Ulang-Alik
Hidup di Dunia
Ada
Masjidil Haram ada Masjidil Aqsa. Ada kegembiraan, ada pula kesedihan. Terang –
gelap, bahagia – menderita, jaya – bangkrut. Hidup adalah perjalanan ulang-alik
di antara keduanya, hijrah terus-menerus. Maka manusia harus siap untuk menjadi
dewasa di dalam kegembiraan maupun di dalam kesedihan. Banyak orang yang
menjadi dewasa ketika susah, menjadi hebat kalau menderita, tapi rapuh begitu
dia bahagia. Ada orang siap miskin tapi tidak siap kaya, ada yang siap kaya
tidak siap miskin, dan ada yang tidak siap terhadap keduanya.
“Kalau
Anda bahagia, ambil 10% darinya untuk sedih, untuk prihatin dan eling bahwa
bersama kegembiraan ada kemungkinan akan muncul kesedihan. Ketika gembira
jangan sampai 100% sampai lupa daratan. Sebaliknya kalau Anda sedang terpuruk,
sedih, menderita, jangan 100% juga karena 10%-nya menggembirakan. Harus ada
kegembiraan diam-diam karena dari kesedihan itu mungkin Allah akan memberikan
kegembiraan yang lebih besar daripada yang Anda harapkan. Jangan sampai 100%
sedih dan 100% gembira. Ini masalah noto ati.”
Wilayah
Bid’ah
Banyak
orang membid’ahkan shalawat, misalnya, dengan dasar shalawat tidak dilakukan,
diperintahkan, dan dianjurkan Rasulullah. Benar definisinya, tapi ada satu hal
yang tidak mereka urus, yaitu soal wilayah. Padahal setiap hal punya ruang dan
waktunya untuk berlaku. Kalau memang mau konsisten tidak bicara wilayah,
berarti bersepeda motor, membentuk NU atau Muhammadiyah, memakai sarung,
menggunakan telepon seluler, juga masuk dalam bid’ah.
Di
dalam Islam ada yang namanya ibadah mahdloh atau rukun Islam, yaitu ibadah yang
pengaturan prosedur pelaksanaannya ditetapkan oleh Allah. Di luar ibadah
mahdloh, usaha-usaha manusia untuk mendekat kepada Allah masuk dalam wilayah
muamalah. Shalawat, bikin tambak udang, Syawalan, itu termasuk dalam wilayah
ibadah muamalah. Letaknya bid’ah adalah hanya di lingkup ibadah mahdloh.
Sementara
ibadah muamalah, rumusnya adalah melakukan apa saja asalkan tidak melanggar
syariat, tidak melanggar larangan-larangan Allah. Shalawat merupakan bentuk
ibadah muamalah, yang ekspresinya boleh lewat ucapan, hati, maupun sikap – yang
penting kita mengabdikan diri kepada Allah melalui ittiba’ Rasulullah.
“Shalawat
itu kolusi. Anda minta tolong sama Tuhan itu belum tentu ditolong, tapi kalau
Anda minta tolong dengan membawa nama Rasulullah, pasti ditolong. Shalawatan
itu mempermudah tercapainya kehendak Anda dikabulkan oleh Allah. Saya menyebut
ini sebagai cinta segitiga antara Allah, Rasulullah, dan kita. Allah
bershalawat, Nabi bershalawat kepada Allah, Allah bershalawat kepada kita, kita
bershalawat kepada Allah dan Nabi. Ini kemesraan kita dengan Allah dan
Rasulullah.”
Mereka
yang melarang-larang shalawat tidak mampu memahami kemesraan semacam itu.
Mereka itu menjadi manusia saja belum, jangankan menjadi Muslim. Kalau manusia
seharusnya mau bertegur sapa, kalau manusia seharusnya bisa menghargai manusia
lainnya.
Roti
dan Tai
“Anda
ini ibarat makan roti; dari tadi Anda bersyukur atas hasil usaha budidaya Anda.
Sementara banyak yang di luar sana sehari-hari makan tai, tapi karena kemampuan
menderita yang luar biasa, mereka bisa terus survive. Maka terjemahan
saya, saya diminta datang ke Tulangbawang untuk solusi, sementara ke sini untuk
prevensi. Di sana untuk mengobati, di sini untuk njamoni, kasih
vitamin-vitamin saja.”
Rakyat
Indonesia yang tiap hari makan tai tadi, karena teknologi nrimo ing pandum-nya,
mampu memaknai tai sebagai roti. Ini hebat, tapi begitu lewat sepuluh tahun,
generasi berikutnya hanya tahu bahwa ada tai dan ada roti tapi tak mampu lagi
membedakan keduanya. Mereka tidak mengerti apakah Jokowi, Prabowo, dan Wiranto
itu roti atau tai.
Yang
paling hancur adalah generasi ketiga – yang sekarang sudah muncul. Mereka tak
lagi tahu bahwa ada wacana tai. Semua yang di depan mereka, mereka mengenalnya
hanya sebagai roti. Televisi, koran, pilkada, semuanya roti di mata mereka.
Catatan Silaturahmi Inti Plasma di Desa Bumi Pratama
Mandira Bersama Cak Nun
0 komentar:
Posting Komentar