"Manners Before Knowledge"

Rabu, 08 November 2017

MATA AIR MAIYAH

MATA AIR MAIYAH
Oleh
Muhammad Ainun Nadjib


(1). Meskipun Maiyah adalah mataair yang dicurahkan dari langit ke suatu titik di tanah Indonesia, tetapi ia diperuntukkan hanya bagi hamba-hamba yang di dalam dirinya terdapat jiwa yang segelombang dengan amr dan irodah Maha Ruh sumber mataair itu, melalui garis syafaat kekasih-Nya Muhammad saw.

(2). Mataair Maiyah melahirkan Al-Muhtadin, hamba-hamba yang dihidayahi oleh Allah. Kemudian berhimpun menjadi Al-Mutahabbina Fillah, hamba-hamba yang saling mencintai semata-mata karena Allah. Bersaudara tidak karena hubungan darah, kesamaan golongan atau motivasi kekuasaan dan transaksi keduniaan. Mereka bersaudara dan merawat persaudaraan fid-dunya wal-akhirah, kholidina fiha abada, dalam keadaan berdiri, duduk atau berbaring. Dalam kemudahan atau kesulitan, kemiskinan atau kekayaan, kesedihan atau kegembiraan, dalam kepungan kegelapan atau limpahan cahaya. Mereka mengalir dalam getaran bersama. Mereka bergetar di aliran yang sama.

(3). Para pereguk mataair Maiyah diantarkan dan dihimpun memasuki suatu jagat kejiwaan di mana mereka mengalami kenikmatan bertauhid, ketakjuban ber-Islam, kesegaran silaturahmi, kemurnian ukhuwah, keseimbangan mental, kejernihan penggunaan akal, keadilan berpikir, ketenteraman hati, kebijaksanaan bersikap — serta secara keseluruhan semacam keterbimbingan hidup. Tetapi Allah menguji mereka: Seperti ada tangan besar yang menarik mereka ke jalan sunyi, yang membuat mereka terasing, berbeda bahkan bertentangan dengan dunia dan Indonesia.

(4). Air yang mereka tadahi dari Mataair Maiyah mungkin sekedar dijadikan minuman untuk kesegaran di tenggorokan hidup bersama keluarga. Untuk peluasan dan pendalaman ilmu kehidupan. Untuk racikan baru kesehatan dan pengobatan. Untuk meningkatkan kualitas Ziro’ah, eksplorasi kreativitas Shina’ah dan respons terhadap perubahan tata penghidupan Tijaroh. Atau bisa juga untuk penghimpunan energi zaman melawan kedhaliman nasional dan global. Bahkan lebih menyeluruh, bulat, kaffah sekaligus detail dan ‘serbuk’. Tetapi skala mereka sebatas “wala tansa nashibaka minad-dunya”. Tumpuan mereka adalah “innalloha ‘ala kulli syaiin qodir”. Koridor ilmu mereka adalah kesadaran bahwa pelaku utama perubahan adalah Allah sendiri. Serta takkan mereka lukai atau retak-kan nikmat Allah berupa perkenan Al-Muhtadin dan ikhtiar Al-Mutahabbina Fillah. Pun jangan lupa: Mataair Maiyah bisa tidak berguna apapun. Orang datang ke Mataair Maiyah sekadar untuk memetik keuntungan bagi dirinya sendiri. Maiyah bisa tidak pernah menjadi apa-apa. Menguap ke kekosongan zaman. Sirna dari lembaran buku sejarah dan kehidupan. Menjadi hamparan kerakal-kerikil diinjak-injak oleh gajah Abrahah. Bisa karena kemalasan mental, kesemberonoan ilmu, kejumudan spiritual, atau ketidakberdayaan memanggul berkah. Maiyah menjadi ‘ilmun la yanfa’. Ilmu yang tidak bermanfaat. Dihentikan oleh Allah.

(5). Sebagai yang dititipi mengawal memancarnya mataair Maiyah, saya mengalami dan menyimpulkan bahwa Maiyah itu tidak ada manfaatnya bagi kehidupan di mana manusia menikmati dan merakusi dunia. Disebabkan oleh sekurang-kurangnya sepuluh hal, yang saya petikkan dari ribuan sebab: Pertama, Maiyah tidak menjadikan dunia sebagai tujuan. Kedua, Maiyah tidak memposisikan dunia sebagai tempat membangun kehidupan yang nyata berdasarkan kesejatian dan keabadian. Ketiga, Maiyah tidak berminat untuk memiliki dan menguasai dunia. Keempat, Maiyah tidak punya kesanggupan dan perangkat untuk mengubah kehidupan manusia di dunia. Kelima, Maiyah tidak berani ikut melakukan perusakan atas rahmat dan amanah Allah. Keenam, tidak punya daya untuk menyelesaikan masalah-masalah manusia di dunia, apalagi menjadi dan menambah masalah. Ketujuh, Maiyah takut terlibat di dalam keserakahan keduniawian, penganiayaan hakikat dan martabat manusia, kolonialisasi terhadap bangsa-bangsa, pemalsuan literasi, penggelapan intelektualitas, pemincangan mentalitas, pemenggalan spiritualitas. Terlebih lagi melakukan pelecehan terhadap eksistensi dan hak Allah, penghinaan terhadap Agama-Nya serta para pecinta-Nya, pada tingkat dan kadar yang belum pernah terjadi sebelumnya. Kedelapan, Maiyah sekadar berikhtiar mengurangi beban-beban yang ditimbulkan oleh hubbud-dunya dan intisyarul-fasadKesembilan, Maiyah menempuh jalan agar tidak ikut sakit-dunia, tidak ikut dianiaya apalagi menganiaya, tidak ikut menipu, memperdaya, mengebiri, membonsai, menjebak, menggerogoti, melampiaskan keserakahan, mengkolonisasi dan mengimperialisasi. Kesepuluh, Maiyah berikhtiar dengan rasa syukur dan husnudh-dhon agar dijadikan bagian dari perkenan “gabah dèn interi” oleh Allah untuk menyelamatkan hamba-hambaNya yang dikehendakiNya. Maka saya menganjurkan menjauhlah dari jalan sunyi Maiyah. Nikmatilah dunia, serakahilah keduniawian, bergabunglah pada kekuasaan, raihlah jabatan, program, proyek, kemajuan dan sukses. Atau lawanlah semua itu dengan pemberontakan, revolusi, atau gerakan-gerakan anak bangsa model apapun. Semoga keputusan kalian ditanggapi oleh amr Allah swt, irodah Rasulullah saw dan gelombang hamba-hamba yang Beliau berdua cintai dan mencintai Beliau berdua.

(6). Kalau engkau memandang sampai kedalaman danau air Maiyah, tampak betapa sejati Tsaqafah Tauhid yang dijalani Jibril, Adam hingga kesempurnaannya pada Baginda Muhammad saw. Kelihatan juga oleh pandanganmu tingkat kebenaran alamiah masyarakat nomaden, suku-suku, komunitas, maupun tingkat kemashlahatan Kerajaan, Keraton, Persemakmuran, Perdikan, Republik, Demokrasi, hingga pun Globalisasi. Tergambar di penglihatanmu satuan-satuan Ideologi, aliran pemikiran, organisasi massa, madzhab, golongan dan kelompok, syu’ub wa qabail, yang sangat mudah kau temukan rasio iktikad sosialnya, serta kandungan ijtihad rahmah lil’alamin-nya. Bahkan betapa indahnya sekolah, universitas, pesantren, percantrikan, halaqah, workshop dan satuan-satuan pembalajaran hidup model apapun. Apalagi di lingkaran kecil keluarga-keluarga. Tetapi itu semua batal dan menghanguskan kehidupan, kalau manusianya menuhankan dunia. Bermental egosentris dan otoriter. Dadanya dipenuhi ananiyah dan hasad. Otaknya dipenggal dari gelombang akal dan pendaran hidayah. Jiwanya dikendalikan oleh baghdlun, karhun, ‘ida’un, kebencian, pentidakkan dan pengkafiran atas yang selain dirinya. Pasukan Zalitun turunan Iblis menguasai manusia Negerimu. Merasukkan penyakit untuk memperjual-belikan segala hal dari biji kacang, demokrasi hingga Tuhan. Mengibarkan dusta Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, pemikiran dan ideologi. Sadar mengkhianati sumpah, sadar maling dan memaksiati Allah dan Rasul-Nya. Membujukkan pencitraan, merayukan Talbis, men-spotlight-kan makar dengan wajah kesetiaan, memviralkan kesetiaan sebagai makar. Kalau kesiapan hidupmu adalah tidak sunyi, tidak menderita dan rasa lumpuh terhadap ketakberdayaan memanggul ujian Allah, menjauhlah dari mataair Maiyah.

(7). Maiyah adalah bagian dari Ummat Islam dan bangsa Indonesia, meskipun ia tidak membatasi dirinya dan tidak bisa dibatasi untuk hanya berada dan berlangsung di wilayah dan skala itu. Maiyah melihat bahwa sangat dekat waktu di depan hidungnya: bangsa Indonesia sedang ditimpa bahaya besar yang mengancam eksistensinya, martabat dan keamanan tanah airnya. Sementara Ummat Islam sedang mengalami pertentangan yang sangat mendasar dan serius di antara mereka, meskipun keduanya tidak merasa apa-apa dan tidak menyadari bagaimana-bagaimana. Maiyah tidak berada pada posisi manapun dalam pertentangan itu, meskipun bisa ditimpa akibat-akibat langsung maupun tak langsung, di masa kini dan masa-masa berikutnya, oleh bahaya dan ancaman itu. Di dalam dirinya Maiyah membangun jiwa pendamai, perekat dan pemersatu. Tetapi ia berada di tengah bangsa dan ummat yang secara permanen memelihara dan memantapi permusuhan, secara sadar menolak kerekatan, dan tidak pernah terlihat melakukan sesuatu menuju ukhuwah, persatuan dan penyatuan. Maiyah seperti berkunjung ke Rumah Sakit, duduk di tepi ranjang pasien yang semakin parah sakitnya. Namun Maiyah tidak mungkin mengemukakan hal-hal tentang sakit dan penyakit kepada pasien yang sedang terbaring sakit. Sedangkan Rumah Sakit itu tidak ada Dokternya. Si Pasien juga tidak pernah bertanya tentang obat dan Dokter, kepada siapapun, apalagi mempercayakan jawabannya kepada Maiyah. Maka tugas Maiyah tinggal dua. Pertama, mengkreatifi mataair Maiyah untuk kebahagiaan hidup para pelakunya. Kedua, kepada yang di luar mataair dan kebunnya, Maiyah bersedih dan membisu.

(8). Di tengah panas terik dan puncak kehausan, seteguk air itu dahsyat, nikmat, ajaib, bahkan serasa “mukjizat”. Bukan karena setetes air itu sebanding mutunya dengan segelas Es Teler, melainkan karena kadar rasa syukur orang yang sedang sangat haus. Andaikan Maiyah itu semacam seteguk air: ia bukanlah karya, bukan prestasi, bukan sukses, bukan keberhasilan dan kejayaan siapapun saja. Tak ada selain Allah yang mampu menyelenggarakan keajaiban. Karena keajaiban itu juga diperuntukkan hanya bagi yang Allah memperkenankannya, sehingga mengalami keajaiban itu. Batu besar menggunduk di jalanan Maiyah hari ini adalah keinginan dan “semacam nafsu” agar Allah mengeksekusikan keajaiban yang lebih besar dan kasatmata kepada Indonesia dan Dunia, dalam wujud dan takaran seperti yang didambakan oleh hati para pejalan Maiyah. Ingin Allah lebih segera “menagih hutang”, “merampas kembali segala yang dirampok”, “membangkitkan kembali semua yang dirobohkan”, “mengangkat yang dilemahkan menjadi pemimpin, dan menjadikannya pewaris kekuatan-Nya”. Maiyah menemani hamba-hambaNya di ribuan titik. Memohon pembengkakan jumlah Al-Muhtadin dan Al-Mutahabbina Fillah. Bershadaqah ikhtiar menghimpun mereka ke dalam Cinta Segitiga dengan Allah dan Rasulullah. Tetapi Maiyah tidak memasuki pagar Demokrasi, karena sabda Rasulullah saw: “Wahai Abdurrahman, jangan minta jadi pemimpin. Kalau kamu jadi pemimpin karena permintaan atau keinginanmu, maka semua urusan menjadi urusanmu sendiri, Allah tidak mau tahu. Tapi kalau kamu jadi pemimpin bukan atas permintannmu atau keinginanmu, Allah akan membantumu.” Para pelaku Maiyah merdeka untuk tidak mampu bertahan berada di luar pagar. Mereka memiliki hak asasi untuk memasuki Demokrasi, mencalonkan diri menjadi pemimpin, memamerkan kebaikan dan kehebatannya di baliho-baliho sepanjang jalan. Minimal menjadi relawan catnya, garisnya, font-nya, kayu framing-nya, atau logam penyangganya. Syukur nanti katut jadi Menteri, Dirjen, Sekjen, Dirut, Komisaris, Rektor, Dekan, Duta Dialog Peradaban, sekurang-kurangnya kesrèmpèt proyek. Para pelaku Maiyah lainnya bertahan dalam sunyi: “Qulillahumma Malikal mulki tu`til mulka man tasya`…”. “Kulla ma nadaita ya Hu, qala ya ‘abdi ana-Llah”.

(9). Maiyah tak berguna di Negerimu. Satu bangsa bisa menjajah bangsa lain karena nasionalisme bangsa penjajah itu tidak diletakkan dalam spektrum universalisme kemanusiaan. Maiyah tidak begitu, tetapi bangsa yang dijajah itu kemudian malah menyetujui spektrum itu, bahkan mengikuti jejak penjajahnya yang nasionalismenya bermakna primordialisme dan egosentrisme suatu rumpun manusia yang secara “brutal” disebut bangsa. Maka Maiyah tidak bermanfaat di Negerimu. Dan pada hakikatnya yang terjadi antara bangsa yang menjajah dengan yang dijajah bukanlah penjajahan, melainkan hubungan transaksional antara yang melacur dengan pelacurnya. Maiyah bukan dholimun, madhlumin maupun fasidin. Maka Negerimu tidak punya kerangka berpikir untuk menerima Maiyah. Sebab kategorisasi pemikiran modern meletakkan Maiyah di kotak alergi politik. Yang dikenali sebagai politik adalah perangkat keras kekuasaan. Kepemimpinan adalah jabatan. Derajat adalah pangkat sosial. Itu pun dalam penyempitan spektrum kehidupan yang dinamakan Negara. Sementara negeri Maiyah adalah Al’alamin. Maiyah memahami manusia sebagai pusat komprehensi antara konteks insaniyah, ubudiyah dan khilafah. Dialektika dari posisi rebah dalam semesta uluhiyah menjadi transformator rububiyah, membangun rahmah lil’alamin. Sebatas kadar liutammima makarimal akhlaq. Dengan ketergantungan kepada mulkiyatullah. Itu pun tidak mbentoyong memanggul kewajiban lebih dari wala tansa nashibaka minad-dunya. Skala Nasionalisme adalah bidang garapnya. Para pereguk mataair Maiyah tidak meliterasikan itu semua secara akademis, melainkan langsung mengalami dan menikmatinya. Maiyah sangat meringankan perjalanan hidup, tapi sekaligus menyodorkan tantangan yang mungkin takkan pernah bisa dilunasi. Sebab Maiyah menemukan tidak ada benda, tema dan peristiwa yang berdiri sendiri secara steril, parsial dan linier. Seorang koruptor bisa kirim biaya untuk membangun Masjid di kampungnya. Pelacur kelas tinggi bisa menyisihkan uang untuk membagi modal kepada ratusan kelompok usaha kecil rakyat bawah. Pejabat tinggi memberantas maksiat sehingga mulus jalannya menuju jabatan lebih tinggi. Dengan baju Pewaris Nabi, seseorang bisa mengkapitalisasikan sejumlah tema Agama, Nabi, bahkan Allah dan firman-Nya. Sedangkan Maiyah saling mempersaudarakan, saling mengamankan, menolong, menggembirakan dan membahagiakan satu sama lain, dengan pamrih maksimal memperbanyak jumlah Al-Mutahabbina Fillah. Puluhan tahun hingga detik ini tak secuilpun terdapat perilaku Maiyah yang indikatif terhadap kekuasaan, pangkat, jabatan, materialisme dan kapitalisme. Maka tahun politik di Negerimu mulai tahun depan ini disyukuri oleh Maiyah karena “Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk sorga, padahal belum datang kepadamu cobaan sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu?”. Allah menganugerahkan ujian itu kepada Maiyah.

(10). Maiyah adalah hadiah dari Allah, bukan karya kita. Semua kekurangan Maiyah berasal dariku. Kita bersyukur Allah menganugerahkan Cak Fuad dan Syekh Kamba, sebagai Marja’ ilmu kita semua. Tetapi kami bertiga bukan Ulama, Mursyid atau Kiai, sebagaimana beliau-beliau di luar sana. Selama 24 tahun ini kita berkumpul dan hanya berjuang mencintai dan mendekat kepada Allah Muhammad kekasih-Nya, mengikhtiari manfaat hidup. Termasuk buat Indonesia. Aku Mbah kalian semua adalah manusia biasa, awam dalam hal ilmu keagamaan maupun ilmu modern. Tidak ada padaku ekspertasi bidang apapun. Aku tidak berada di jalur pembelajaran Ulama, Santri maupun para modern scholars. Aku tidak punya sanad ilmu di wilayah tadarrus, ta’lim, tafhim, ta’rif maupun ta`dib. Aku tidak merupakan bagian dari nasab yang perlu diperhatikan. Tidak ada yang anak cucuku bisa andalkan dan harapkan dariku, lebih dari yang sejauh ini Allah memperkenankan. Apalagi yang menyangkut perkara-perkara besar Indonesia dan peradaban ummat manusia. Hanya kasih sayangku dan kami bertiga kepada kalian, itu pun hanya setetes dua tetes. Anak cucuku silakan menjawab sendiri: Apakah Allah menitipkan Indonesia kepada kalian dengan dibekali Maiyah, ataukah Allah mem-fadhilah-kan Maiyah kepada kecerdasan dan kebijaksanaan kalian: untuk kalian jadikan manfaat apa, bagaimana dan seberapa luas. Atau disimpan sebagai rahasia di kalbu kalian. Anak cucuku silakan tampil ke gelanggang persaingan, keunggulan dan kalah menang di luar Maiyah. Tetapi tidak dengan jiwa “adigang adigung adiguna” jika menang, dan tidak dengki, cengeng dan dendam kalau kalah. Tegakkan kemandirian eksistensimu. Kibarkan bendera dan nama jihadmu. Gerakkan da’wah khoir, amar ma’ruf dan nahi munkar, dengan harta benda, tenaga, ilmu, sampai pun jiwa dan nyawa. Maiyah hanya bisa membekalimu cairan dan “glepung”, sampai Allah berkenan “dawuh” yang kasatmata. Kalau kalian memadatkan gerakan sejarahmu itu dalam pemetaan masalah nasional saat ini: pastikan bahwa tak akan ada perang saudara dan perbenturan horizontal akan terjadi di antara ummat dan bangsamu, yang membuat semakin bertumpuk defisit dan utang-utang sejarah. Ingat juga Maiyah tidak kuasa mengubah silang sengkarut permasalahan Indonesia. Innaka la tahdi man ahbabta walakinnalloha yahdi man yasya. Maiyah tidak mampu mengobati Indonesia dan dunia. Pengobatan itu terjadi hanya jika Indonesia dan dunia dihidayahi Islam oleh Allah, yang bisa juga melalui Maiyah, kemudian Ia memperkenankan kesembuhannya. Nikmatilah tidak butuhnya dunia dan Indonesia kepada Maiyah adalah anugerah kemerdekaan. Yang melapangkan ruang dan waktu kalian untuk memfokuskan kekhusyukan mengasyiki Al-Qur`an, sebagai bekal untuk menyuburkan Kebun Maiyah, mengkreatifi rezeki mataairnya untuk kalian olah di bidang-bidang ziro’ah, shina’ah, tijaroh, dan apapun yang Allah mem-fadhilah-kan kepada kalian. Allah menjadwalku berkeliling, melangkah di belakang barisan kalian, dengan nafas tersengal-sengal oleh cintaku kepada ummat manusia, Kaum Muslimin dan rakyat Indonesia. (Caknun.com)










Share:

1 komentar:

  1. Blackjack: How to Play Blackjack for Real Money in the USA
    The game of blackjack revolves around 양산 출장샵 strategy 남원 출장안마 and strategy. Blackjack begins with a high-quality playing card, 용인 출장안마 and thereafter 아산 출장안마 a 의왕 출장샵 high stakes

    BalasHapus

Lautan Jilbab

Pengunjung Blog

Posted by Arip. Diberdayakan oleh Blogger.

Pengikut