Minggu, 29 September 2013
Lakon Wayang : Seno Suci
Ringkasan
Cerita
Jějěr
Kahyangan Jonggringsalaka
(Gěnḍing:
Gěnḍing Karawitan Jangkěp, Sléndro Paṭět Ěněm)
Baṭara
Guru dan para déwa, yang dipimpin oleh Baṭara Narada, sedang mengadakan
pertemuan dalam rangka membahas terjadinya huru-hara yang menempuh Kahyangan
Jonggringsalaka. Huru-hara itu berasal dari dua hal, yakni:
(1).
Tapas raja dari Negara Sungsang Buwana, yaitu Prabu Naga Jalasěngara disertai
oleh kedua orang adiknya, yaitu: Déwi Naga Sangsangan dan Radèn Naga Jalabanda.
Mereka menuntut anugerah yang berupa Swarga Tuṇḍa Sanga;
(2).
Tapas putra Paṇḍu, yaitu:Séna, Bima atau Wěrkudara yang menginginkan anugerah
déwa, yaitu: Tirtamahāpawitra.
Tapas
dari Prabu Naga Jalasěngara dan tapas Wěrkudara mengakibatkan terjadinya hawa
panas yang menyerang Kahyangan Jonggringsalaka. Untuk mengatasi hawa panas itu,
Baṭara Guru memberi perintah dua hal kepada para déwa:
(1).
Para déwa diperintahkan untuk mengikuti Baṭara Guru yang akan mengusir sendiri
Prabu Naga Jalasěngara beserta saudaranya dari Kahyangan Jonggringsalaka;
(2).
Baṭari Durga diberi perintah supaya menghadap Sang Déwa Ruciuntuk menjadi saksi
turunnya Tirtamahāpawitra dan kemudian diminta untuk mendadani Brataséna
dengan pakaian yang berciri ke-Śiwa-an. Akhirnya Baṭara Guru berhasil
mengalahkan Prabu Naga Jalasěngara beserta saudaranya. Ketiganya berubah
menjadi seekor naga yang kemudian diberi nama Naga Amburnawa dan diperintahkan
turun ke Samudra Minang Kalbu untuk memperoleh anugerah yang berupa Swarga Minulya.
Sementara itu, Baṭari Durga pun berangkat segera menuju ke Kahyangan Rasa
Sundari.
Jějěr
Pěrtapan Sokalima
(Gěnḍing:
Ladrang Rarasingrum, Pélog Paṭět Lima)
Paṇḍita
Durna menerima tamu Brataséna dan Kuṇṭinalibranta. Di sini Brataséna memohon
kepada Durna agar diberitahu tempat di mana ia dapat memperoleh anugerah déwa Tirtamahāpawitra,
sementara Kuṇṭīnalibranta minta diberi wejangan tentang Sastra Sějatining
Lanang Sějatining Wadon. Durna menyanggupi semua permintaan itu.
Brataséna
diberi petunjuk bahwa ia harus masuk ke dalam Samudra Minang Kalbu karena di
tempat itulah ia dapat menemukan Tirtamahāpawitra. Brataséna pun
menyanggupinya dan meminta diri untuk kembali ke Ngéndrapraṣṭa untuk memohon
izin kepada saudara-saudaranya.
Sementara
itu Kuṇṭinalibranta ditinggal di Pěrtapan Sokalima agar ia diberi wejangan Sastra
Sějatining Lanang Sějatining Wadon. Sepeninggal Brataséna, Durna berubah
pikiran. Ia ingin memperistri Kuṇṭīnalibranta, tetapi putri itu menolak
sehingga Durna memaksanya sampai ibu para Paṇḍawa itu lari meninggalkan
Pěrtapan Sokalima. Durna tetap mengejarnya.
Jějěr
Nagari Ngéndraprasṭa
(Gěnḍing:
Ladrang Goñjang-Gañjing, Sléndro Paṭět Sanga)
Prabu
Puntadéwa dihadap oleh saudara-saudaranya dan menerima saudara tuanya, Krěsna
dari Dwarawati. Dalam pertemuan ini Brataséna memohon izin untuk mencari Tirtamahāpawitra
ke dasar Samudra Minang Kalbu. Kendatipun Puntadéwa dan saudara-saudaranya
berkeberatan dengan keputusan Brataséna, ia tetap bersikukuh untuk menemukan Tirtamahāpawitra.
Atas saran Krěsna, para Paṇḍawa diminta untuk meluluskan kemauan Brataséna.
Akhirnya Brataséna pun berangkat dengan rěstu saudara-saudaranya.
Sepeninggal
Brataséna, Krěsnamemohon diri untuk mengawasi Brataséna dari kejauhan agar ia
sungguh-sungguh mengetahui keberadaannya. Puntadéwa pun mempersilakannya,
Krěsna meninggalkan Ngéndrapraṣṭa disertai oleh Pěrmadi dan Sětyaki.
Jějěr
Kahyangan Rasa Sundari
(Gěnḍing:
Ladrang Awun-Awun, Sléndro Paṭět Sanga)
Setelah
melalui perjuangan yang sangat berat, Brataséna akhirnya dapat berjumpa dengan
Sang Hyang Déwa Ruci dan akhirnya ia pun diberi pengertian tentang rahasia Tirtamahāpawitra.
Brataséna diminta masuk ke dalam tubuh Sang Déwa Ruci. Di dalam tubuh itulah
Brataséna menyaksikan rahasia Ilahi.
Setelah
sempurna memahami rahasia Tirtamahāpawitra, Brataséna diminta keluar
dari tubuh Sang Hyang Déwa Ruci. Ia kemudian didandani busana yang berciri
ke-Śiwa-an oleh Baṭari Durga. Ketika segalanya telah usai dengan baik,
Brataséna diberi nama baru, yakni Wěrkudara, Bimaséna, Bimaruci.
Oleh
karena hal yang dicari telah diperolehnya, Wěrkudara pun minta diri untuk
kembali kepada saudara-saudaranya di Ngéndrapraṣṭa. Sang Hyang Déwa Ruci pun
mengizinkannya, tetapi dengan pesan bahwa ia harus sugguh bijaksana dan mampu melihat
segala macam rahasia Ilahi. Sesampainya kembali di tepi Samudra Minang Kalbu,
Wěrkudara berjumpa kembali dengan saudara-saudaranya. Namun, tiba-tiba
Wěrkudara melihat Kuṇṭinalibranta dikejar-kejar oleh Durna. Akhrinya Wěrkudara
mampu menyelesaikan permasalahannya dengan Durna dan menyempurnakan gurunya
itu. Wěrkudara beserta ibu dan saudara-saudaranya pun segera kembali ke
Ngéndrapraṣṭa.
Jějěr
Wana Watu Gajah
(Gěnḍing:
Ladrang Sumirat, Sléndro Paṭět Manyura)
Ketika
mendengar laporan dari Aswatama, putra Durna, bahwa Wěrkudara telah berhasil
memperoleh anugerah déwa, Tirtamahāpawitra, para Kurawa pun ingin
merebutnya. Kurawa bersepakat melurug perang ke Negara Ngéndrapraṣṭa, tetapi di
tengah jalan mereka bertemu dengan Wěrkudara. Peperangan pun tidak dapat
dihindarkan. Namun para Kurawa tidak mampu me-nanggulangi kekuatan Wěrkudara.
Akhirnya Kurawa pun lari, kembali ke Negara Ngastina dengan penuh kekecewaan
dan dendam.
Jějěr
Nagari Ngéndraprasṭa
Puntadéwa
beserta saudara-saudaranya sangat bergembira dan bersyukur karena dapat kembali
berkumpul dengan ibu dan saudara mereka. Kegembiraan semakin bertambah besar
karena Wěrkudara telah berhasil menerima anugerah déwa, Tirtamahāpawitra, yang
kelak akan berguna bagi perjalanan hidup para Paṇḍawa.
Upacara Tahlukah/Ruwatan 28 september 2013 di Rumah Budaya EAN - Kadipiro
Kamis, 26 September 2013
Sabtu, 21 September 2013
Kekayaan Nomor Satu
Kekayaan
Nomor Satu adalah Rasa Saling Percaya
Sebagai
komparasi, Cak Nun menceritakan kondisi masyarakat korban lumpur Lapindo.
Lapindo merupakan salah satu dari sekian banyak problem sosial yang diurus
penyelesaiannya oleh Cak Nun dan Pak Toto Rahardjo di samping Kedungombo, Pasar
Turi, dan masih banyak lagi.
Kalau
mau ngomong salah-benar, menurut MA Lapindo tidak bersalah. Kalaupun salah,
yang disebut Lapindo itu bukan Bakrie. Sahamnya dimiliki oleh Indra (adik dari
Ical Bakrie), Medco, dan perusahaan Australia Santos. Begitu ada kejadian
lumpur, kedua perusahaan cuci tangan.
Setelah
berdialog dengan Cak Nun, ibunya Bakrie memerintahkan salah satu anaknya,
Nirwan, untuk mengusahakan dari mana-mana untuk bisa membantu korban lumpur.
Mekanismenya bukan mekanisme hukum dengan pemerintah, bukan mekanisme vonis
atas kesalahan, tapi bagaimana caranya supaya korban lumpur punya rumah lagi.
Ada 13.526 keluarga yang kehilangan rumah. Yang dibantu pemerintah dengan dana
APBN hanyalah orang-orang yang tidak ikut hancur rumahnya tapi hancur
ekonominya.
“Yang
Anda baca di koran dan televisi itu 100% fitnah. Itu bukan lagi makanan
beracun, tapi murni racun. Luar biasa jahatnya media massa dalam kaitannya
dengan Lapindo.”
Ibunya
Bakrie kemudian membayar tanah dengan harga 5 kali lipat, sementara rumah
dihargai 6 kali lipat. Bahkan mereka yang taat dan tidak menyakiti diberi 8
kali lipat; sekitar 3.000 orang jumlahnya. Yang mau dibayar 20%-nya sudah bisa
untuk membangun rumah melebihi rumah asli mereka. Total uang yang dikeluarkan
sejumlah 93,7 triliun. Posisinya masih kurang 635 milyar yang belum terbayar
karena kehabisan uang, tidak ada bantuan dari gubernur, tidak ada pinjaman dari
bank. Pemerintah bukan hanya tidak membantu tapi juga ikut memeras. Bakrie
bukan hanya membayar tanah dan rumah, tapi juga membiayai seluruh pengerukan
pasir dan pembuangan lumpur. Bulan November ini diharapkan semua akan tuntas
terbayar.
Posisi
Cak Nun dalam penyelesaian problem Lapindo adalah dimintai tolong dan bersedia
dengan satu syarat, yaitu tidak boleh ada transaksi ekonomi antara Bakrie
dengan Cak Nun. Itu Cak Nun tuliskan sendiri dalam kesepakatan di awal.
“Jangan
dikira itu artinya saya tak punya nafsu. Saya punya nafsu, tapi dia tidak akan
pernah saya biarkan menang melawan iman dan keyakinan saya.”
“Yang
ingin saya sampaikan adalah teman-teman korban Lapindo tadi tidak berjamaah.
Mereka hidup sendiri tanpa kontak kejiwaan satu sama lain. Uang segitu banyak
tidak dikelola untuk sosial, sehingga berkahnya tidak sebesar di sini. Maka
Anda harus sangat bersyukur karena memiliki apa yang tidak mereka miliki.
Kekayaan nomor satu itu rasa saling percaya satu sama lain.”
Tentang
Bakrie, Cak Nun menambahkan bahwa keputusan Ical untuk nyapres merupakan
ide Ical yang sebenarnya tidak disetujui oleh ibu, adik-adiknya, maupun seluruh
warga perusahaan Bakrie Group.
Catatan Silaturahmi Inti Plasma di Desa Bumi Pratama
Mandira Bersama Cak Nun
Manajemen Tiga Laci
Manajemen
Tiga Laci
Terkait
pengelolaan keuntungan, Cak Nun menyarankan supaya ada kas plasma mandiri di
mana semua orang menabung secara tercatat dalam kepengurusan yang terkontrol,
dan ada kas plasma abadi yang tidak tercatat. Mungkin di setiap RT atau satuan
yang lebih kecil, ada kotak kolektif dengan dasar sudah saling percaya, di mana
setiap orang ikhlas investasi dunia akhirat. Cak Nun menggambarkannya dalam
manajemen tiga laci tukang bakso. Ada laci jual beli, laci keluarga, dan laci
untuk tujuan abadi.
“Saya
pribadi tidak punya pekerjaan, menanggung banyak sekali orang, maka saya
menggunakan manajemen tiga laci. Anak-istri saya harus beres, ini wajib
hukumnya. Katakanlah sebulan dua juta. Laci kedua dinamis sifatnya, dia siap
membantu laci pertama kalau ada hal-hal darurat. Kalau ada sisa lebih dari men-supply
laci pertama, saya masukkan ke laci ketiga. Laci ini tidak boleh
diutak-atik sampai akhirat.”
“Saya
ada uang keluarga, uang sosial, dan uang pendheman. Uang pendheman saya
masukkan dalam plastik, lalu saya simpan di dalam tanah. Jumlahnya bisa puluhan
kali lipat daripada laci pertama dan kedua karena Tuhan bisa
menambahinya.”
Maka
Kiaikanjeng yang sekian banyaknya itu tak pernah menggantungkan hidup mereka
dari profesionalitas. Mereka hanya profesional ketika diundang
perusahaan-perusahaan besar, tapi begitu bersentuhan dengan masyarakat desa,
yang terjadi bisa semi infaq maupun infaq murni. Dan kalau dapat satu event profesional,
Kiaikanjeng melakukan infaq untuk dua event.
Semi
infaq itu Kiaikanjeng tidak mendapat apa-apa tapi masyarakat yang menyediakan sound
system dan panggungnya. Kalau bertemu dengan korban gempa, misalnya, yang
terjadi adalah infaq murni, di mana Kiaikanjeng dan Cak Nun yang menyiapkan
semuanya bahkan kalau perlu sekalian menanggung konsumsi dan
kebutuhan-kebutuhan lain mereka. Manajemen adalah mengadakan sesuatu yang tidak
ada. Kalau sudah ada uang kemudian diatur, itu bukan manajemen tapi kasir.
Dalam
Surat Ath-Thalaq ayat 2 dan 3 ada transaksi yang ditawarkan Allah. Kalau kita
bayar takwa kepada Allah, Allah memberikan solusi atas setiap masalah kita dan
memberikan rizqi dari arah yang tidak kita duga-duga. Takwa itu menetapkan diri
dalam ingatan kepada Allah, mempertimbangkan apa saja berdasarkan adanya peran
Allah. Takwa ada di dalam komitmen kita.
Kalau
kita bayar tawakal, Allah berjanji ikut menghitung seluruh keperluan-keperluan
kita dan membuat kita mampu mencapai cita-cita. Tawakal itu kesetiaan untuk
terus-menerus mengerti ketergantungan kepada Allah. Tawakal itu letaknya di
dalam hati.
“Saya
itu sering diberi cash oleh Allah. Pernah suatu malam pengajian saya
didatangi Mbah Siraj, kiai 94 tahun dari Klaten. Saya sedih karena waktu itu
tak punya uang untuk nyangoni. Saya turun panggung, wudlu, masuk kamar.
Ketika hendak sisiran, tiba-tiba ada uang sepuluh juta di dekat sisir. Tapi
saya harus tahu bahwa itu bukan uang saya. Itu uang Mbah Siraj dan saya tidak
boleh mengambilnya sepeserpun. Maka kalau sama Allah Anda jangan
tanggung-tanggung. Manja sama Allah itu sebaik-baiknya pekerjaan.”
Catatan Silaturahmi Inti Plasma di Desa Bumi Pratama
Mandira Bersama Cak Nun