Sabtu, 21 September 2013
Manajemen Tiga Laci
Manajemen
Tiga Laci
Terkait
pengelolaan keuntungan, Cak Nun menyarankan supaya ada kas plasma mandiri di
mana semua orang menabung secara tercatat dalam kepengurusan yang terkontrol,
dan ada kas plasma abadi yang tidak tercatat. Mungkin di setiap RT atau satuan
yang lebih kecil, ada kotak kolektif dengan dasar sudah saling percaya, di mana
setiap orang ikhlas investasi dunia akhirat. Cak Nun menggambarkannya dalam
manajemen tiga laci tukang bakso. Ada laci jual beli, laci keluarga, dan laci
untuk tujuan abadi.
“Saya
pribadi tidak punya pekerjaan, menanggung banyak sekali orang, maka saya
menggunakan manajemen tiga laci. Anak-istri saya harus beres, ini wajib
hukumnya. Katakanlah sebulan dua juta. Laci kedua dinamis sifatnya, dia siap
membantu laci pertama kalau ada hal-hal darurat. Kalau ada sisa lebih dari men-supply
laci pertama, saya masukkan ke laci ketiga. Laci ini tidak boleh
diutak-atik sampai akhirat.”
“Saya
ada uang keluarga, uang sosial, dan uang pendheman. Uang pendheman saya
masukkan dalam plastik, lalu saya simpan di dalam tanah. Jumlahnya bisa puluhan
kali lipat daripada laci pertama dan kedua karena Tuhan bisa
menambahinya.”
Maka
Kiaikanjeng yang sekian banyaknya itu tak pernah menggantungkan hidup mereka
dari profesionalitas. Mereka hanya profesional ketika diundang
perusahaan-perusahaan besar, tapi begitu bersentuhan dengan masyarakat desa,
yang terjadi bisa semi infaq maupun infaq murni. Dan kalau dapat satu event profesional,
Kiaikanjeng melakukan infaq untuk dua event.
Semi
infaq itu Kiaikanjeng tidak mendapat apa-apa tapi masyarakat yang menyediakan sound
system dan panggungnya. Kalau bertemu dengan korban gempa, misalnya, yang
terjadi adalah infaq murni, di mana Kiaikanjeng dan Cak Nun yang menyiapkan
semuanya bahkan kalau perlu sekalian menanggung konsumsi dan
kebutuhan-kebutuhan lain mereka. Manajemen adalah mengadakan sesuatu yang tidak
ada. Kalau sudah ada uang kemudian diatur, itu bukan manajemen tapi kasir.
Dalam
Surat Ath-Thalaq ayat 2 dan 3 ada transaksi yang ditawarkan Allah. Kalau kita
bayar takwa kepada Allah, Allah memberikan solusi atas setiap masalah kita dan
memberikan rizqi dari arah yang tidak kita duga-duga. Takwa itu menetapkan diri
dalam ingatan kepada Allah, mempertimbangkan apa saja berdasarkan adanya peran
Allah. Takwa ada di dalam komitmen kita.
Kalau
kita bayar tawakal, Allah berjanji ikut menghitung seluruh keperluan-keperluan
kita dan membuat kita mampu mencapai cita-cita. Tawakal itu kesetiaan untuk
terus-menerus mengerti ketergantungan kepada Allah. Tawakal itu letaknya di
dalam hati.
“Saya
itu sering diberi cash oleh Allah. Pernah suatu malam pengajian saya
didatangi Mbah Siraj, kiai 94 tahun dari Klaten. Saya sedih karena waktu itu
tak punya uang untuk nyangoni. Saya turun panggung, wudlu, masuk kamar.
Ketika hendak sisiran, tiba-tiba ada uang sepuluh juta di dekat sisir. Tapi
saya harus tahu bahwa itu bukan uang saya. Itu uang Mbah Siraj dan saya tidak
boleh mengambilnya sepeserpun. Maka kalau sama Allah Anda jangan
tanggung-tanggung. Manja sama Allah itu sebaik-baiknya pekerjaan.”
Catatan Silaturahmi Inti Plasma di Desa Bumi Pratama
Mandira Bersama Cak Nun
Ulang-Alik Hidup di Dunia
Ulang-Alik
Hidup di Dunia
Ada
Masjidil Haram ada Masjidil Aqsa. Ada kegembiraan, ada pula kesedihan. Terang –
gelap, bahagia – menderita, jaya – bangkrut. Hidup adalah perjalanan ulang-alik
di antara keduanya, hijrah terus-menerus. Maka manusia harus siap untuk menjadi
dewasa di dalam kegembiraan maupun di dalam kesedihan. Banyak orang yang
menjadi dewasa ketika susah, menjadi hebat kalau menderita, tapi rapuh begitu
dia bahagia. Ada orang siap miskin tapi tidak siap kaya, ada yang siap kaya
tidak siap miskin, dan ada yang tidak siap terhadap keduanya.
“Kalau
Anda bahagia, ambil 10% darinya untuk sedih, untuk prihatin dan eling bahwa
bersama kegembiraan ada kemungkinan akan muncul kesedihan. Ketika gembira
jangan sampai 100% sampai lupa daratan. Sebaliknya kalau Anda sedang terpuruk,
sedih, menderita, jangan 100% juga karena 10%-nya menggembirakan. Harus ada
kegembiraan diam-diam karena dari kesedihan itu mungkin Allah akan memberikan
kegembiraan yang lebih besar daripada yang Anda harapkan. Jangan sampai 100%
sedih dan 100% gembira. Ini masalah noto ati.”
Wilayah
Bid’ah
Banyak
orang membid’ahkan shalawat, misalnya, dengan dasar shalawat tidak dilakukan,
diperintahkan, dan dianjurkan Rasulullah. Benar definisinya, tapi ada satu hal
yang tidak mereka urus, yaitu soal wilayah. Padahal setiap hal punya ruang dan
waktunya untuk berlaku. Kalau memang mau konsisten tidak bicara wilayah,
berarti bersepeda motor, membentuk NU atau Muhammadiyah, memakai sarung,
menggunakan telepon seluler, juga masuk dalam bid’ah.
Di
dalam Islam ada yang namanya ibadah mahdloh atau rukun Islam, yaitu ibadah yang
pengaturan prosedur pelaksanaannya ditetapkan oleh Allah. Di luar ibadah
mahdloh, usaha-usaha manusia untuk mendekat kepada Allah masuk dalam wilayah
muamalah. Shalawat, bikin tambak udang, Syawalan, itu termasuk dalam wilayah
ibadah muamalah. Letaknya bid’ah adalah hanya di lingkup ibadah mahdloh.
Sementara
ibadah muamalah, rumusnya adalah melakukan apa saja asalkan tidak melanggar
syariat, tidak melanggar larangan-larangan Allah. Shalawat merupakan bentuk
ibadah muamalah, yang ekspresinya boleh lewat ucapan, hati, maupun sikap – yang
penting kita mengabdikan diri kepada Allah melalui ittiba’ Rasulullah.
“Shalawat
itu kolusi. Anda minta tolong sama Tuhan itu belum tentu ditolong, tapi kalau
Anda minta tolong dengan membawa nama Rasulullah, pasti ditolong. Shalawatan
itu mempermudah tercapainya kehendak Anda dikabulkan oleh Allah. Saya menyebut
ini sebagai cinta segitiga antara Allah, Rasulullah, dan kita. Allah
bershalawat, Nabi bershalawat kepada Allah, Allah bershalawat kepada kita, kita
bershalawat kepada Allah dan Nabi. Ini kemesraan kita dengan Allah dan
Rasulullah.”
Mereka
yang melarang-larang shalawat tidak mampu memahami kemesraan semacam itu.
Mereka itu menjadi manusia saja belum, jangankan menjadi Muslim. Kalau manusia
seharusnya mau bertegur sapa, kalau manusia seharusnya bisa menghargai manusia
lainnya.
Roti
dan Tai
“Anda
ini ibarat makan roti; dari tadi Anda bersyukur atas hasil usaha budidaya Anda.
Sementara banyak yang di luar sana sehari-hari makan tai, tapi karena kemampuan
menderita yang luar biasa, mereka bisa terus survive. Maka terjemahan
saya, saya diminta datang ke Tulangbawang untuk solusi, sementara ke sini untuk
prevensi. Di sana untuk mengobati, di sini untuk njamoni, kasih
vitamin-vitamin saja.”
Rakyat
Indonesia yang tiap hari makan tai tadi, karena teknologi nrimo ing pandum-nya,
mampu memaknai tai sebagai roti. Ini hebat, tapi begitu lewat sepuluh tahun,
generasi berikutnya hanya tahu bahwa ada tai dan ada roti tapi tak mampu lagi
membedakan keduanya. Mereka tidak mengerti apakah Jokowi, Prabowo, dan Wiranto
itu roti atau tai.
Yang
paling hancur adalah generasi ketiga – yang sekarang sudah muncul. Mereka tak
lagi tahu bahwa ada wacana tai. Semua yang di depan mereka, mereka mengenalnya
hanya sebagai roti. Televisi, koran, pilkada, semuanya roti di mata mereka.
Catatan Silaturahmi Inti Plasma di Desa Bumi Pratama
Mandira Bersama Cak Nun
Jangan Sampai Ikut Sakit
Jangan
Sampai Ikut Sakit
Ibarat
manusia, Republik Indonesia ini sedang sakit sementara Inti dan Plasma
sehat-sehat saja. Yang sehat jangan sampai tertular yang sakit. Oleh karena itu
yang perlu dikerjakan adalah mengidentifikasi bagaimana proses penularan
penyakit-penyakit yang diderita Indonesia.
Masuknya
Indonesia ke desa Bumi Pratama Mandira ini bisa lewat politik dengan
undang-undangnya yang moroti para petambak, bisa lewat berita-berita di
koran, bisa lewat tayangan-tayangan televisi, tapi bisa juga lewat
gerakan-gerakan yang lebih ‘kasar’. Misalnya kalau di Pulau Jawa, ada gerakan-gerakan
Pakistan yang menugaskan beberapa utusannya menyebarkan ajaran.
Kapal
mereka berlayar menyusuri Pantai Selatan, mengangkut sekitar 400 orang. Dari
pantai Gunung Kidul mereka menyewa perahu nelayan seharga 500.000 untuk
menjemput para utusan sekaligus merekrut penduduk lokal untuk dilatih di
Pakistan. Empat bulan kemudian barulah mereka dikembalikan. Begitu
seterusnya.Perusakan-perusakan Islam semacam ini merupakan rekayasa
internasional yang disponsori oleh trio Amerika Serikat, Israel, dan Arab
Saudi.
Andil
televisi dalam merusak adalah menggambarkan ulama sebagai tukang menasihati
sehingga Islam menjadi tidak ada hubungannya dengan budidaya tambak, pengolahan
sawah, atau ngojek untuk cari nafkah. Terdengar sepele, tapi ini yang membentuk
pemahaman sekularisme di dalam pandangan orang Indonesia.
“Dalam
tayangan-tayangan siraman rohani, Anda pikir yang mengatur siapa jamaahnya,
bagaimana format acaranya, jam berapa syutingnya, itu benar-benar orang Islam?
Anda selama ini disetir oleh orang-orang yang sebenarnya tidak ada urusan
dengan kejayaan Islam. Mereka adalah orang-orang yang secara budaya dengan
taktis strategis menghancurkan Islam.”
“Ini
saya agak sedih mengatakannya; kok Anda punya keinginan mengundang Yusuf
Mansyur itu atas pemahaman apa? Nomor satu yang menghancurkan Anda ya televisi
itu. Yang mana dari acara TV yang mencerdaskan, yang membuat Anda jadi lebih
baik? Maka tolong ciptakan hiburan dari komunitas dan silaturahmimu sendiri
daripada tergantung pada hiburan TV.”
Pemberitaan-pemberitaan
sekarang ini hanya ibarat bau kentut. Masyarakat seharusnya punya kecerdasan
untuk mengidentifikasi dengan jernih siapa yang kentut, kenapa dia kentut
sekarang bukannya kemarin atau besok – apakah ada maksud politik atau
kepentingan pribadinya. Lalu kenapa kentut yang dipilih yang bunyinya seperti
itu, makan apa dia sampai bau kentutnya begitu. Jadi, informasi pun harus kita
organisir dengan baik agar kita tidak menjadi korban.
Misalkan
tadi ada persoalan mengenai hamil di luar nikah. Itu kan akibat. Sebabnya
adalah situasi yang tidak terkontrol dalam tatanan masyarakat yang membuat
anak-anak SMP pacaran tidak masalah, rangkul-rangkulan di jalan sah-sah saja.
Media massa juga berperan sangat besar dalam membentuk pandangan ini.
“Penyebab
tadi itu berlaku di Indonesia atau juga berlaku di plasma? Anda yang harus
mengontrolnya. Sekarang tabung negeri Anda harus dipertebal, filternya
diperketat di segala bidang agar tidak keracunan dari luar. Kalau di Jawa, dulu
kita tenang-tenang saja kalau anak kita keluar rumah karena tetangga-tetangga
ikut melindungi. Sekarang keluar rumah itu ancaman; entah itu diculik, diajari
yang nggak-nggak, atau kena narkoba.”
Misalkan
anak kita di sekolah diajak temannya urunan sekian ribu rupiah. Ternyata
temannya di-setup untuk kerja sama dengan polisi, uang yang terkumpul
digunakan untuk beli ganja. Semua yang urunan ditangkap. Kepentingan
utama bukan pada si anak, tapi dengan kasus itu polisi bisa leluasa memeras
bapaknya. Setelah dirasa cukup, barulah kasus dibatalkan. Ini sering sekali
terjadi.
“Urusan
Anda kan menyangkut moral, politik, penyempitan-penyempitan agama; itu harus
dipermatang ilmunya. Jadi kalau menyekolahkan anak, jangan serahkan dia seratus
persen kepada sekolah karena sekolah tak punya urusan dengan moral anak.
Lulusan terbaik itu bukan berarti baik. Yang ada di sekolah hanyalah urusan
kepandaian, padahal kepandaian menjadi berbahaya kalau tidak dengan kebaikan.
Sekolah hanyalah asisten di bidang kepandaian, tapi untuk kepribadian dan moral
harus ditangani oleh orang tua. Pendidik utama adalah orang tua.”
Kalau
ada kiai menghamili santrinya, masyarakat sudah tidak mengakuinya sebagai kiai.
Tapi kalau ada profesor menghamili mahasiswinya, keprofesorannya tidak
terganggu sama sekali. Ini sudah cukup menunjukkan mana yang sehat : masyarakat
atau dunia.
“Masyarakat
Wachyuni Nusantara (WM) harus punya paket-paket pendidikan moral dan pendidikan
kultural. Yang namanya plasma itu bukan hanya orang-orang tua, tapi juga
anak-anak – meski tidak semua mau menjadi petambak. Tapi sejak awal mereka
sudah harus mengerti moral dan kebiasaan baik. Kebiasaan baik ini jauh lebih
penting daripada pemahaman.”
Catatan Silaturahmi Inti Plasma di Desa Bumi Pratama Mandira Bersama Cak Nun