Jangan
Sampai Ikut Sakit
Ibarat
manusia, Republik Indonesia ini sedang sakit sementara Inti dan Plasma
sehat-sehat saja. Yang sehat jangan sampai tertular yang sakit. Oleh karena itu
yang perlu dikerjakan adalah mengidentifikasi bagaimana proses penularan
penyakit-penyakit yang diderita Indonesia.
Masuknya
Indonesia ke desa Bumi Pratama Mandira ini bisa lewat politik dengan
undang-undangnya yang moroti para petambak, bisa lewat berita-berita di
koran, bisa lewat tayangan-tayangan televisi, tapi bisa juga lewat
gerakan-gerakan yang lebih ‘kasar’. Misalnya kalau di Pulau Jawa, ada gerakan-gerakan
Pakistan yang menugaskan beberapa utusannya menyebarkan ajaran.
Kapal
mereka berlayar menyusuri Pantai Selatan, mengangkut sekitar 400 orang. Dari
pantai Gunung Kidul mereka menyewa perahu nelayan seharga 500.000 untuk
menjemput para utusan sekaligus merekrut penduduk lokal untuk dilatih di
Pakistan. Empat bulan kemudian barulah mereka dikembalikan. Begitu
seterusnya.Perusakan-perusakan Islam semacam ini merupakan rekayasa
internasional yang disponsori oleh trio Amerika Serikat, Israel, dan Arab
Saudi.
Andil
televisi dalam merusak adalah menggambarkan ulama sebagai tukang menasihati
sehingga Islam menjadi tidak ada hubungannya dengan budidaya tambak, pengolahan
sawah, atau ngojek untuk cari nafkah. Terdengar sepele, tapi ini yang membentuk
pemahaman sekularisme di dalam pandangan orang Indonesia.
“Dalam
tayangan-tayangan siraman rohani, Anda pikir yang mengatur siapa jamaahnya,
bagaimana format acaranya, jam berapa syutingnya, itu benar-benar orang Islam?
Anda selama ini disetir oleh orang-orang yang sebenarnya tidak ada urusan
dengan kejayaan Islam. Mereka adalah orang-orang yang secara budaya dengan
taktis strategis menghancurkan Islam.”
“Ini
saya agak sedih mengatakannya; kok Anda punya keinginan mengundang Yusuf
Mansyur itu atas pemahaman apa? Nomor satu yang menghancurkan Anda ya televisi
itu. Yang mana dari acara TV yang mencerdaskan, yang membuat Anda jadi lebih
baik? Maka tolong ciptakan hiburan dari komunitas dan silaturahmimu sendiri
daripada tergantung pada hiburan TV.”
Pemberitaan-pemberitaan
sekarang ini hanya ibarat bau kentut. Masyarakat seharusnya punya kecerdasan
untuk mengidentifikasi dengan jernih siapa yang kentut, kenapa dia kentut
sekarang bukannya kemarin atau besok – apakah ada maksud politik atau
kepentingan pribadinya. Lalu kenapa kentut yang dipilih yang bunyinya seperti
itu, makan apa dia sampai bau kentutnya begitu. Jadi, informasi pun harus kita
organisir dengan baik agar kita tidak menjadi korban.
Misalkan
tadi ada persoalan mengenai hamil di luar nikah. Itu kan akibat. Sebabnya
adalah situasi yang tidak terkontrol dalam tatanan masyarakat yang membuat
anak-anak SMP pacaran tidak masalah, rangkul-rangkulan di jalan sah-sah saja.
Media massa juga berperan sangat besar dalam membentuk pandangan ini.
“Penyebab
tadi itu berlaku di Indonesia atau juga berlaku di plasma? Anda yang harus
mengontrolnya. Sekarang tabung negeri Anda harus dipertebal, filternya
diperketat di segala bidang agar tidak keracunan dari luar. Kalau di Jawa, dulu
kita tenang-tenang saja kalau anak kita keluar rumah karena tetangga-tetangga
ikut melindungi. Sekarang keluar rumah itu ancaman; entah itu diculik, diajari
yang nggak-nggak, atau kena narkoba.”
Misalkan
anak kita di sekolah diajak temannya urunan sekian ribu rupiah. Ternyata
temannya di-setup untuk kerja sama dengan polisi, uang yang terkumpul
digunakan untuk beli ganja. Semua yang urunan ditangkap. Kepentingan
utama bukan pada si anak, tapi dengan kasus itu polisi bisa leluasa memeras
bapaknya. Setelah dirasa cukup, barulah kasus dibatalkan. Ini sering sekali
terjadi.
“Urusan
Anda kan menyangkut moral, politik, penyempitan-penyempitan agama; itu harus
dipermatang ilmunya. Jadi kalau menyekolahkan anak, jangan serahkan dia seratus
persen kepada sekolah karena sekolah tak punya urusan dengan moral anak.
Lulusan terbaik itu bukan berarti baik. Yang ada di sekolah hanyalah urusan
kepandaian, padahal kepandaian menjadi berbahaya kalau tidak dengan kebaikan.
Sekolah hanyalah asisten di bidang kepandaian, tapi untuk kepribadian dan moral
harus ditangani oleh orang tua. Pendidik utama adalah orang tua.”
Kalau
ada kiai menghamili santrinya, masyarakat sudah tidak mengakuinya sebagai kiai.
Tapi kalau ada profesor menghamili mahasiswinya, keprofesorannya tidak
terganggu sama sekali. Ini sudah cukup menunjukkan mana yang sehat : masyarakat
atau dunia.
“Masyarakat
Wachyuni Nusantara (WM) harus punya paket-paket pendidikan moral dan pendidikan
kultural. Yang namanya plasma itu bukan hanya orang-orang tua, tapi juga
anak-anak – meski tidak semua mau menjadi petambak. Tapi sejak awal mereka
sudah harus mengerti moral dan kebiasaan baik. Kebiasaan baik ini jauh lebih
penting daripada pemahaman.”
Catatan Silaturahmi Inti Plasma di Desa Bumi Pratama Mandira Bersama Cak Nun
0 komentar:
Posting Komentar