"Manners Before Knowledge"

  • Slide 1

    Melayani Pembuatan Seal Hydraulic dan Pneumatic dengan Ukuran serta Profile yang tidak Standart.

  • Slide 2

    Semar memiliki ciri yang menonjol yaitu berkuncung putih, kuncung putih itu sebagai simbol atau memiliki arti pikiran,gagasan yang jernih.

  • Slide 3

    Gareng memiliki ciri fisik bermata kero, bertangan ceko dan berkaki pincang. Mata kero berarti kewaspadaan, tangan ceko berarti ketelitian dan kaki pincang adalah kehati-hatian.

  • Slide 4

    Petruk, jika kedua tangannya digerakkan seperti kedua orang yang bekerjasama dengan baik. Tangan depan menunjuk, memillih apa yang dikehendaki. Tangan belakang menggenggam erat-erat apa yang telah dipilih.

  • Slide 5

    Bagong memiliki ciri yaitu dua tangan yang kelima jarinya terbuka lebar yang menyimbolkan selalu bersedia untuk bekerja keras.

Sabtu, 21 September 2013

Manajemen Tiga Laci



Manajemen Tiga Laci

Terkait pengelolaan keuntungan, Cak Nun menyarankan supaya ada kas plasma mandiri di mana semua orang menabung secara tercatat dalam kepengurusan yang terkontrol, dan ada kas plasma abadi yang tidak tercatat. Mungkin di setiap RT atau satuan yang lebih kecil, ada kotak kolektif dengan dasar sudah saling percaya, di mana setiap orang ikhlas investasi dunia akhirat. Cak Nun menggambarkannya dalam manajemen tiga laci tukang bakso. Ada laci jual beli, laci keluarga, dan laci untuk tujuan abadi.

“Saya pribadi tidak punya pekerjaan, menanggung banyak sekali orang, maka saya menggunakan manajemen tiga laci. Anak-istri saya harus beres, ini wajib hukumnya. Katakanlah sebulan dua juta. Laci kedua dinamis sifatnya, dia siap membantu laci pertama kalau ada hal-hal darurat. Kalau ada sisa lebih dari men-supply laci pertama, saya masukkan ke laci ketiga. Laci ini tidak boleh diutak-atik sampai akhirat.”

“Saya ada uang keluarga, uang sosial, dan uang pendheman. Uang pendheman saya masukkan dalam plastik, lalu saya simpan di dalam tanah. Jumlahnya bisa puluhan kali lipat daripada laci pertama dan kedua karena Tuhan  bisa menambahinya.”
Maka Kiaikanjeng yang sekian banyaknya itu tak pernah menggantungkan hidup mereka dari profesionalitas. Mereka hanya profesional ketika diundang perusahaan-perusahaan besar, tapi begitu bersentuhan dengan masyarakat desa, yang terjadi bisa semi infaq maupun infaq murni. Dan kalau dapat satu event profesional, Kiaikanjeng melakukan infaq untuk dua event. 

Semi infaq itu Kiaikanjeng tidak mendapat apa-apa tapi masyarakat yang menyediakan sound system dan panggungnya. Kalau bertemu dengan korban gempa, misalnya, yang terjadi adalah infaq murni, di mana Kiaikanjeng dan Cak Nun yang menyiapkan semuanya bahkan kalau perlu sekalian menanggung konsumsi dan kebutuhan-kebutuhan lain mereka. Manajemen adalah mengadakan sesuatu yang tidak ada. Kalau sudah ada uang kemudian diatur, itu bukan manajemen tapi kasir.

Dalam Surat Ath-Thalaq ayat 2 dan 3 ada transaksi yang ditawarkan Allah. Kalau kita bayar takwa kepada Allah, Allah memberikan solusi atas setiap masalah kita dan memberikan rizqi dari arah yang tidak kita duga-duga. Takwa itu menetapkan diri dalam ingatan kepada Allah, mempertimbangkan apa saja berdasarkan adanya peran Allah. Takwa ada di dalam komitmen kita.

Kalau kita bayar tawakal, Allah berjanji ikut menghitung seluruh keperluan-keperluan kita dan membuat kita mampu mencapai cita-cita. Tawakal itu kesetiaan untuk terus-menerus mengerti ketergantungan kepada Allah. Tawakal itu letaknya di dalam hati.

“Saya itu sering diberi cash oleh Allah. Pernah suatu malam pengajian saya didatangi Mbah Siraj, kiai 94 tahun dari Klaten. Saya sedih karena waktu itu tak punya uang untuk nyangoni. Saya turun panggung, wudlu, masuk kamar. Ketika hendak sisiran, tiba-tiba ada uang sepuluh juta di dekat sisir. Tapi saya harus tahu bahwa itu bukan uang saya. Itu uang Mbah Siraj dan saya tidak boleh mengambilnya sepeserpun. Maka kalau sama Allah Anda jangan tanggung-tanggung. Manja sama Allah itu sebaik-baiknya pekerjaan.”


Catatan Silaturahmi Inti Plasma di Desa Bumi Pratama Mandira Bersama Cak Nun
Share:

Ulang-Alik Hidup di Dunia



Ulang-Alik Hidup di Dunia

Ada Masjidil Haram ada Masjidil Aqsa. Ada kegembiraan, ada pula kesedihan. Terang – gelap, bahagia – menderita, jaya – bangkrut. Hidup adalah perjalanan ulang-alik di antara keduanya, hijrah terus-menerus. Maka manusia harus siap untuk menjadi dewasa di dalam kegembiraan maupun di dalam kesedihan. Banyak orang yang menjadi dewasa ketika susah, menjadi hebat kalau menderita, tapi rapuh begitu dia bahagia. Ada orang siap miskin tapi tidak siap kaya, ada yang siap kaya tidak siap miskin, dan ada yang tidak siap terhadap keduanya.

“Kalau Anda bahagia, ambil 10% darinya untuk sedih, untuk prihatin dan eling bahwa bersama kegembiraan ada kemungkinan akan muncul kesedihan. Ketika gembira jangan sampai 100% sampai lupa daratan. Sebaliknya kalau Anda sedang terpuruk, sedih, menderita, jangan 100% juga karena 10%-nya menggembirakan. Harus ada kegembiraan diam-diam karena dari kesedihan itu mungkin Allah akan memberikan kegembiraan yang lebih besar daripada yang Anda harapkan. Jangan sampai 100% sedih dan 100% gembira. Ini masalah noto ati.

Wilayah Bid’ah

Banyak orang membid’ahkan shalawat, misalnya, dengan dasar shalawat tidak dilakukan, diperintahkan, dan dianjurkan Rasulullah. Benar definisinya, tapi ada satu hal yang tidak mereka urus, yaitu soal wilayah. Padahal setiap hal punya ruang dan waktunya untuk berlaku. Kalau memang mau konsisten tidak bicara wilayah, berarti bersepeda motor, membentuk NU atau Muhammadiyah, memakai sarung, menggunakan telepon seluler, juga masuk dalam bid’ah.

Di dalam Islam ada yang namanya ibadah mahdloh atau rukun Islam, yaitu ibadah yang pengaturan prosedur pelaksanaannya ditetapkan oleh Allah. Di luar ibadah mahdloh, usaha-usaha manusia untuk mendekat kepada Allah masuk dalam wilayah muamalah. Shalawat, bikin tambak udang, Syawalan, itu termasuk dalam wilayah ibadah muamalah. Letaknya bid’ah adalah hanya di lingkup ibadah mahdloh.

Sementara ibadah muamalah, rumusnya adalah melakukan apa saja asalkan tidak melanggar syariat, tidak melanggar larangan-larangan Allah. Shalawat merupakan bentuk ibadah muamalah, yang ekspresinya boleh lewat ucapan, hati, maupun sikap – yang penting kita mengabdikan diri kepada Allah melalui ittiba’ Rasulullah.

“Shalawat itu kolusi. Anda minta tolong sama Tuhan itu belum tentu ditolong, tapi kalau Anda minta tolong dengan membawa nama Rasulullah, pasti ditolong. Shalawatan itu mempermudah tercapainya kehendak Anda dikabulkan oleh Allah. Saya menyebut ini sebagai cinta segitiga antara Allah, Rasulullah, dan kita. Allah bershalawat, Nabi bershalawat kepada Allah, Allah bershalawat kepada kita, kita bershalawat kepada Allah dan Nabi. Ini kemesraan kita dengan Allah dan Rasulullah.”
Mereka yang melarang-larang shalawat tidak mampu memahami kemesraan semacam itu. Mereka itu menjadi manusia saja belum, jangankan menjadi Muslim. Kalau manusia seharusnya mau bertegur sapa, kalau manusia seharusnya bisa menghargai manusia lainnya.

Roti dan Tai

“Anda ini ibarat makan roti; dari tadi Anda bersyukur atas hasil usaha budidaya Anda. Sementara banyak yang di luar sana sehari-hari makan tai, tapi karena kemampuan menderita yang luar biasa, mereka bisa terus survive. Maka terjemahan saya, saya diminta datang ke Tulangbawang untuk solusi, sementara ke sini untuk prevensi. Di sana untuk mengobati, di sini untuk njamoni, kasih vitamin-vitamin saja.”

Rakyat Indonesia yang tiap hari makan tai tadi, karena teknologi nrimo ing pandum-nya, mampu memaknai tai sebagai roti. Ini hebat, tapi begitu lewat sepuluh tahun, generasi berikutnya hanya tahu bahwa ada tai dan ada roti tapi tak mampu lagi membedakan keduanya. Mereka tidak mengerti apakah Jokowi, Prabowo, dan Wiranto itu roti atau tai.

Yang paling hancur adalah generasi ketiga – yang sekarang sudah muncul. Mereka tak lagi tahu bahwa ada wacana tai. Semua yang di depan mereka, mereka mengenalnya hanya sebagai roti. Televisi, koran, pilkada, semuanya roti di mata mereka.


Catatan Silaturahmi Inti Plasma di Desa Bumi Pratama Mandira Bersama Cak Nun 
Share:

Jangan Sampai Ikut Sakit



Jangan Sampai Ikut Sakit

Ibarat manusia, Republik Indonesia ini sedang sakit sementara Inti dan Plasma sehat-sehat saja. Yang sehat jangan sampai tertular yang sakit. Oleh karena itu yang perlu dikerjakan adalah mengidentifikasi bagaimana proses penularan penyakit-penyakit yang diderita Indonesia.
Masuknya Indonesia ke desa Bumi Pratama Mandira ini bisa lewat politik dengan undang-undangnya yang moroti para petambak, bisa lewat berita-berita di koran, bisa lewat tayangan-tayangan televisi, tapi bisa juga lewat gerakan-gerakan yang lebih ‘kasar’. Misalnya kalau di Pulau Jawa, ada gerakan-gerakan Pakistan yang menugaskan beberapa utusannya menyebarkan ajaran.

Kapal mereka berlayar menyusuri Pantai Selatan, mengangkut sekitar 400 orang. Dari pantai Gunung Kidul mereka menyewa perahu nelayan seharga 500.000 untuk menjemput para utusan sekaligus merekrut penduduk lokal untuk dilatih di Pakistan. Empat bulan kemudian barulah mereka dikembalikan. Begitu seterusnya.Perusakan-perusakan Islam semacam ini merupakan rekayasa internasional yang disponsori oleh trio Amerika Serikat, Israel, dan Arab Saudi.
Andil televisi dalam merusak adalah menggambarkan ulama sebagai tukang menasihati sehingga Islam menjadi tidak ada hubungannya dengan budidaya tambak, pengolahan sawah, atau ngojek untuk cari nafkah. Terdengar sepele, tapi ini yang membentuk pemahaman sekularisme di dalam pandangan orang Indonesia.

“Dalam tayangan-tayangan siraman rohani, Anda pikir yang mengatur siapa jamaahnya, bagaimana format acaranya, jam berapa syutingnya, itu benar-benar orang Islam? Anda selama ini disetir oleh orang-orang yang sebenarnya tidak ada urusan dengan kejayaan Islam. Mereka adalah orang-orang yang secara budaya dengan taktis strategis menghancurkan Islam.”

“Ini saya agak sedih mengatakannya; kok Anda punya keinginan mengundang Yusuf Mansyur itu atas pemahaman apa? Nomor satu yang menghancurkan Anda ya televisi itu. Yang mana dari acara TV yang mencerdaskan, yang membuat Anda jadi lebih baik? Maka tolong ciptakan hiburan dari komunitas dan silaturahmimu sendiri daripada tergantung pada hiburan TV.”

Pemberitaan-pemberitaan sekarang ini hanya ibarat bau kentut. Masyarakat seharusnya punya kecerdasan untuk mengidentifikasi dengan jernih siapa yang kentut, kenapa dia kentut sekarang bukannya kemarin atau besok – apakah ada maksud politik atau kepentingan pribadinya. Lalu kenapa kentut yang dipilih yang bunyinya seperti itu, makan apa dia sampai bau kentutnya begitu. Jadi, informasi pun harus kita organisir dengan baik agar kita tidak menjadi korban.

Misalkan tadi ada persoalan mengenai hamil di luar nikah. Itu kan akibat. Sebabnya adalah situasi yang tidak terkontrol dalam tatanan masyarakat yang membuat anak-anak SMP pacaran tidak masalah, rangkul-rangkulan di jalan sah-sah saja. Media massa juga berperan sangat besar dalam membentuk pandangan ini.

“Penyebab tadi itu berlaku di Indonesia atau juga berlaku di plasma? Anda yang harus mengontrolnya. Sekarang tabung negeri Anda harus dipertebal, filternya diperketat di segala bidang agar tidak keracunan dari luar. Kalau di Jawa, dulu kita tenang-tenang saja kalau anak kita keluar rumah karena tetangga-tetangga ikut melindungi. Sekarang keluar rumah itu ancaman; entah itu diculik, diajari yang nggak-nggak, atau kena narkoba.”

Misalkan anak kita di sekolah diajak temannya urunan sekian ribu rupiah. Ternyata temannya di-setup untuk kerja sama dengan polisi, uang yang terkumpul digunakan untuk beli ganja. Semua yang urunan ditangkap. Kepentingan utama bukan pada si anak, tapi dengan kasus itu polisi bisa leluasa memeras bapaknya. Setelah dirasa cukup, barulah kasus dibatalkan. Ini sering sekali terjadi.
“Urusan Anda kan menyangkut moral, politik, penyempitan-penyempitan agama; itu harus dipermatang ilmunya. Jadi kalau menyekolahkan anak, jangan serahkan dia seratus persen kepada sekolah karena sekolah tak punya urusan dengan moral anak. Lulusan terbaik itu bukan berarti baik. Yang ada di sekolah hanyalah urusan kepandaian, padahal kepandaian menjadi berbahaya kalau tidak dengan kebaikan. Sekolah hanyalah asisten di bidang kepandaian, tapi untuk kepribadian dan moral harus ditangani oleh orang tua. Pendidik utama adalah orang tua.”

Kalau ada kiai menghamili santrinya, masyarakat sudah tidak mengakuinya sebagai kiai. Tapi kalau ada profesor menghamili mahasiswinya, keprofesorannya tidak terganggu sama sekali. Ini sudah cukup menunjukkan mana yang sehat : masyarakat atau dunia.

“Masyarakat Wachyuni Nusantara (WM) harus punya paket-paket pendidikan moral dan pendidikan kultural. Yang namanya plasma itu bukan hanya orang-orang tua, tapi juga anak-anak – meski tidak semua mau menjadi petambak. Tapi sejak awal mereka sudah harus mengerti moral dan kebiasaan baik. Kebiasaan baik ini jauh lebih penting daripada pemahaman.”


Catatan Silaturahmi Inti Plasma di Desa Bumi Pratama Mandira Bersama Cak Nun
Share:

Lautan Jilbab

Pengunjung Blog

Posted by Arip. Diberdayakan oleh Blogger.

Pengikut