"Manners Before Knowledge"

  • Slide 1

    Melayani Pembuatan Seal Hydraulic dan Pneumatic dengan Ukuran serta Profile yang tidak Standart.

  • Slide 2

    Semar memiliki ciri yang menonjol yaitu berkuncung putih, kuncung putih itu sebagai simbol atau memiliki arti pikiran,gagasan yang jernih.

  • Slide 3

    Gareng memiliki ciri fisik bermata kero, bertangan ceko dan berkaki pincang. Mata kero berarti kewaspadaan, tangan ceko berarti ketelitian dan kaki pincang adalah kehati-hatian.

  • Slide 4

    Petruk, jika kedua tangannya digerakkan seperti kedua orang yang bekerjasama dengan baik. Tangan depan menunjuk, memillih apa yang dikehendaki. Tangan belakang menggenggam erat-erat apa yang telah dipilih.

  • Slide 5

    Bagong memiliki ciri yaitu dua tangan yang kelima jarinya terbuka lebar yang menyimbolkan selalu bersedia untuk bekerja keras.

Minggu, 29 September 2013

Lakon Wayang : Seno Suci


Ringkasan Cerita

Jějěr Kahyangan Jonggringsalaka
(Gěnḍing: Gěnḍing Karawitan Jangkěp, Sléndro Paṭět Ěněm)

Baṭara Guru dan para déwa, yang dipimpin oleh Baṭara Narada, sedang mengadakan pertemuan dalam rangka membahas terjadinya huru-hara yang menempuh Kahyangan Jonggringsalaka. Huru-hara itu berasal dari dua hal, yakni:
(1). Tapas raja dari Negara Sungsang Buwana, yaitu Prabu Naga Jalasěngara disertai oleh kedua orang adiknya, yaitu: Déwi Naga Sangsangan dan Radèn Naga Jalabanda. Mereka menuntut anugerah yang berupa Swarga Tuṇḍa Sanga;
(2). Tapas putra Paṇḍu, yaitu:Séna, Bima atau Wěrkudara yang menginginkan anugerah déwa, yaitu: Tirtamahāpawitra.
Tapas dari Prabu Naga Jalasěngara dan tapas Wěrkudara mengakibatkan terjadinya hawa panas yang menyerang Kahyangan Jonggringsalaka. Untuk mengatasi hawa panas itu, Baṭara Guru memberi perintah dua hal kepada para déwa:
(1). Para déwa diperintahkan untuk mengikuti Baṭara Guru yang akan mengusir sendiri Prabu Naga Jalasěngara beserta saudaranya dari Kahyangan Jonggringsalaka;
(2). Baṭari Durga diberi perintah supaya menghadap Sang Déwa Ruciuntuk menjadi saksi turunnya Tirtamahāpawitra dan kemudian diminta untuk mendadani Brataséna dengan pakaian yang berciri ke-Śiwa-an. Akhirnya Baṭara Guru berhasil mengalahkan Prabu Naga Jalasěngara beserta saudaranya. Ketiganya berubah menjadi seekor naga yang kemudian diberi nama Naga Amburnawa dan diperintahkan turun ke Samudra Minang Kalbu untuk memperoleh anugerah yang berupa Swarga Minulya. Sementara itu, Baṭari Durga pun berangkat segera menuju ke Kahyangan Rasa Sundari.
               
Jějěr Pěrtapan Sokalima
(Gěnḍing: Ladrang Rarasingrum, Pélog Paṭět Lima)

Paṇḍita Durna menerima tamu Brataséna dan Kuṇṭinalibranta. Di sini Brataséna memohon kepada Durna agar diberitahu tempat di mana ia dapat memperoleh anugerah déwa Tirtamahāpawitra, sementara Kuṇṭīnalibranta minta diberi wejangan tentang Sastra Sějatining Lanang Sějatining Wadon. Durna menyanggupi semua permintaan itu.
Brataséna diberi petunjuk bahwa ia harus masuk ke dalam Samudra Minang Kalbu karena di tempat itulah ia dapat menemukan Tirtamahāpawitra. Brataséna pun menyanggupinya dan meminta diri untuk kembali ke Ngéndrapraṣṭa untuk memohon izin kepada saudara-saudaranya.
 Sementara itu Kuṇṭinalibranta ditinggal di Pěrtapan Sokalima agar ia diberi wejangan Sastra Sějatining Lanang Sějatining Wadon. Sepeninggal Brataséna, Durna berubah pikiran. Ia ingin memperistri Kuṇṭīnalibranta, tetapi putri itu menolak sehingga Durna memaksanya sampai ibu para Paṇḍawa itu lari meninggalkan Pěrtapan Sokalima. Durna tetap mengejarnya.

Jějěr Nagari Ngéndraprasṭa
(Gěnḍing: Ladrang Goñjang-Gañjing, Sléndro Paṭět Sanga)

Prabu Puntadéwa dihadap oleh saudara-saudaranya dan menerima saudara tuanya, Krěsna dari Dwarawati. Dalam pertemuan ini Brataséna memohon izin untuk mencari Tirtamahāpawitra ke dasar Samudra Minang Kalbu. Kendatipun Puntadéwa dan saudara-saudaranya berkeberatan dengan keputusan Brataséna, ia tetap bersikukuh untuk menemukan Tirtamahāpawitra. Atas saran Krěsna, para Paṇḍawa diminta untuk meluluskan kemauan Brataséna. Akhirnya Brataséna pun berangkat dengan rěstu saudara-saudaranya.
Sepeninggal Brataséna, Krěsnamemohon diri untuk mengawasi Brataséna dari kejauhan agar ia sungguh-sungguh mengetahui keberadaannya. Puntadéwa pun mempersilakannya, Krěsna meninggalkan Ngéndrapraṣṭa disertai oleh Pěrmadi dan Sětyaki.

Jějěr Kahyangan Rasa Sundari
(Gěnḍing: Ladrang Awun-Awun, Sléndro Paṭět Sanga)

Setelah melalui perjuangan yang sangat berat, Brataséna akhirnya dapat berjumpa dengan Sang Hyang Déwa Ruci dan akhirnya ia pun diberi pengertian tentang rahasia Tirtamahāpawitra. Brataséna diminta masuk ke dalam tubuh Sang Déwa Ruci. Di dalam tubuh itulah Brataséna menyaksikan rahasia Ilahi.
Setelah sempurna memahami rahasia Tirtamahāpawitra, Brataséna diminta keluar dari tubuh Sang Hyang Déwa Ruci. Ia kemudian didandani busana yang berciri ke-Śiwa-an oleh Baṭari Durga. Ketika segalanya telah usai dengan baik, Brataséna diberi nama baru, yakni Wěrkudara, Bimaséna, Bimaruci.
Oleh karena hal yang dicari telah diperolehnya, Wěrkudara pun minta diri untuk kembali kepada saudara-saudaranya di Ngéndrapraṣṭa. Sang Hyang Déwa Ruci pun mengizinkannya, tetapi dengan pesan bahwa ia harus sugguh bijaksana dan mampu melihat segala macam rahasia Ilahi. Sesampainya kembali di tepi Samudra Minang Kalbu, Wěrkudara berjumpa kembali dengan saudara-saudaranya. Namun, tiba-tiba Wěrkudara melihat Kuṇṭinalibranta dikejar-kejar oleh Durna. Akhrinya Wěrkudara mampu menyelesaikan permasalahannya dengan Durna dan menyempurnakan gurunya itu. Wěrkudara beserta ibu dan saudara-saudaranya pun segera kembali ke Ngéndrapraṣṭa.

Jějěr Wana Watu Gajah
(Gěnḍing: Ladrang Sumirat, Sléndro Paṭět Manyura)

Ketika mendengar laporan dari Aswatama, putra Durna, bahwa Wěrkudara telah berhasil memperoleh anugerah déwa, Tirtamahāpawitra, para Kurawa pun ingin merebutnya. Kurawa bersepakat melurug perang ke Negara Ngéndrapraṣṭa, tetapi di tengah jalan mereka bertemu dengan Wěrkudara. Peperangan pun tidak dapat dihindarkan. Namun para Kurawa tidak mampu me-nanggulangi kekuatan Wěrkudara. Akhirnya Kurawa pun lari, kembali ke Negara Ngastina dengan penuh kekecewaan dan dendam.

Jějěr Nagari Ngéndraprasṭa

Puntadéwa beserta saudara-saudaranya sangat bergembira dan bersyukur karena dapat kembali berkumpul dengan ibu dan saudara mereka. Kegembiraan semakin bertambah besar karena Wěrkudara telah berhasil menerima anugerah déwa, Tirtamahāpawitra, yang kelak akan berguna bagi perjalanan hidup para Paṇḍawa.

Upacara Tahlukah/Ruwatan 28 september 2013 di Rumah Budaya EAN - Kadipiro
Share:

Kamis, 26 September 2013

Kesaksian Orang Biasa

Share:

Sabtu, 21 September 2013

JENDELA 2014





Share:

Kekayaan Nomor Satu



Kekayaan Nomor Satu adalah Rasa Saling Percaya

Sebagai komparasi, Cak Nun menceritakan kondisi masyarakat korban lumpur Lapindo. Lapindo merupakan salah satu dari sekian banyak problem sosial yang diurus penyelesaiannya oleh Cak Nun dan Pak Toto Rahardjo di samping Kedungombo, Pasar Turi, dan masih banyak lagi.

Kalau mau ngomong salah-benar, menurut MA Lapindo tidak bersalah. Kalaupun salah, yang disebut Lapindo itu bukan Bakrie. Sahamnya dimiliki oleh Indra (adik dari Ical Bakrie), Medco, dan perusahaan Australia Santos. Begitu ada kejadian lumpur, kedua perusahaan cuci tangan.

Setelah berdialog dengan Cak Nun, ibunya Bakrie memerintahkan salah satu anaknya, Nirwan, untuk mengusahakan dari mana-mana untuk bisa membantu korban lumpur. Mekanismenya bukan mekanisme hukum dengan pemerintah, bukan mekanisme vonis atas kesalahan, tapi bagaimana caranya supaya korban lumpur punya rumah lagi. Ada 13.526 keluarga yang kehilangan rumah. Yang dibantu pemerintah dengan dana APBN hanyalah orang-orang yang tidak ikut hancur rumahnya tapi hancur ekonominya.

“Yang Anda baca di koran dan televisi itu 100% fitnah. Itu bukan lagi makanan beracun, tapi murni racun. Luar biasa jahatnya media massa dalam kaitannya dengan Lapindo.”
Ibunya Bakrie kemudian membayar tanah dengan harga 5 kali lipat, sementara rumah dihargai 6 kali lipat. Bahkan mereka yang taat dan tidak menyakiti diberi 8 kali lipat; sekitar 3.000 orang jumlahnya. Yang mau dibayar 20%-nya sudah bisa untuk membangun rumah melebihi rumah asli mereka. Total uang yang dikeluarkan sejumlah 93,7 triliun. Posisinya masih kurang 635 milyar yang belum terbayar karena kehabisan uang, tidak ada bantuan dari gubernur, tidak ada pinjaman dari bank. Pemerintah bukan hanya tidak membantu tapi juga ikut memeras. Bakrie bukan hanya membayar tanah dan rumah, tapi juga membiayai seluruh pengerukan pasir dan pembuangan lumpur. Bulan November ini diharapkan semua akan tuntas terbayar.

Posisi Cak Nun dalam penyelesaian problem Lapindo adalah dimintai tolong dan bersedia dengan satu syarat, yaitu tidak boleh ada transaksi ekonomi antara Bakrie dengan Cak Nun. Itu Cak Nun tuliskan sendiri dalam kesepakatan di awal.

“Jangan dikira itu artinya saya tak punya nafsu. Saya punya nafsu, tapi dia tidak akan pernah saya biarkan menang melawan iman dan keyakinan saya.”

“Yang ingin saya sampaikan adalah teman-teman korban Lapindo tadi tidak berjamaah. Mereka hidup sendiri tanpa kontak kejiwaan satu sama lain. Uang segitu banyak tidak dikelola untuk sosial, sehingga berkahnya tidak sebesar di sini. Maka Anda harus sangat bersyukur karena memiliki apa yang tidak mereka miliki. Kekayaan nomor satu itu rasa saling percaya satu sama lain.”

Tentang Bakrie, Cak Nun menambahkan bahwa keputusan Ical untuk nyapres merupakan ide Ical yang sebenarnya tidak disetujui oleh ibu, adik-adiknya, maupun seluruh warga perusahaan Bakrie Group.


Catatan Silaturahmi Inti Plasma di Desa Bumi Pratama Mandira Bersama Cak Nun
Share:

Manajemen Tiga Laci



Manajemen Tiga Laci

Terkait pengelolaan keuntungan, Cak Nun menyarankan supaya ada kas plasma mandiri di mana semua orang menabung secara tercatat dalam kepengurusan yang terkontrol, dan ada kas plasma abadi yang tidak tercatat. Mungkin di setiap RT atau satuan yang lebih kecil, ada kotak kolektif dengan dasar sudah saling percaya, di mana setiap orang ikhlas investasi dunia akhirat. Cak Nun menggambarkannya dalam manajemen tiga laci tukang bakso. Ada laci jual beli, laci keluarga, dan laci untuk tujuan abadi.

“Saya pribadi tidak punya pekerjaan, menanggung banyak sekali orang, maka saya menggunakan manajemen tiga laci. Anak-istri saya harus beres, ini wajib hukumnya. Katakanlah sebulan dua juta. Laci kedua dinamis sifatnya, dia siap membantu laci pertama kalau ada hal-hal darurat. Kalau ada sisa lebih dari men-supply laci pertama, saya masukkan ke laci ketiga. Laci ini tidak boleh diutak-atik sampai akhirat.”

“Saya ada uang keluarga, uang sosial, dan uang pendheman. Uang pendheman saya masukkan dalam plastik, lalu saya simpan di dalam tanah. Jumlahnya bisa puluhan kali lipat daripada laci pertama dan kedua karena Tuhan  bisa menambahinya.”
Maka Kiaikanjeng yang sekian banyaknya itu tak pernah menggantungkan hidup mereka dari profesionalitas. Mereka hanya profesional ketika diundang perusahaan-perusahaan besar, tapi begitu bersentuhan dengan masyarakat desa, yang terjadi bisa semi infaq maupun infaq murni. Dan kalau dapat satu event profesional, Kiaikanjeng melakukan infaq untuk dua event. 

Semi infaq itu Kiaikanjeng tidak mendapat apa-apa tapi masyarakat yang menyediakan sound system dan panggungnya. Kalau bertemu dengan korban gempa, misalnya, yang terjadi adalah infaq murni, di mana Kiaikanjeng dan Cak Nun yang menyiapkan semuanya bahkan kalau perlu sekalian menanggung konsumsi dan kebutuhan-kebutuhan lain mereka. Manajemen adalah mengadakan sesuatu yang tidak ada. Kalau sudah ada uang kemudian diatur, itu bukan manajemen tapi kasir.

Dalam Surat Ath-Thalaq ayat 2 dan 3 ada transaksi yang ditawarkan Allah. Kalau kita bayar takwa kepada Allah, Allah memberikan solusi atas setiap masalah kita dan memberikan rizqi dari arah yang tidak kita duga-duga. Takwa itu menetapkan diri dalam ingatan kepada Allah, mempertimbangkan apa saja berdasarkan adanya peran Allah. Takwa ada di dalam komitmen kita.

Kalau kita bayar tawakal, Allah berjanji ikut menghitung seluruh keperluan-keperluan kita dan membuat kita mampu mencapai cita-cita. Tawakal itu kesetiaan untuk terus-menerus mengerti ketergantungan kepada Allah. Tawakal itu letaknya di dalam hati.

“Saya itu sering diberi cash oleh Allah. Pernah suatu malam pengajian saya didatangi Mbah Siraj, kiai 94 tahun dari Klaten. Saya sedih karena waktu itu tak punya uang untuk nyangoni. Saya turun panggung, wudlu, masuk kamar. Ketika hendak sisiran, tiba-tiba ada uang sepuluh juta di dekat sisir. Tapi saya harus tahu bahwa itu bukan uang saya. Itu uang Mbah Siraj dan saya tidak boleh mengambilnya sepeserpun. Maka kalau sama Allah Anda jangan tanggung-tanggung. Manja sama Allah itu sebaik-baiknya pekerjaan.”


Catatan Silaturahmi Inti Plasma di Desa Bumi Pratama Mandira Bersama Cak Nun
Share:

Lautan Jilbab

Pengunjung Blog

Posted by Arip. Diberdayakan oleh Blogger.

Pengikut