuhan saja, terserah Ia akan suruh
Jin Ifrith, Asif bin Barkhiyah, Panembahan Khidlir atau Panglima Izrail.
Anda sendiri kasih waktu satu dua
jam saja pas hari-H. Datang ke TPS, masuk bilik, lakukan mau Anda secara bebas
dan rahasia.
14. Mèlèt-mèlèt Kepada Buto
Kalau memang pemimpin, kesadaran
primernya adalah belajar kepada rakyat.
Rakyat bukanlah bawahan
Presidennya. Desa bukanlah anak buahnya Negara.
Rakyat adalah majikannya
Presiden. Negara adalah rumah milik rakyat. Desa adalah seniornya Negara.
Sejak berabad silam, desa sudah mawa
cara tapi sampai hari ini negara belum mawa tata.
Para pemimpin, para pejabat, yang
tidak belajar kepada rakyat desa: biasanya menjadi pelacurnya Yuyu Kangkang, atau
digendak Buto, bahkan tidak sekadar dodot iro bedhah ing pinggir. Malahan
menelanjangi diri sendiri dan martabat bangsanya, kemudian mèlèt-mèlèt kepada
Buto.
Kalau tidak paham ini, berarti
tidak pernah belajar kepada rakyat.
15. Kapitalisme Politik
Bapak Capres dan Cawapres, ada di
antara rakyat yang berposisi begini:
Kalau tak pilih GO, jangan pikir
pro-ZL. Cuma kapok sama GO, tapi tak berarti mantap pada ZL.
Ini Negara belum meruangi hak-hak
otentik rakyatnya untuk menentukan pemimpinya secara murni berdasarkan nurani
dan perhitungan akal sehatnya.
Ada ABCDEF hingga WXYZ, bahkan
ada HONOCOROKO hingga DOTOSOWOLO, belum lagi ALIFBATA sampai HAMZAHYA. Tapi
kami hanya diberi hak 0,00001%, dibatasi hanya dikasih pilihan GO atau
ZL.
Ini belum Demokrasi. Jangankan
lagi demokrasi yang mengakui eksistensi dan hak alam, hewan, para Nabi,
Malaikat dan Tuhan.
Apalagi proses hingga diajukan GO
dan ZL tidak berdasarkan kualitas, tapi tawar-menawar kapitalisme politik.
16. Tak Berani Menjabat
Pernah ketika makan bersama dengan
teman-teman serombongan teater, tiba-tiba saya tersedak sehingga seluruh
makanan di mulut saya nyemprot menimpa wajah teman yang duduk tepat di depan
saya.
Kotoran saya menimpa wajahnya,
harga diri pribadinya, martabat kemanusiaannya.
Dengan frustrasi saya minta maaf
berulang-ulang. Sambil langsung saya loncat dari kursi, berlari melingkar,
nyabet saputangan dari saku, saya usap wajahnya. Kemudian saya cium pipinya
kiri kanan dan saya peluk badannya.
Syukur teman itu sangat arif,
lapang dada dan berjiwa besar untuk memaafkan saya. Tetapi saya tidak pernah
merasa cukup untuk minta maaf. Dalam sehari itu saya minta maaf lebih 10 kali.
Pada waktu- waktu berikutnya permintaan maaf terus saya ulang-ulang. Eksistensi
saya sebagai manusia sudah cacat, saya tak akan berani menjabat jadi apapun di
kalangan manusia.
Rasa-dosa saya abadi : tak kan
pernah terbayar meskipun sampai Akherat.
17. Presiden Itu Apa
Kalau ditanya “Presidennya
siapa?”, tidak sukar menjawabnya :”Monggo mau milih siapa. Bebas dan rahasia”.
Tapi kalau pertanyaannya
“Presiden itu apa?”, agak tidak mudah menjawabnya.
Presiden itu apa? Kepala Negara?
Kepala Pemerintahan? Pengambil Keputusan? Pelaksana Keputusan? Orang nomer
satu? Pemimpin? Penguasa? Panglima? Direktur? Pemegang Amanat? Khalifah? Raja?
Sulthon? Dedengkot? Benggolan? Mbahureksa? Messiah? Ratu Adil? Satria Piningit?
Rais? Imam? Ro’un? Amir? Za’im? Waliyyul Amri? Qutb? ‘Amid? Qoid? Mursyid?
Mas`ul? Dalil?
Sedemikian kaya dan luas
cakrawala nilai-nilai Kepemimpinan, sehingga kabur, dan akhirnya tak
dipedulikan.
18. Pemimpin Yang Benar-Benar Pemimpin
Mustahil Pak Capres dan Pak
Cawapres tidak mengerti.
Bahwa di abad Globalisasi, yang
merupakan sistem penjajahan tercanggih dan terkomplit sekarang ini–beberapa
Negara dominan di muka bumi tidak menghendaki:
Bangsa Indonesia pandai
bernegara.
Dewasa dan mandiri berbangsa.
Berdaulat dalam kecerdasannya sebagai manusia dan masyarakat.
Waspada dalam menetapkan niat dan tujuan pembangunannya.
Berwawasan luas dan komprehensif secara ruang, serta akurat dan strategis secara waktu, dalam menyusun masa depan.
Dewasa dan mandiri berbangsa.
Berdaulat dalam kecerdasannya sebagai manusia dan masyarakat.
Waspada dalam menetapkan niat dan tujuan pembangunannya.
Berwawasan luas dan komprehensif secara ruang, serta akurat dan strategis secara waktu, dalam menyusun masa depan.
Para penguasa Dunia, baik dalam
posisi bekerjasama maupun bersaing, sama-sama membuntu jalan sejarah agar
jangan sampai Indonesia memiliki pemimpin yang benar-benar pemimpin.
Itulah cara paling efektif untuk
menggerogoti kekayaan dan menghancurkan mental bangsa ini sampai waktu tak
terbatas.
19. Yogya Mentraktir NKRI
Pak Capres dan Pak Cawapres
adalah “Muta’allimul-ghoib”, penembus penyibak penguak dan pembelajar kegaiban
atau kegelapan. Itu kalau mengacu pada sifat Allah “Alimul Ghoib”, Yang Maha
Tahu Kegaiban.
Manusia pembelajar kegaiban
adalah yang bergerak dari tidak tahu menuju tahu.
Capres Cawapres adalah orang
nomer satu yang wajib bergerak dari tidak mengerti menuju mengerti segala
urusan rakyat, Negara dan tanah airnya.
Itu syarat pertama dari 14
prinsip kepemimpinan kalau belajar kepada sebagian Asma Allah.
Misalnya, jangan sampai kita
menjadi bangsa yang terlaknat di hari esok, gara-gara tak tahu diri, tidak
ngerti bersyukur dan berterima kasih.
Maka Capres Cawapres
menginformasikan berapa jumlah biaya yang ditraktirkan oleh Kraton
Ngayogyakarta 1945-1947 kepada NKRI untuk melaksanakan Pemerintahan, dengan
seluruh keperluan birokrasi dan administrasinya.
Juga didetail hibah harta itu
berupa apa saja. Termasuk Sultan Hamengkubuwono IX pasang badan menjamin
eksistensi keuangan dan penghidupan NKRI di depan PBB dan lembaga-lembaga
internasional lain yang mempersyaratkannya?
Pun lengkapi dengan data tentang
hadiah Aceh kepada Indonesia, sehingga bersama Yogyakarta ia menjadi Daerah
Istimewa.
20. Berlatih Rahman Rahim
Mohon Pak Capres dan Pak Cawapres
menunda sejenak untuk berpikir menjadi “Malik” (Raja), sebelum berlatih
“Rahman” dan “Rahim” kepada rakyat.
Contoh kecil: cobalah cintai dan
sayangi Yogya dan Aceh.
Kata “istimewa” pada nama Yogya
dan Aceh, itu kemesraan persaudaraan nasional kah, atau simbolisme kebudayaan,
ataukah idiom konstitusi?
Sebab beda-beda substansinya,
hakekat dan syariatnya, manfaat dan resikonya.
Kalau itu soal persaudaraan dan
budaya, maka tidak ada legalitas formalnya. Tapi kalau keistimewaan itu
formal-konstitusional, bagaimana rumusan tata-kuasanya?
Para Capres dan Cawapres mohon
membenahi pengertian kita semua tentang itu. Misalnya kalau Yogya dan Aceh itu
istimewa, kenapa disebut Propinsi. Kalau propinsi, kenapa istimewa. Bagaimana
prinsip otoritas dan struktur kewenangannya, kewajiban dan haknya di antara
Pemerintah Pusat dengan Daerah Istimewa?
Secara “roso” (bukan rasa bukan
rōsã), apakah Yogya dan Aceh itu bawahan Jakarta, ataukah semacam orangtuanya
Indonesia.
21. Cacat Demokrasi
Cacat demokrasi, juga di
Indonesia, ada banyak, tapi saya sebut tiga saja, agar yang tidak disetujui
oleh para pelaku demokrasi ada tiga juga.
Pertama, demokrasi
dilaksanakan tanpa perundingan dengan Tuhan.
Kedua, tidak melibatkan
penduduk yang lain di bumi, misalnya tumbuh-tumbuhan, hewan, berbagai bangsa
Jin, energi-energi hidup makhluk-makhluk Tuhan lainnya yang juga punya hak yang
sama atas bumi.
Ketiga, rakyat tidak
berdaulat untuk memilih langsung Presidennya. Malah dimandatkan kepada
sekumpulan orang yang paling ambisius, serakah, tidak tahu malu dan lamis:
untuk menentukan satu dua orang yang rakyat dipaksa memilih salah satunya.
22. Demokrasi Kok Milih Siapa
Bangsa Indonesia ini sudah 73
tahun berdemokrasi, masih saja memilih “Siapa”.
Memang sih formalnya yang dipilih
adalah “Siapa”, tetapi pertimbangan para pemilihnya mestinya bukan “Siapa”-nya,
melainkan “Apa”-nya, “Bagaimana”-nya, “Kapan”-nya, “Kenapa”-nya, “Di Mana”-nya.
Seperti terminologi jurnalistik lah.
Misalnya, apa yang pernah
dilakukan olehnya selama ini, rekor pengabdian kerakyatannya seberapa. Dan apa
yang akan ia lakukan kalau jadi pemimpin, programnya mathuk atau tidak
dengan keperluan mendasar rakyatnya.
Bagaimana ia melakukannya, pola
managerialnya, strategi besar nasionalnya, budaya komunikasinya, akhlak
penerapannya. Sampai kapan perencanaannya, berpikir lima tahun sebatas jatah
jabatannya ataukah sejauh mungkin ke depan, karena Pemerintah lima tahunan
harus mengacu kepada program jangka panjang Negaranya. Sebab Negara tidak ada
rencana untuk berakhir atau bubar.
Kenapa kok begitu skala
prioritasnya, kenapa kok ajur-ajer pengabdian kepada rakyat
dinomor-satukan dan eksistensi dan citra diri dinomor-terakhirkan. Di mana saja
ia meletakkan kaki dan kegiatannya mencerminkan integritas kepemimpinannya.
Tetapi bangsa Indonesia tidak
diberi informasi tentang itu semua. Satu-satunya yang diketahui oleh rakyat
adalah “Siapa” Capres dan Cawapresnya.
23. Pemimpin Gila
Didukung Rektor dan para pimpinan
lainnya, kumpulan resmi mahasiswa ilmu politik dan pemerintahan Universitas
tertua Indonesia, bikin Sinau Bareng dengan CNKK.
Tentang “bagaimana berpolitik
tidak seperti kaum elite yang memimpin sekarang”–yang mereka sebut Democrazy:
para pelaku kegilaan politik, yang hasil utamanya adalah memecah-belah rakyat.
Kata “gila” itu maksudnya idiom
simbolik kultural ataukah benar-benar seperti yang dimaksudkan oleh ilmu
pengetahuan, psikologi misalnya, dengan kebenaran akademiknya.
Kalau melihat penyelenggaranya,
berarti gila dalam arti sebenarnya. Qoth’i. Bukan Dhonny, tafsir,
interpretasi, analisis dan persepsi.
Jadi bangsa Indonesia akan
memasuki tahun di mana mereka membayar biaya besar-besaran dan sibuk repot
untuk memilih dua di antara empat orang gila.
24. Qila Wa Qala Presiden
Berlangsunglah sebuah forum
massal rakyat sinau bareng. Workshop beberapa kelompok menemukan dan
menyimpulkan bahwa di antara segala apa saja dalam hidup ini, yang paling
paling paling penting adalah iman, taqwa, sabar, jujur dan ikhlas.
Mereka juga menemukan bahwa di
semua Sekolah, Pesantren, Universitas, Perguruan Tinggi, Majelis Taklim,
Kumpulan Tarikat, atau kerumunan-kerumunan di rumah-rumah Ibadah: tidak
tersedia pelatihan lelaku untuk lima hal penting itu.
Tidak ada kelasnya, tidak ada
mata kuliahnya, tidak ada workshopnya, tidak ada laboratoriumnya, tidak ada
bengkelnya, tidak ada trainingnya.
Yang berlangsung hanya orang
disuruh beriman, bertaqwa, bersabar, berjujur dan berikhlas. Tetapi tidak
pelatihannya, metodologinya, tehnik pendadarannya.
Sebagai warganegara mereka juga
harus memilih Presiden dan Wakilnya. Tetapi baik Presiden, Wakil maupun para
pemilihnya, tidak pernah berlatih untuk berlaku sebagaimana kewajibannya.
Yang pasti diketahui hanyalah
nama empat orang yang harus didua-orangkan, ditambah rerasanan massal, qila
wa qala, katanya begini begitu, menurut itu kok begini, menurut ini kok
begitu.
25. Presiden Pengisruh Rakyat
Sampeyan mau jadi Presiden dan
Wakil Presiden silahkan. Syaratnya tidak perlu plus, cukup asal tidak minus.
Tidak membangun ekonomi rakyat
apa boleh buat, asal jangan menghancurkannya.
Tidak membangkitkan
kesejahteraan, rakyat mencoba maklum, asal jangan bikin terpuruk penghidupan
rakyat.
Tidak bisa mengamankan kehidupan,
rakyat bisa aja mengalah, asal jangan malah bikin kisruh.
Tidak bisa mengatasi masalah
sesekali bisa dimaafkan, asalkan jangan tambahi masalah.
Problem-problem bangsa semakin
bertumpuk, rakyat bisa hanya mengelus dada, asal adanya Pak Presiden sendiri
jangan malah jadi problem.
Negara dan perpolitikan nasional
tidak sanggup mempersatukan rakyat, bisa dicari-cari alasan untuk dimaafkan —
asal jangan justru menjadi pemecah belah kesatuan rakyat.
Sebab demikian itulah yang
berlangsung hari-hari ini. Semua “jangan” itulah yang dilakukan oleh para
penguasa Negara, politisi nasional, orang-orang pintar di strata elite dan
menengah.
26. Presiden Rasa Malu
Syarat pertama menjadi Presiden
yang mudah dipahami oleh siapapun tapi amat sukar dilakukan oleh
pelakunya–adalah orang yang tidak berambisi jadi Presiden.
Hulunya manusia ambisius adalah
nafsu, hilirnya keserakahan. Di dalam dirinya penuh sesak oleh kobaran api
kepentingan pribadinya sendiri. Jabatan adalah pakaiannya, Negara adalah
perusahaannya, kekuasaan adalah pedangnya, dan rakyat hanyalah alas kaki
kepentingannya.
Rakyat yang belum tahu tapi
memilihnya karena merasa punya harapan, adalah rakyat yang tertipu. Rakyat yang
sudah tahu tapi tetap memilihnya karena sudah buta matanya, adalah rakyat yang
dungu.
Membangun bangsa kategori
terakhir itulah memang program utama kaum politisi. Seluruh sistem politik,
konstitusi dan aturannya khusus diperuntukkan bagi calon-calon yang ambisius,
yang tega memfitnah dan menyingkirkan lainnya, serta yang tak punya harga diri
dan budaya malu.
27. Tutupi Kekurangan Indonesia
Di dalam UUD 1945, Bab I Pasal 1,
3 ditetapkan bahwa “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”.
Artinya, dalam Ilmu Maiyah:
Indonesia ini Negaranya adalah Negara Hukum, warganya adalah Manusia Keadilan,
dan tanah airnya adalah Tanah Air Nurani.
Tatanannya makro-mikronya: Tuhan
(kalau memang ber-Pancasila) > Tanah Air > Rakyat > Negara >
Pemerintah.
Strata supremasinya: Uluhiyah
Tuhan > Mizan Kesemestaan > Nurani Kemanusiaan > Akal Keadilan >
Rumusan Hukum.
Supremasi Hukum berlaku pada
Gelembung-gelembung mikro pemerintahan.
Sesungguhnya saya sedang
mencarikan argumentasi bahwa jargon NKRI “Supremasi Hukum” berasal dari
pemahaman pengetahuan yang tidak lengkap, serta ilmu yang belum dewasa. Ini
demi menutupi kekurangan Indonesia.
28. Presiden Manusia Keadilan
Hakikinya Capres dan Cawapres
tidaklah “memerlukan hukum”, karena mereka tak mungkin melanggar pagar
hukum.
Bagaimana bisa?
Karena seharusnya Presiden adalah
hamba Tuhan, manusia nurani, penyayang kemanusiaan, berakal keadilan.
Kepastian hukum adalah bagian
otomatik dalam kepribadiannya. Itu yang membuat mereka dipercaya oleh
rakyatnya.
Tetapi kalau yang memimpin
menjalani kepatuhan hukum saja tidak bisa, maka hakikinya dia belum layak
dikategorikan sebagai manusia, jauh dari kepantasan menjadi Presiden, apalagi Ahsanu
Taqwim. Jangankan lagi Insan Kamil, strata kualitas kemanusiaan yang
dipersyaratkan agar seseorang pantas memimpin.
29. Tampang Presiden
Bapak Capres dan Cawapres
hendaklah belajar sendiri-sendiri atau Sinau Bareng untuk mencapai kemampuan
senantiasa berkata dan bertindak proporsional, tepat, akurat, dengan tingkat
presisi setinggi mungkin.
Sebab yang akan Anda pimpin itu
manusia, bukan benda, materi atau barang. Manusia adalah miniatur Tuhan, dengan
kelengkapan dan keutuhan. Seluruh kandungan semesta ada pada manusia, sementara
anasir utama kemanusiaan–misalnya hati, nurani, harga diri, akal, muru`ah,
derajat, martabat dll–tidak dikandung oleh alam.
Hanya ahsanu taqwim manusia yang
mampu membedakan antara wajah, pasuryan, rai, dapur, tampang atau prèjèngan.
Pemimpin bahkan wajib bisa
meletakkan setiap kata itu pada presisi sosial, budaya, politik, psikologis,
atmosfer dan nuansa.
Kata asu, dobol, diamput dll bisa
saja menggembirakan dan menambah kemesraan: kalau diletakkan pada presisi kemanusiaan
dan bebrayan yang tepat, yang memperhitungkan keseimbangan dan harmoni atau
keselarasan.
30. Presiden Parah
Betapa parahnya bangsa ini,
memilih pemimpin tanpa wawasan.
Betapa malangnya bangsa ini,
memilih Presiden tanpa pengetahuan.
Betapa semberononya bangsa ini,
menempuh masa depan tanpa kewaspadaan.
Menjunjung idola tanpa ilmu,
memuja-muja pembohong sebagai pahlawan.
Memberi penghormatan tanpa
ketepatan, menghina tanpa perhitungan.
Terpesona kepada fatamorgana,
terkesima oleh khayalannya sendiri yang fana.
Pengingkar janji dinabi-nabikan,
munafik diratuadilkan.
Pengkhianat
dimuhammad-muhammadkan, pendusta dimalaikat-malaikatkan.
Mempertengkarkan hal-hal yang
tidak layak dipertengkarkan, mengubur sesuatu yang seharusnya dipersoalkan.
31. Presiden Sorga Neraka
Calon rakyat Pak Capres dan
Cawapres menginginkan komitmen bahwa demi Pancasila bersama, mereka memohon
Bapak berdua turut menuntun perjalanan ke sorga dan menjaga jangan sampai
kesasar masuk neraka.
Sebab tata nilai yang sedang
berlangsung adalah orang-orang dipimpin membangun sorga secara neraka atau
dengan jalan neraka. Atau apa yang selama ini diyakini sebagai sorga ternyata
hakikinya adalah neraka.
Demikian pun sebaliknya.
Orang-orang bangga ketika
seharusnya merasa hina, mereka merasa sukses tatkala melorot martabatnya.
Mereka memilih fana dari baka.
Mengambil yang palsu, bukan yang sejati. Mereka menempuh kesementaraan, menolak
keabadian.
Mereka memasuki kesempitan,
menjauhi keluasan. Mereka menyembah tuhan-tuhan, dan melecehkan Tuhan.
Mereka membenci daging rezeki
segar halal, dan memilih bangkai.
Mereka membuang saudaranya dengan
dalih persaudaraan, mereka menghardik atas nama persatuan.
Mereka meneriakkan Bhinneka
Tunggal Ika, pluralisme, keragaman, syu’uban wa qabail–tetapi mereka
memaki, menghina, mengutuk, membuang, mengusir sesama manusia, sesama bangsa
Indonesia.
Bahkan andaikan mereka mampu
memusnahkan saudaranya yang mereka musuhi itu, pasti juga sudah dilakukan.
32. Presiden Hoax
1.Kejujuran diterapkan secara
jujur. Misalnya seorang yang memenuhi berbagai persyaratan kwalitatif maupun
kwantitatif untuk menjadi Pemimpin, diproses dan diangkat menjadi Pemimpin
dengan cara yang benar dan baik.
2.Kejujuran diterapkan secara
bohong. Orang yang layak jadi Pemimpin, tapi diangkat secara curang atau
bohong.
3.Kebohongan diterapkan secara
jujur. Tidak layak jadi pemimpin tapi menempuh dan ditempuh dengan memenuhi
aturan-aturan yang berlaku.
4.Kebohongan diterapkan secara
bohong. Tidak pantas, tidak ekspert, tidak memenuhi syarat jadi Pemimpin, tapi
memaksakan dan dipaksakan dengan segala cara sampai yang tidak halal dan penuh
dusta untuk menjadi Pemimpin.
Hoax bukan hanya berita bohong,
tapi juga pikiran tidak jujur, hati dengki dan bermusuhan, politik penguasaan
sepihak, dan apa saja yang merusak kehidupan.
33. Presiden Ajaib
Para makhluk yang tinggal di
keajaiban langit, malah menemukan ada yang sangat ajaib di bumi. Ialah orang di
bumi yang mati-matian ingin jadi Presiden, atau mempertahankan jabatan
Presidennya.
Presiden memanggul gunung
tanggung jawab keadaan se-Negara, dari perekonomian nasional hingga sebuah
lubang di jalanan. Padahal mengangkut batu pertanggungjawaban dirinya sendiri
saja belum tentu sanggup.
Maka di pandangan awam, ada empat
kemungkinan orang macam itu: nekat, bunuh diri, gila, atau dungu.
Allah sendiri menginformasikan: ”Sesungguhnya
Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka
semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan
mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia
itu amat zalim dan amat bodoh”
34. Presiden Aturan
“Lho kalau berjuang jadi Presiden
itu dianggap perilaku ajaib, terus gimana dong?”
“Kalau sudah terlanjur bikin
Negara ya harus ada Kepala Negaranya, entah Presiden atau apa namanya”
“Katanya mencalonkan diri jadi
Presiden itu nekat, bunuh diri, gila atau dungu?”
“Ya jangan jadi Presiden karena
ambisi dan ingin, apalagi bernafsu. Sebab resikonya Tuhan tidak ikut campur,
tidak peduli, tidak menolong”
“Terus gimana caranya supaya ada
Presiden?”
“Jangan mencalonkan diri”
“Kan aturannya harus mencalonkan
diri”
“Manusia berhak memperhitungkan
kembali manfaat mudarat, untuk memutuskan akan mengubah aturan bikinannya atau
tidak”.
35. Presiden Daulat
Kalau ada orang menawarkan diri
jadi Imam shalat, para makmum tidak akan memilihnya, atau minimal tidak
meridlainya jadi Imam.
Kalau ada orang mencalonkan diri
jadi Pemimpin, masyarakat yang masih punya tawadlu, harga diri dan rasa malu:
bisa merasakan bahwa itu orang sok hebat, merasa unggul dan tidak punya
kerendahan hati.
Kalau untuk punya Presiden
caranya harus dengan membuka pendaftaran pencalonan — maka mudah-mudahan masih
ada kemungkinan bahwa seseorang menjadi Presiden karena didaulat secara otentik
dan murni oleh rakyat.
Bagaimana caranya? Mekanismenya?
Prosedurnya?
Ada. Tergantung mau belajar atau
tidak.
36. Presiden Pancasila
Karena semua manusia, tanah, air,
darat, laut, sungai, gunung, tambang dan apa saja adalah hak milik Allah–maka
Presiden yang memimpin Negara logisnya ya atas perintah Allah.
Presiden ikhlas memimpin karena
diperintah oleh Tuhan, sehingga wajib menjalankannya.
Menjadi Presiden itu bukan
terutama soal hak, tapi kewajiban mengabdi. Kalau Tuhan yang perintah dan
mewajibkan, Ia men-support, memfasilitasi, membimbing dan melindungi”
“Bagaimana tahu atau memastikan
bahwa itu perintah Tuhan?”
“Lho katanya Pancasila. Tiang
utamanya kan Ketuhanan Yang Maha Esa. Lha selama 73 tahun ini bagaimana
pergaulannya dengan Tuhan?”
37. Presiden Dipilihkan
Pada umumnya rakyat Indonesia
sangat pandai menjalani hidup. Mandiri. Kerja keras. Tangguh. Iguh dan ubet-nya
ranking-1 dunia.
Penghidupan mereka tidak terlalu
tergantung pada baik buruknya Pemerintah.
Mungkin itulah sebabnya mereka
tidak pernah terdidik untuk pandai bagaimana memilih Presiden.
Bahkan bagaimana sebaiknya tata
cara memproses pemilihan Presiden mereka juga tidak peduli-peduli amat.
Mereka tidak pernah benar-benar
memilih Presiden di antara ratusan juta penduduk. Capres Cawapres-nya dipilihkan
3-4 dari 250 juta oleh hasil transaksi Parpol-parpol, mereka rela-rela saja.
Yang gaduh, ribut dan terus
bertengkar adalah sebagian rakyat yang tidak mandiri, sehingga nempel untuk
bekerja di gerbong Capres Cawapres.
38. Presiden Ridla
Secara umum rakyat dan bangsa
Indonesia memang belum punya pengetahuan dan kemampuan yang mencukupi tentang
bagaimana kehidupan ber-Negara.
Tidak mengerti beda dan pilah
antara Negara dengan Pemerintah. Misalnya tidak tahu kalau BUMN itu bukan BUMP,
ASN bukan ASP, TNI dan Polri bukan aparat Pemerintah melainkan perangkat
Negara. Juga MK, KY, KPK dll tidak terletak di struktur Pemerintahan.
Oleh para penguasa, ketidaktahuan
dan ketidakmampuan itu dipelihara dengan baik, dirawat dengan canggih dan
dijaga secara strategis untuk jangan sampai berubah.
Mungkin Tuhan pencipta rakyat
Indonesia yang pada suatu hari nanti menunjukkan bahwa Ia tidak ridla atas
pembodohan akut itu.
39. Presiden Penggede
Demokrasi memerlukan rakyat
dengan tingkat pengetahuan, ilmu dan kualitas intelektual dan budaya yang
memadai.
Kalau manusia tidak punya
perspektif pandang, sehingga tidak belajar memetakan sejatinya apa dan mana
Pencipta kehidupan, apa dan mana alam semesta, tanah air, rakyat, warga,
Negara, pemerintah — maka Presiden dianggap Penggede.
Maka menjadi Presiden adalah
prestasi tertinggi, karena potensial untuk digede-gedekan, dituhankan, dianggap
memegang pusat simpul segala kekuasaan. Hal tanggung jawab dan dosa, itu
sekunder.
Penggede itu 50% mitos. Kalau
Penggede meninggal, mitosnya 100% pahlawan yang 100% benar. “Sewilayah dengan
Tuhan dan Nabi”. Can do no wrong.
Maka kesalahan sejarah di masa
silam tak bisa diperbaiki, karena terkait dengan almarhum Penggede yang tidak
mungkin salah.
40. Presiden Loyang
Kalau para cendekiawan di antara
rakyat saja memperdebatkan kripik sebagai ketela, mempertengkarkan nasi pada
ranah padi, atau bermusuhan karena tidak mampu memilah konteks mana kapas mana
benang mana kain mana pakaian — bagaimana mungkin mereka semua layak memilih
Presiden.
Yang dipilih kemungkinan besar
adalah Presiden Kerikil karena disangka Mutiara. Presiden Loyang karena dikira
Emas. Presiden Kripik yang diyakini sebagai Ketela.
Karena tidak mampu meletakkan di
koordinat mana letak manusia, Nabi, pepohonan, ketuhanan, ratu adil, satriyo
piningit, mutiara, akik dan tahi ayam.
Kata “tahi ayam” juga bisa
dianggap penghinaan oleh orang yang tidak mengerti bahwa tlethong sapi
atau bahkan tinjanya sendiri adalah pintu ilmu dan jalan kesadaran menuju
keagungan qadla qadar Sang Maha Beliau.
41. Pseudo-Presiden
Primer disekunderkan. Sekunder
diprimerkan. Madzhab diagamakan. Ormas diaqidahkan. Pemerintah dimalaikatkan.
Presiden dituhankan. Aturan manusia dilauhil-mahfudhkan.
Syariat diijtihadkan. Ijtihad
disyariatkan. Qoth’iy di-dhonny-kan. Dhonny di-qoth’iy-kan.
Kebencian dipercintakan, cinta
diperbencikan. Wajib dimakruhkan, haram disunnahkan, halal dipermusuhkan.
Matematika diperdemokrasikan, demokrasi diperniagakan. Betapa parahnya bangsa
ini, tidak belajar sudut pandang. Tidak sinau bareng sisi pandang, resolusi
pandang, jarak pandang. Kaki dikepalakan, pantat diwajahkan, wajah dibokongkan.
Bangsa yang para cerdik pandainya
saja dilanda ketidaklengkapan ilmu, ketidakutuhan pandangan dan ketidaktepatan
pengetahuan seperti itu maka produknya hampir mustahil kalau bukan
Pseudo-Presiden.
42. Presiden Keseimbangan
Kalau hak tidak dijunjung dalam
keseimbangan dengan kewajiban. Kalau kewajiban tidak dipahami dari benih, akar
dan sanad-matan.
Kalau keinginan
dimerdeka-merdekakan. Kalau kemerdekaan tidak dibimbing oleh hakekat
batasan-batasan. Kalau kebutuhan tidak meregulasi nafsu dan keserakahan.
Maka yang berlangsung dalam
budaya bernegara dan peradaban berbangsa adalah deret hitung kebodohan dan
deret ukur dismanajemen.
Niat baik untuk mengatasi
masalah, menghasilkan masalah baru. Kebenaran memproduksi kebatilan. Kebaikan
melahirkan kemudaratan.
Jangankan memilih Presiden,
menjaga badan dari kelebihan kolestrol, memelihara kesehatan dari asam urat,
lemak jahat, disfungsi onderdil-onderdil jasad saja tak semakin bisa.
Jangankan lagi jiwanya,
mentalnya, moralnya, harmoni psikologisnya, ketepatan perjodohan jasmani
rohaninya.
Allah menuntun duduk iftirasy,
hamba-Nya memilih duduk ongkang-ongkang. Tuhan menghamparkan daging segar, hamba-Nya
memilih bangkai goreng.
43. Presiden Tampilan
Di Abad 21, dengan industri 4.0,
teknologi supra dan ilmu matahari terbit dari Barat, manusianya merasa paling
hebat di antara ummat manusia sepanjang zaman.
Tapi manusia dan kemanusiaan
tidak menjadi fokus kemajuan. Manusia semakin tidak mampu memahami manusia.
Yang disebut manusia hanya faktor teknisnya, tampilan casing-nya,
performa topeng sosialnya, bahkan tingkat produktivitas materiilnya.
Kalau ada orang kaya, disebut
sukses. Kalau jadi Presiden, disimpulkan itu puncak pencapaian karier.
Kalau rajin beribadah, disebut
saleh. Kalau pakai surban, itu Kiai. Kalau fasih mengucapkan firman, itu
Ustadz. Kalau tangannya nenteng tasbih, itu Syekh alim. Kalau namanya pakai KH,
itu Ulama. Kalau Sarjana, itu ilmuwan. Kalau Doktor, itu ekspert.
Mereka cari pemimpin, yang
dipilih Presiden.
44. Presiden HAM
Yang paling mendasar dan utama
dari sifat durhaka manusia adalah manusia berlaku seakan-akan manusia
menciptakan dirinya sendiri.
Puncaknya manusia
memproklamasikan “Hak Asasi Manusia”. Seolah-olah ia punya saham atas
terciptanya sehelai rambutnya. Seolah-olah ia berinisiatif dan berkuasa atas
detak jantung dan aliran darahnya. Seolah manusia sendirilah yang merancang
hidup dan matinya.
Itu bukan hanya durhaka, tapi juga
tidak rasional, tidak ilmiah, tak bernalar, seolah-olah ia tak punya akal.
Memenggal hilir dari hulu. Menggelapkan asal-usul. Tidak setia kepada sebab
akibat.
Kalau manusia terhadap dirinya
sendiri saja bersikap tidak mendasar, tidak jujur dan tidak rasional—maka kalau
memilih Presiden, mustahil yang dimaksud adalah benar-benar Presiden.
45. Presiden Pemimpin Dunia
Sampai hari ini yang dimaksud
kemajuan adalah struktur bangunan fisik, pembangunan materiil, kemegahan kasat
mata alias Ilmu Katon. Bukan Peradaban Manusia.
Maka yang dilihat pada manusia
hanyalah bagian meteriilnya. Berdasarkan kulit luarnya, identitasnya, ormasnya,
parpolnya, profesinya, pakaiannya, madzhabnya, kategorinya, box-nya, kotaknya,
tempurungnya, topeng kemegahan jasadiyahnya.
Peradaban primitif dan dekaden
seperti itu belum mengenal fenomena Semar yang gembrot tapi ternyata Insan
Kamil. Gareng mata juling yang adalah filosof. Petruk yang berhidung
panjang adalah ilmuwan, Bagong yang buruk muka adalah pujangga, budayawan dan
pakar komunikasi.
Peradaban Indonesia Zaman Now
menyangka Punakawan adalah badut. Nggak paham Punakawan, apalagi Panakawan.
Yang dibutuhkan oleh bangsa agung
Nusantara Raya adalah Presiden yang menyimpan disain besar Cetak Biru
Peradaban Manusia untuk besok pagi. Meninggalkan Peradaban Maniak Materi,
Peradaban Budak Industri, Peradaban Kekuasaan Hewani hari ini.
Presiden Indonesia harus
Pemimpin dunia.
(Mbah Nun bersama Masyarakat
Maiyah)
Sumber : https://www.caknun.com/tag/reformasi-nkri/
0 komentar:
Posting Komentar