"Manners Before Knowledge"

Jumat, 23 November 2018

45 SYARAT MENJADI PRESIDEN RI


SYARAT MENJADI PRESIDEN RI

1.      Hak Milik Raja dan Sultan
Sebelum 17 Agustus 1945, seluruh tanah dan air Nusantara adalah hak milik 140 lebih Raja dan Sultan di seluruh Nusantara.
Sekarang, ketika Nusantara menjadi NKRI, siapa pemilik dan pemegang saham Indonesia? Siapa pemilik konstitusional tanah, air, daratan dan lautan beserta isinya?
Apakah para Raja dan Sultan tetap pemilik sah-nya, ataukah kehilangan haknya, yang sejak berabad-abad sebelumnya ada di tangan mereka?
Kalau tahu jawaban konstitusionalnya, berpeluang memenuhi salah satu syarat jadi Presiden.
2.      Ballada Pemindahan Kekuasaan
Proklamator Kemerdekaan Indonesia menyatakan: “Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain diselenggarakan dengan cara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya”.
Mengemislah agar rakyat mengangkutmu naik ke kursi Presiden, asalkan terlebih dulu menjelaskan kepada rakyat Indonesia kapan pemindahan itu dilaksanakan? Dari siapa ke siapa? Semoga jangan ada yang menjawab: pemindahan dari Penjajah Belanda ke NKRI.
3.      Berkarun-Karun Kekayaan NKRI
Pak Capres, mohon penjelasan. Di dalam teks Proklamasi 1945 itu, andaikan pemindahan yang dimaksud antara lain adalah harta berkarun-karun dari Keraton-Keraton dan Kesultanan-Kesultanan yang diserahkan kepada NKRI: 
Kira-kira ukurannya sepadan dengan berapa juta ton emas?
Berapa ratus gudang raksasa penuh USD atau UBz atau apapun? 
Berapa ratus Brankas berisi tumpukan Surat-Surat, umpamanya satu lembar bermuatan tanda kepemilikan atas 2,4 juta kilogram emas?
Juga bermacam-macam bentuk kekayaan NKRI lainnya di awal kemerdekaan itu: bisakah Pak Capres ungkap teks perjanjian, aturan, sistem kewenangan atau pasal-pasal yang melindungi kekayaan NKRI itu? 
Supaya rakyat tahu bangsa Indonesia  ini kaya ataukah miskin?
4.      Yang Digaji Berkuasa Atas Yang Menggaji
Para Capres tolonglah jelaskan ini kepada rakyat.
Belanda sampai hari ini tidak mengakui Kemerdekaan RI. Bagi Belanda, Indonesia tidak pernah merdeka, atau tidak perlu merdeka, karena sudah selalu merdeka.
Belanda tidak pernah merasa menjajah Indonesia. Mereka hanya berdagang. Bertransaksi dan sewa tanah kepada Raja dan Sultan. Indonesia tidak berada pada posisi untuk memerdekakan diri dari Belanda.
Atau kita tak perduli itu. Juga anggap salah satu kemungkinannya adalah pemindahan kekuasaan dari Jepang, yang tidak ke Sekutu tapi ke NKRI.
Tapi mohon para Capres jelaskan: kemerdekaan Indonesia sekarang ini ada di tangan siapa? Apa maksudnya bahwa bangsa Indonesia berdaulat atas NKRI? Siapa yang berkuasa atas berlangsungnya NKRI? Siapa yang menyusun program 70 atau 100 tahun ke masa depan NKRI?
Pemerintah? Mohon uraikan penjelasan logisnya bahwa sekumpulan orang yang digaji oleh rakyat, justru berkuasa atas rakyat dan Negaranya?
Bagaimana mungkin pihak yang dibayar berkuasa atas yang membayar.
5.      Hemat Energi Nasional
Bapak-bapak Capres Sampeyan mau jadi Presiden itu maksudnya Kepala Negara atau Kepala Pemerintahan? Apa sudah dipertimbangkan dengan matang sejak dini?
Kalau yang resmi mencalonkan dan disahkan oleh Panitia jelas hanya empat, bagaimana kalau “pingsut” atau undian cara lainnya untuk berbagi menjadi Kepala Negara beserta Wakilnya, serta Kepala Pemerintahan dengan Wakilnya.
Toh tidak ada kemungkinan selain Bapak berempat.
Juga menghemat anggaran keuangan nasionalnya. Hemat energi ratusan juta rakyat Indonesia. Termasuk pasti lebih aman dari potensi benturan, kekisruhan sosial dan macam-macam kemungkinan retak-retak kebangsaan kita.
6.      Presiden Bombongan
Salah satu pertimbangan mendasar kalau mau Nyapres: jangan mau lho Pak kelak jadi Presiden Gunggungan alias Bombongan. Dulu di SD saya punya teman Gunggungan: asal kita bilang dia ganteng, dia mau kita suruh mengejar tahi di aliran air sungai. Bahkan sangat bersemangat dan bangga.
Nanti Bapak dibombong bahwa pidato Bapak sangat bagus, bahwa Sampeyan Presiden Istimewa se-Dunia, bawahan-bawahan Sampeyan dilulu : ada yang Menteri Keuangan Terbaik se-Asia, 1 dari 50 Wanita Paling Berpengaruh se-Asia Pasifik, dan macam-macam lagi. Sampeyan hanya pakai Cd dan kaos singletpun dikasih tepuk tangan “Anggun benar jas dan dasi Bapak”.
Begitulah salah satu cara efektif yang dipakai oleh para Sekutu Penjajah untuk “morotin” Negara Bapak, untuk menipu, memperdaya dan menjebak.
7.      Lapisan Gelembung-Gelembung
Andaikan Allah terasa seperti gelembung, maka Ia Maha Gelembung. Di dalamnya terdapat lapisan gelembung-gelembung, hingga yang paling mikro.
Di lubuk jiwaku, gelembung terkecil, yang ulang-alik bergeser-geser dari sudut ke pusat hatiku: namanya Indonesia.
Ada rasa gelembung Tuhan. Ada gelembung Tanah Air. Kemudian gelembung Rakyat. Lantas gelembung Negara. Dan yang terkecil adalah gelembung Pemerintah.
Hampir semua orang terpenjara dalam kesibukan gelembung ke-5, malas mempelajari 4. Padahal 5 selalu memunggungi 1, memperkosa 2 dan menyiksa 3.
Adapun alamatku di 1-2-3, menyalurkan kasih sayang dari 1 ke 2 dan 3. Aku cemas melihat 4 semakin ditenggelamkan oleh lumpur kebodohan dan kemalasan, sementara 5 merasa dirinya 4.
Tapi baiklah. Tak apa, ya Allah, asalkan tonggak baru 2019 adalah manifestasi dari biyadiKal khoir-Mu: ”tu`til mulka man tasya wa tunzi’ul mulka min man tasya`
8.      Halalkanlah Segala Cara
Kalau urusannya bukan kekhusyukan hati dan konsentrasi ilmu untuk menguak masa depan yang terbaik bagi rakyat Indonesia. Kalau fokus perjuangan Pak Capres dan Pak Cawapres adalah menang Pilpres dan pesaing harus kalah, maka jangan tanggung-tanggung menghalalkan segala cara untuk mencapai puncak karier.
Tidak hanya Machiavelisme, Firaunisme, Sengkunisme yang bisa dipakai. Tidak hanya Iblis, Setan, Dajjal atau Emha Ainun Nadjib yang bisa dijadikan peluru untuk menembak lawan.Tetapi wacana-wacana dari para Nabi, bahkan firman-firman Allah pun bisa dieksploitasi dan dimanipulasi untuk mencapai kemenangan.
Mudah saja. “Katakan, Dialah Allah Satu”, bisa dipakai oleh nomer urut satu. “Telah datang kebenaran, maka runtuhlah kebathilan”, bisa dipakai oleh nomer urut dua. “Tanda orang munafik ada tiga: kalau bicara, dusta. Kalau janji, ingkar. Kalau dipercaya, khianat”, bisa dipakai oleh kedua-duanya.
9.      Turnamen Ajaib
Pak Capres dan Pak Cawapres, Tanah Air dan Negara yang Anda sangat gencar ingin menang, kemudian Panjenengan berdua diupah oleh rakyat untuk mengelolanya ini tergolong gaib atau ajaib.
Banyak sekali aturannya yang melanggar kelaziman aturan yang dikenal di manapun di dunia. Ibarat Turnamen, peserta yang belum tuntas di Babak Penyisihan bisa loncat masuk Semifinal. Belum lolos di Semifinal, langsung masuk Final. Sehingga dari Babak Penyisihan yang belum ia selesaikan, dalam waktu singkat ia menjadi Juara.
Peserta lain membiayai Turnamen sehingga menjadi kontingen. Di Perempat Final ia hanya menjadi Runner-up tapi bisa lompat naik bersaing memperebutkan Medali Emas. Sejumlah pemain lain kena kartu merah tapi tetap boleh melanjutkan pertandingan. Belum lagi Wasit dan Hakim Garisnya, tidak mengabdi kepada sportivitas, melainkan menghamba kepada salah satu Kesebelasan milik Klub yang merangkap jadi Panitia Turnamen.
Bapak-bapak ini menjadi Capres dan Cawapres, apakah karena juga memiliki potensi keajaiban dan kegaiban yang kompatibel dengan Turnamen yang Bapak ikuti?
10.  Nifaq dan Safir alias Saib
Tahukah Pak Capres dan Pak Cawapres bahwa sebagian rakyat, sebagaimana lazimnya manusia, memiliki sifat Nifaq, Safir atau Saib.
Hari ini membela mati-matian, besok ketika Sampeyan kalah, langsung mereka berbalik membela mati-matian musuh Sampeyan yang menang.
Sekarang musuh Sampeyan dikutuk, dihina, difitnah habis-habisan. Besok kalau Sampeyan kalah, balik mengutuk Sampeyan dan menjilat musuh Sampeyan.
Nifaq sifatnya, Munafiq orangnya. Safir artinya tak punya malu. Saib itu hidup tanpa harga diri.
11.  Rakyat yang Kejam
Para Capres dan Cawapres hendaklah berhati-hati terhadap perilaku rakyatnya
Rakyat yang mengangkat pendusta menjadi pemimpinnya, adalah rakyat yang pemurah.
Rakyat yang setelah terang-benderang didustai pemimpinnya tetap mempercayainya, adalah rakyat yang arif bijaksana.
Rakyat yang sesudah tiga kali dibohongi tapi tetap memuja pemimpinnya, adalah rakyat yang dianugerahi keajaiban oleh Tuhan.
Dan rakyat yang dibohongi sampai lebih 60 kali namun tetap mengangkatnya jadi pemimpin, adalah rakyat yang kejam dan tega.
Kejam karena tidak menolong pemimpinnya dari kehancuran. Tega karena membiarkan Tuhan yang bertindak dengan neraka-Nya.
12.  Kekayaan Tanah Air
Pak Capres dan Pak Cawapres, sebenarnya kita ini kaya atau miskin, pada ukuran harta benda? Kalau kaya, seberapa kaya. Kalau miskin, seberapa miskin. Adakah Staf Bapak yang kita minta tolong untuk membuka catatannya, angka-angka dan jumlahnya, jenis-jenis dan wujudnya?
Dulu sebelum menjadi Indonesia, semua tanah adalah milik para Raja dan Sultan. Sesudah merdeka, bagaimana bunyi pasal-pasal yang mengatur kepemilikan baru itu? Sekarang ini, seberapa tanah Indonesia yang masih menjadi milik rakyat Indonesia? 
Kalau para Raja dan Sultan itu di tahun kemerdekaan menyumbangkan kepada Indonesia harta benda berlimpah-limpah, apa saja macam-macam bentuknya? Berapa jumlahnya? Di mana saja kekayaan itu disimpan? Siapa yang punya legalitas untuk mengambilnya? Bagaimana konstitusi Indonesia mengatur semua itu? 
Mungkinkah jumlah kekayaan itu dipakai untuk mengentaskan bangsa kita dari jurang utang dan kemiskinan?
13.  Menanggung Pilpres 2019
Jangan buka lapisan tabir-tabir siluman, rongga-rongga remang, sampai yang gelap pekat di belakang Pilpres2019. 
Ada banyak makhluk raksasa gaib, dua Iblis besar, setan-setan besar yang mengerikan dan setan-setan kecil yang menjijikkan, dari luar maupun dalam negeri. 
Kemunafikan, kejahatan, kekejaman, kehinaan dan brutalisme sudah terjadi sejak generasi kedua Adam Hawa, tapi imajinasi manusia tak pernah membayangkan bahwa makhluk Tuhan bisa berbuat sampai semunafik itu, sejahat itu, sekejam itu, sehina itu dan sebrutal itu.
Anda takkan tahan. Hatimu tak sanggup. Otakmu bisa retak-retak. Tenaga batinmu eman-eman untuk kau sia-siakan memikirkan itu.
Maka jangan buka tabir itu. 
Anda tekun bekerja saja, hidup mesra dengan keluarga. Hal Pilpres kirim ke Tuhan saja, terserah Ia akan suruh Jin Ifrith, Asif bin Barkhiyah, Panembahan Khidlir atau Panglima Izrail.
Anda sendiri kasih waktu satu dua jam saja pas hari-H. Datang ke TPS, masuk bilik, lakukan mau Anda secara bebas dan rahasia.
14.  Mèlèt-mèlèt Kepada Buto
Kalau memang pemimpin, kesadaran primernya adalah belajar kepada rakyat.
Rakyat bukanlah bawahan Presidennya. Desa bukanlah anak buahnya Negara. 
Rakyat adalah majikannya Presiden. Negara adalah rumah milik rakyat. Desa adalah seniornya Negara.
Sejak berabad silam, desa sudah mawa cara tapi sampai hari ini negara belum mawa tata.
Para pemimpin, para pejabat, yang tidak belajar kepada rakyat desa: biasanya menjadi pelacurnya Yuyu Kangkang, atau digendak Buto, bahkan tidak sekadar dodot iro bedhah ing pinggir. Malahan menelanjangi diri sendiri dan martabat bangsanya, kemudian mèlèt-mèlèt kepada Buto.
Kalau tidak paham ini, berarti tidak pernah belajar kepada rakyat.
15.  Kapitalisme Politik
Bapak Capres dan Cawapres, ada di antara rakyat yang berposisi begini:
Kalau tak pilih GO, jangan pikir pro-ZL. Cuma kapok sama GO, tapi tak berarti mantap pada ZL. 
Ini Negara belum meruangi hak-hak otentik rakyatnya untuk menentukan pemimpinya secara murni berdasarkan nurani dan perhitungan akal sehatnya.
Ada ABCDEF hingga WXYZ, bahkan ada HONOCOROKO hingga DOTOSOWOLO, belum lagi ALIFBATA sampai HAMZAHYA. Tapi kami hanya diberi hak 0,00001%, dibatasi hanya dikasih pilihan GO atau ZL. 
Ini belum Demokrasi. Jangankan lagi demokrasi yang mengakui eksistensi dan hak alam, hewan, para Nabi, Malaikat dan Tuhan.
Apalagi proses hingga diajukan GO dan ZL tidak berdasarkan kualitas, tapi tawar-menawar kapitalisme politik.
16.  Tak Berani Menjabat
Pernah ketika makan bersama dengan teman-teman serombongan teater, tiba-tiba saya tersedak sehingga seluruh makanan di mulut saya nyemprot menimpa wajah teman yang duduk tepat di depan saya.
Kotoran saya menimpa wajahnya, harga diri pribadinya, martabat kemanusiaannya. 
Dengan frustrasi saya minta maaf berulang-ulang. Sambil langsung saya loncat dari kursi, berlari melingkar, nyabet saputangan dari saku, saya usap wajahnya. Kemudian saya cium pipinya kiri kanan dan saya peluk badannya.
Syukur teman itu sangat arif, lapang dada dan berjiwa besar untuk memaafkan saya. Tetapi saya tidak pernah merasa cukup untuk minta maaf. Dalam sehari itu saya minta maaf lebih 10 kali. Pada waktu- waktu berikutnya permintaan maaf terus saya ulang-ulang. Eksistensi saya sebagai manusia sudah cacat, saya tak akan berani menjabat jadi apapun di kalangan manusia.
Rasa-dosa saya abadi : tak kan pernah terbayar meskipun sampai Akherat.
17.  Presiden Itu Apa
Kalau ditanya “Presidennya siapa?”, tidak sukar menjawabnya :”Monggo mau milih siapa. Bebas dan rahasia”.
Tapi kalau pertanyaannya “Presiden itu apa?”, agak tidak mudah menjawabnya.
Presiden itu apa? Kepala Negara? Kepala Pemerintahan? Pengambil Keputusan? Pelaksana Keputusan? Orang nomer satu? Pemimpin? Penguasa? Panglima? Direktur? Pemegang Amanat? Khalifah? Raja? Sulthon? Dedengkot? Benggolan? Mbahureksa? Messiah? Ratu Adil? Satria Piningit? Rais? Imam? Ro’un? Amir? Za’im? Waliyyul Amri? Qutb? ‘Amid? Qoid? Mursyid? Mas`ul? Dalil?
Sedemikian kaya dan luas cakrawala nilai-nilai Kepemimpinan, sehingga kabur, dan akhirnya tak dipedulikan.
18.  Pemimpin Yang Benar-Benar Pemimpin
Mustahil Pak Capres dan Pak Cawapres tidak mengerti. 
Bahwa di abad Globalisasi, yang merupakan sistem penjajahan tercanggih dan terkomplit sekarang ini–beberapa Negara dominan di muka bumi tidak menghendaki:
Bangsa Indonesia pandai bernegara.
Dewasa dan mandiri berbangsa.
Berdaulat dalam kecerdasannya sebagai manusia dan masyarakat.
Waspada dalam menetapkan niat dan tujuan pembangunannya.
Berwawasan luas dan komprehensif secara ruang, serta akurat dan strategis secara waktu, dalam menyusun masa depan. 
Para penguasa Dunia, baik dalam posisi bekerjasama maupun bersaing, sama-sama membuntu jalan sejarah agar jangan sampai Indonesia memiliki pemimpin yang benar-benar pemimpin.
Itulah cara paling efektif untuk menggerogoti kekayaan dan menghancurkan mental bangsa ini sampai waktu tak terbatas.
19.  Yogya Mentraktir NKRI
Pak Capres dan Pak Cawapres adalah “Muta’allimul-ghoib”, penembus penyibak penguak dan pembelajar kegaiban atau kegelapan. Itu kalau mengacu pada sifat Allah “Alimul Ghoib”, Yang Maha Tahu Kegaiban.
Manusia pembelajar kegaiban adalah yang bergerak dari tidak tahu menuju tahu.
Capres Cawapres adalah orang nomer satu yang wajib bergerak dari tidak mengerti menuju mengerti segala urusan rakyat, Negara dan tanah airnya.
Itu syarat pertama dari 14 prinsip kepemimpinan kalau belajar kepada sebagian Asma Allah.
Misalnya, jangan sampai kita menjadi bangsa yang terlaknat di hari esok, gara-gara tak tahu diri, tidak ngerti bersyukur dan berterima kasih.
Maka Capres Cawapres menginformasikan berapa jumlah biaya yang ditraktirkan oleh Kraton Ngayogyakarta 1945-1947 kepada NKRI untuk melaksanakan Pemerintahan, dengan seluruh keperluan birokrasi dan administrasinya.
Juga didetail hibah harta itu berupa apa saja. Termasuk Sultan Hamengkubuwono IX pasang badan menjamin eksistensi keuangan dan penghidupan NKRI di depan PBB dan lembaga-lembaga internasional lain yang mempersyaratkannya?
Pun lengkapi dengan data tentang hadiah Aceh kepada Indonesia, sehingga bersama Yogyakarta ia menjadi Daerah Istimewa.
20.  Berlatih Rahman Rahim
Mohon Pak Capres dan Pak Cawapres menunda sejenak untuk berpikir menjadi “Malik” (Raja), sebelum berlatih “Rahman” dan “Rahim” kepada rakyat.
Contoh kecil: cobalah cintai dan sayangi Yogya dan Aceh.
Kata “istimewa” pada nama Yogya dan Aceh, itu kemesraan persaudaraan nasional kah, atau simbolisme kebudayaan, ataukah idiom konstitusi? 
Sebab beda-beda substansinya, hakekat dan syariatnya, manfaat dan resikonya.
Kalau itu soal persaudaraan dan budaya, maka tidak ada legalitas formalnya. Tapi kalau keistimewaan itu formal-konstitusional, bagaimana rumusan tata-kuasanya?
Para Capres dan Cawapres mohon membenahi pengertian kita semua tentang itu. Misalnya kalau Yogya dan Aceh itu istimewa, kenapa disebut Propinsi. Kalau propinsi, kenapa istimewa. Bagaimana prinsip otoritas dan struktur kewenangannya, kewajiban dan haknya di antara Pemerintah Pusat dengan Daerah Istimewa?
Secara “roso” (bukan rasa bukan rōsã), apakah Yogya dan Aceh itu bawahan Jakarta, ataukah semacam orangtuanya Indonesia.
21.  Cacat Demokrasi
Cacat demokrasi, juga di Indonesia, ada banyak, tapi saya sebut tiga saja, agar yang tidak disetujui oleh para pelaku demokrasi ada tiga juga.
Pertama, demokrasi dilaksanakan tanpa perundingan dengan Tuhan.
Kedua, tidak melibatkan penduduk yang lain di bumi, misalnya tumbuh-tumbuhan, hewan, berbagai bangsa Jin, energi-energi hidup makhluk-makhluk Tuhan lainnya yang juga punya hak yang sama atas bumi.
Ketiga, rakyat tidak berdaulat untuk memilih langsung Presidennya. Malah dimandatkan kepada sekumpulan orang yang paling ambisius, serakah, tidak tahu malu dan lamis: untuk menentukan satu dua orang yang rakyat dipaksa memilih salah satunya.
22.  Demokrasi Kok Milih Siapa
Bangsa Indonesia ini sudah 73 tahun berdemokrasi, masih saja memilih “Siapa”.
Memang sih formalnya yang dipilih adalah “Siapa”, tetapi pertimbangan para pemilihnya mestinya bukan “Siapa”-nya, melainkan “Apa”-nya, “Bagaimana”-nya, “Kapan”-nya, “Kenapa”-nya, “Di Mana”-nya. Seperti terminologi jurnalistik lah.
Misalnya, apa yang pernah dilakukan olehnya selama ini, rekor pengabdian kerakyatannya seberapa. Dan apa yang akan ia lakukan kalau jadi pemimpin, programnya mathuk atau tidak dengan keperluan mendasar rakyatnya.
Bagaimana ia melakukannya, pola managerialnya, strategi besar nasionalnya, budaya komunikasinya, akhlak penerapannya. Sampai kapan perencanaannya, berpikir lima tahun sebatas jatah jabatannya ataukah sejauh mungkin ke depan, karena Pemerintah lima tahunan harus mengacu kepada program jangka panjang Negaranya. Sebab Negara tidak ada rencana untuk berakhir atau bubar.
Kenapa kok begitu skala prioritasnya, kenapa kok ajur-ajer pengabdian kepada rakyat dinomor-satukan dan eksistensi dan citra diri dinomor-terakhirkan. Di mana saja ia meletakkan kaki dan kegiatannya mencerminkan integritas kepemimpinannya.
Tetapi bangsa Indonesia tidak diberi informasi tentang itu semua. Satu-satunya yang diketahui oleh rakyat adalah “Siapa” Capres dan Cawapresnya.
23.  Pemimpin Gila
Didukung Rektor dan para pimpinan lainnya, kumpulan resmi mahasiswa ilmu politik dan pemerintahan Universitas tertua Indonesia, bikin Sinau Bareng dengan CNKK.
Tentang “bagaimana berpolitik tidak seperti kaum elite yang memimpin sekarang”–yang mereka sebut Democrazy: para pelaku kegilaan politik, yang hasil utamanya adalah memecah-belah rakyat.
Kata “gila” itu maksudnya idiom simbolik kultural ataukah benar-benar seperti yang dimaksudkan oleh ilmu pengetahuan, psikologi misalnya, dengan kebenaran akademiknya.
Kalau melihat penyelenggaranya, berarti gila dalam arti sebenarnya. Qoth’i. Bukan Dhonny, tafsir, interpretasi, analisis dan persepsi.
Jadi bangsa Indonesia akan memasuki tahun di mana mereka membayar biaya besar-besaran dan sibuk repot untuk memilih dua di antara empat orang gila.
24.  Qila Wa Qala Presiden
Berlangsunglah sebuah forum massal rakyat sinau bareng. Workshop beberapa kelompok menemukan dan menyimpulkan bahwa di antara segala apa saja dalam hidup ini, yang paling paling paling penting adalah iman, taqwa, sabar, jujur dan ikhlas.
Mereka juga menemukan bahwa di semua Sekolah, Pesantren, Universitas, Perguruan Tinggi, Majelis Taklim, Kumpulan Tarikat, atau kerumunan-kerumunan di rumah-rumah Ibadah: tidak tersedia pelatihan lelaku untuk lima hal penting itu.
Tidak ada kelasnya, tidak ada mata kuliahnya, tidak ada workshopnya, tidak ada laboratoriumnya, tidak ada bengkelnya, tidak ada trainingnya.
Yang berlangsung hanya orang disuruh beriman, bertaqwa, bersabar, berjujur dan berikhlas. Tetapi tidak pelatihannya, metodologinya, tehnik pendadarannya.
Sebagai warganegara mereka juga harus memilih Presiden dan Wakilnya. Tetapi baik Presiden, Wakil maupun para pemilihnya, tidak pernah berlatih untuk berlaku sebagaimana kewajibannya.
Yang pasti diketahui hanyalah nama empat orang yang harus didua-orangkan, ditambah rerasanan massal, qila wa qala, katanya begini begitu, menurut itu kok begini, menurut ini kok begitu.
25.  Presiden Pengisruh Rakyat
Sampeyan mau jadi Presiden dan Wakil Presiden silahkan. Syaratnya tidak perlu plus, cukup asal tidak minus.
Tidak membangun ekonomi rakyat apa boleh buat, asal jangan menghancurkannya.
Tidak membangkitkan kesejahteraan, rakyat mencoba maklum, asal jangan bikin terpuruk penghidupan rakyat.
Tidak bisa mengamankan kehidupan, rakyat bisa aja mengalah, asal jangan malah bikin kisruh.
Tidak bisa mengatasi masalah sesekali bisa dimaafkan, asalkan jangan tambahi masalah.
Problem-problem bangsa semakin bertumpuk, rakyat bisa hanya mengelus dada, asal adanya Pak Presiden sendiri jangan malah jadi problem.
Negara dan perpolitikan nasional tidak sanggup mempersatukan rakyat, bisa dicari-cari alasan untuk dimaafkan — asal jangan justru menjadi pemecah belah kesatuan rakyat.
Sebab demikian itulah yang berlangsung hari-hari ini. Semua “jangan” itulah yang dilakukan oleh para penguasa Negara, politisi nasional, orang-orang pintar di strata elite dan menengah.
26.  Presiden Rasa Malu
Syarat pertama menjadi Presiden yang mudah dipahami oleh siapapun tapi amat sukar dilakukan oleh pelakunya–adalah orang yang tidak berambisi jadi Presiden.
Hulunya manusia ambisius adalah nafsu, hilirnya keserakahan. Di dalam dirinya penuh sesak oleh kobaran api kepentingan pribadinya sendiri. Jabatan adalah pakaiannya, Negara adalah perusahaannya, kekuasaan adalah pedangnya, dan rakyat hanyalah alas kaki kepentingannya.
Rakyat yang belum tahu tapi memilihnya karena merasa punya harapan, adalah rakyat yang tertipu. Rakyat yang sudah tahu tapi tetap memilihnya karena sudah buta matanya, adalah rakyat yang dungu.
Membangun bangsa kategori terakhir itulah memang program utama kaum politisi. Seluruh sistem politik, konstitusi dan aturannya khusus diperuntukkan bagi calon-calon yang ambisius, yang tega memfitnah dan menyingkirkan lainnya, serta yang tak punya harga diri dan budaya malu.
27.  Tutupi Kekurangan Indonesia
Di dalam UUD 1945, Bab I Pasal 1, 3 ditetapkan bahwa “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”.
Artinya, dalam Ilmu Maiyah: Indonesia ini Negaranya adalah Negara Hukum, warganya adalah Manusia Keadilan, dan tanah airnya adalah Tanah Air Nurani.
Tatanannya makro-mikronya: Tuhan (kalau memang ber-Pancasila) > Tanah Air > Rakyat > Negara > Pemerintah.
Strata supremasinya: Uluhiyah Tuhan > Mizan Kesemestaan > Nurani Kemanusiaan > Akal Keadilan > Rumusan Hukum.
Supremasi Hukum berlaku pada Gelembung-gelembung mikro pemerintahan.
Sesungguhnya saya sedang mencarikan argumentasi bahwa jargon NKRI “Supremasi Hukum” berasal dari pemahaman pengetahuan yang tidak lengkap, serta ilmu yang belum dewasa. Ini demi menutupi kekurangan Indonesia.
28.  Presiden Manusia Keadilan
Hakikinya Capres dan Cawapres tidaklah “memerlukan hukum”, karena mereka tak mungkin melanggar pagar hukum. 
Bagaimana bisa? 
Karena seharusnya Presiden adalah hamba Tuhan, manusia nurani, penyayang kemanusiaan, berakal keadilan. 
Kepastian hukum adalah bagian otomatik dalam kepribadiannya. Itu yang membuat mereka dipercaya oleh rakyatnya.
Tetapi kalau yang memimpin menjalani kepatuhan hukum saja tidak bisa, maka hakikinya dia belum layak dikategorikan sebagai manusia, jauh dari kepantasan menjadi Presiden, apalagi Ahsanu Taqwim. Jangankan lagi Insan Kamil, strata kualitas kemanusiaan yang dipersyaratkan agar seseorang pantas memimpin.
29.  Tampang Presiden
Bapak Capres dan Cawapres hendaklah belajar sendiri-sendiri atau Sinau Bareng untuk mencapai kemampuan senantiasa berkata dan bertindak proporsional, tepat, akurat, dengan tingkat presisi setinggi mungkin.
Sebab yang akan Anda pimpin itu manusia, bukan benda, materi atau barang. Manusia adalah miniatur Tuhan, dengan kelengkapan dan keutuhan. Seluruh kandungan semesta ada pada manusia, sementara anasir utama kemanusiaan–misalnya hati, nurani, harga diri, akal, muru`ah, derajat, martabat dll–tidak dikandung oleh alam.
Hanya ahsanu taqwim manusia yang mampu membedakan antara wajah, pasuryan, rai, dapur, tampang atau prèjèngan. 
Pemimpin bahkan wajib bisa meletakkan setiap kata itu pada presisi sosial, budaya, politik, psikologis, atmosfer dan nuansa.
Kata asu, dobol, diamput dll bisa saja menggembirakan dan menambah kemesraan: kalau diletakkan pada presisi kemanusiaan dan bebrayan yang tepat, yang memperhitungkan keseimbangan dan harmoni atau keselarasan.
30.  Presiden Parah
Betapa parahnya bangsa ini, memilih pemimpin tanpa wawasan.
Betapa malangnya bangsa ini, memilih Presiden tanpa pengetahuan.
Betapa semberononya bangsa ini, menempuh masa depan tanpa kewaspadaan.
Menjunjung idola tanpa ilmu, memuja-muja pembohong sebagai pahlawan.
Memberi penghormatan tanpa ketepatan, menghina tanpa perhitungan.
Terpesona kepada fatamorgana, terkesima oleh khayalannya sendiri yang fana.
Pengingkar janji dinabi-nabikan, munafik diratuadilkan.
Pengkhianat dimuhammad-muhammadkan, pendusta dimalaikat-malaikatkan.
Mempertengkarkan hal-hal yang tidak layak dipertengkarkan, mengubur sesuatu yang seharusnya dipersoalkan.
31.  Presiden Sorga Neraka
Calon rakyat Pak Capres dan Cawapres menginginkan komitmen bahwa demi Pancasila bersama, mereka memohon Bapak berdua turut menuntun perjalanan ke sorga dan menjaga jangan sampai kesasar masuk neraka.
Sebab tata nilai yang sedang berlangsung adalah orang-orang dipimpin membangun sorga secara neraka atau dengan jalan neraka. Atau apa yang selama ini diyakini sebagai sorga ternyata hakikinya adalah neraka.
Demikian pun sebaliknya.
Orang-orang bangga ketika seharusnya merasa hina, mereka merasa sukses tatkala melorot martabatnya.
Mereka memilih fana dari baka. Mengambil yang palsu, bukan yang sejati. Mereka menempuh kesementaraan, menolak keabadian. 
Mereka memasuki kesempitan, menjauhi keluasan. Mereka menyembah tuhan-tuhan, dan melecehkan Tuhan.
Mereka membenci daging rezeki segar halal, dan memilih bangkai.
Mereka membuang saudaranya dengan dalih persaudaraan, mereka menghardik atas nama persatuan.
Mereka meneriakkan Bhinneka Tunggal Ika, pluralisme, keragaman, syu’uban wa qabail–tetapi mereka memaki, menghina, mengutuk, membuang, mengusir sesama manusia, sesama bangsa Indonesia. 
Bahkan andaikan mereka mampu memusnahkan saudaranya yang mereka musuhi itu, pasti juga sudah dilakukan.
32.  Presiden Hoax
1.Kejujuran diterapkan secara jujur. Misalnya seorang yang memenuhi berbagai persyaratan kwalitatif maupun kwantitatif untuk menjadi Pemimpin, diproses dan diangkat menjadi Pemimpin dengan cara yang benar dan baik.
2.Kejujuran diterapkan secara bohong. Orang yang layak jadi Pemimpin, tapi diangkat secara curang atau bohong.
3.Kebohongan diterapkan secara jujur. Tidak layak jadi pemimpin tapi menempuh dan ditempuh dengan memenuhi aturan-aturan yang berlaku.
4.Kebohongan diterapkan secara bohong. Tidak pantas, tidak ekspert, tidak memenuhi syarat jadi Pemimpin, tapi memaksakan dan dipaksakan dengan segala cara sampai yang tidak halal dan penuh dusta untuk menjadi Pemimpin.
Hoax bukan hanya berita bohong, tapi juga pikiran tidak jujur, hati dengki dan bermusuhan, politik penguasaan sepihak, dan apa saja yang merusak kehidupan.
33.  Presiden Ajaib
Para makhluk yang tinggal di keajaiban langit, malah menemukan ada yang sangat ajaib di bumi. Ialah orang di bumi yang mati-matian ingin jadi Presiden, atau mempertahankan jabatan Presidennya.
Presiden memanggul gunung tanggung jawab keadaan se-Negara, dari perekonomian nasional hingga sebuah lubang di jalanan. Padahal mengangkut batu pertanggungjawaban dirinya sendiri saja belum tentu sanggup.
Maka di pandangan awam, ada empat kemungkinan orang macam itu: nekat, bunuh diri, gila, atau dungu.
Allah sendiri menginformasikan: ”Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh
34.  Presiden Aturan
“Lho kalau berjuang jadi Presiden itu dianggap perilaku ajaib, terus gimana dong?”
“Kalau sudah terlanjur bikin Negara ya harus ada Kepala Negaranya, entah Presiden atau apa namanya”
“Katanya mencalonkan diri jadi Presiden itu nekat, bunuh diri, gila atau dungu?”
“Ya jangan jadi Presiden karena ambisi dan ingin, apalagi bernafsu. Sebab resikonya Tuhan tidak ikut campur, tidak peduli, tidak menolong”
“Terus gimana caranya supaya ada Presiden?”
“Jangan mencalonkan diri”
“Kan aturannya harus mencalonkan diri”
“Manusia berhak memperhitungkan kembali manfaat mudarat, untuk memutuskan akan mengubah aturan bikinannya atau tidak”.
35.  Presiden Daulat
Kalau ada orang menawarkan diri jadi Imam shalat, para makmum tidak akan memilihnya, atau minimal tidak meridlainya jadi Imam.
Kalau ada orang mencalonkan diri jadi Pemimpin, masyarakat yang masih punya tawadlu, harga diri dan rasa malu: bisa merasakan bahwa itu orang sok hebat, merasa unggul dan tidak punya kerendahan hati.
Kalau untuk punya Presiden caranya harus dengan membuka pendaftaran pencalonan — maka mudah-mudahan masih ada kemungkinan bahwa seseorang menjadi Presiden karena didaulat secara otentik dan murni oleh rakyat.
Bagaimana caranya? Mekanismenya? Prosedurnya?
Ada. Tergantung mau belajar atau tidak.
36.  Presiden Pancasila
Karena semua manusia, tanah, air, darat, laut, sungai, gunung, tambang dan apa saja adalah hak milik Allah–maka Presiden yang memimpin Negara logisnya ya atas perintah Allah.
Presiden ikhlas memimpin karena diperintah oleh Tuhan, sehingga wajib menjalankannya.
Menjadi Presiden itu bukan terutama soal hak, tapi kewajiban mengabdi. Kalau Tuhan yang perintah dan mewajibkan, Ia men-support, memfasilitasi, membimbing dan melindungi”
“Bagaimana tahu atau memastikan bahwa itu perintah Tuhan?”
“Lho katanya Pancasila. Tiang utamanya kan Ketuhanan Yang Maha Esa. Lha selama 73 tahun ini bagaimana pergaulannya dengan Tuhan?”
37.  Presiden Dipilihkan
Pada umumnya rakyat Indonesia sangat pandai menjalani hidup. Mandiri. Kerja keras. Tangguh. Iguh dan ubet-nya ranking-1 dunia.
Penghidupan mereka tidak terlalu tergantung pada baik buruknya Pemerintah.
Mungkin itulah sebabnya mereka tidak pernah terdidik untuk pandai bagaimana memilih Presiden.
Bahkan bagaimana sebaiknya tata cara memproses pemilihan Presiden mereka juga tidak peduli-peduli amat. 
Mereka tidak pernah benar-benar memilih Presiden di antara ratusan juta penduduk. Capres Cawapres-nya dipilihkan 3-4 dari 250 juta oleh hasil transaksi Parpol-parpol, mereka rela-rela saja.
Yang gaduh, ribut dan terus bertengkar adalah sebagian rakyat yang tidak mandiri, sehingga nempel untuk bekerja di gerbong Capres Cawapres.
38.  Presiden Ridla
Secara umum rakyat dan bangsa Indonesia memang belum punya pengetahuan dan kemampuan yang mencukupi tentang bagaimana kehidupan ber-Negara.
Tidak mengerti beda dan pilah antara Negara dengan Pemerintah. Misalnya tidak tahu kalau BUMN itu bukan BUMP, ASN bukan ASP, TNI dan Polri bukan aparat Pemerintah melainkan perangkat Negara. Juga MK, KY, KPK dll tidak terletak di struktur Pemerintahan.
Oleh para penguasa, ketidaktahuan dan ketidakmampuan itu dipelihara dengan baik, dirawat dengan canggih dan dijaga secara strategis untuk jangan sampai berubah.
Mungkin Tuhan pencipta rakyat Indonesia yang pada suatu hari nanti menunjukkan bahwa Ia tidak ridla atas pembodohan akut itu.
39.  Presiden Penggede
Demokrasi memerlukan rakyat dengan tingkat pengetahuan, ilmu dan kualitas intelektual dan budaya yang memadai.
Kalau manusia tidak punya perspektif pandang, sehingga tidak belajar memetakan sejatinya apa dan mana Pencipta kehidupan, apa dan mana alam semesta, tanah air, rakyat, warga, Negara, pemerintah — maka Presiden dianggap Penggede.
Maka menjadi Presiden adalah prestasi tertinggi, karena potensial untuk digede-gedekan, dituhankan, dianggap memegang pusat simpul segala kekuasaan. Hal tanggung jawab dan dosa, itu sekunder.
Penggede itu 50% mitos. Kalau Penggede meninggal, mitosnya 100% pahlawan yang 100% benar. “Sewilayah dengan Tuhan dan Nabi”. Can do no wrong.
Maka kesalahan sejarah di masa silam tak bisa diperbaiki, karena terkait dengan almarhum Penggede yang tidak mungkin salah.
40.  Presiden Loyang
Kalau para cendekiawan di antara rakyat saja memperdebatkan kripik sebagai ketela, mempertengkarkan nasi pada ranah padi, atau bermusuhan karena tidak mampu memilah konteks mana kapas mana benang mana kain mana pakaian — bagaimana mungkin mereka semua layak memilih Presiden.
Yang dipilih kemungkinan besar adalah Presiden Kerikil karena disangka Mutiara. Presiden Loyang karena dikira Emas. Presiden Kripik yang diyakini sebagai Ketela.
Karena tidak mampu meletakkan di koordinat mana letak manusia, Nabi, pepohonan, ketuhanan, ratu adil, satriyo piningit, mutiara, akik dan tahi ayam.
Kata “tahi ayam” juga bisa dianggap penghinaan oleh orang yang tidak mengerti bahwa tlethong sapi atau bahkan tinjanya sendiri adalah pintu ilmu dan jalan kesadaran menuju keagungan qadla qadar Sang Maha Beliau.
41.  Pseudo-Presiden
Primer disekunderkan. Sekunder diprimerkan. Madzhab diagamakan. Ormas diaqidahkan. Pemerintah dimalaikatkan. Presiden dituhankan. Aturan manusia dilauhil-mahfudhkan.
Syariat diijtihadkan. Ijtihad disyariatkan. Qoth’iy di-dhonny-kan. Dhonny di-qoth’iy-kan.
Kebencian dipercintakan, cinta diperbencikan. Wajib dimakruhkan, haram disunnahkan, halal dipermusuhkan. Matematika diperdemokrasikan, demokrasi diperniagakan. Betapa parahnya bangsa ini, tidak belajar sudut pandang. Tidak sinau bareng sisi pandang, resolusi pandang, jarak pandang. Kaki dikepalakan, pantat diwajahkan, wajah dibokongkan.
Bangsa yang para cerdik pandainya saja dilanda ketidaklengkapan ilmu, ketidakutuhan pandangan dan ketidaktepatan pengetahuan seperti itu maka produknya hampir mustahil kalau bukan Pseudo-Presiden.
42.  Presiden Keseimbangan
Kalau hak tidak dijunjung dalam keseimbangan dengan kewajiban. Kalau kewajiban tidak dipahami dari benih, akar dan sanad-matan.
Kalau keinginan dimerdeka-merdekakan. Kalau kemerdekaan tidak dibimbing oleh hakekat batasan-batasan. Kalau kebutuhan tidak meregulasi nafsu dan keserakahan.
Maka yang berlangsung dalam budaya bernegara dan peradaban berbangsa adalah deret hitung kebodohan dan deret ukur dismanajemen.
Niat baik untuk mengatasi masalah, menghasilkan masalah baru. Kebenaran memproduksi kebatilan. Kebaikan melahirkan kemudaratan.
Jangankan memilih Presiden, menjaga badan dari kelebihan kolestrol, memelihara kesehatan dari asam urat, lemak jahat, disfungsi onderdil-onderdil jasad saja tak semakin bisa.
Jangankan lagi jiwanya, mentalnya, moralnya, harmoni psikologisnya, ketepatan perjodohan jasmani rohaninya.
Allah menuntun duduk iftirasy, hamba-Nya memilih duduk ongkang-ongkang. Tuhan menghamparkan daging segar, hamba-Nya memilih bangkai goreng.
43.  Presiden Tampilan
Di Abad 21, dengan industri 4.0, teknologi supra dan ilmu matahari terbit dari Barat, manusianya merasa paling hebat di antara ummat manusia sepanjang zaman.
Tapi manusia dan kemanusiaan tidak menjadi fokus kemajuan. Manusia semakin tidak mampu memahami manusia. Yang disebut manusia hanya faktor teknisnya, tampilan casing-nya, performa topeng sosialnya, bahkan tingkat produktivitas materiilnya.
Kalau ada orang kaya, disebut sukses. Kalau jadi Presiden, disimpulkan itu puncak pencapaian karier.
Kalau rajin beribadah, disebut saleh. Kalau pakai surban, itu Kiai. Kalau fasih mengucapkan firman, itu Ustadz. Kalau tangannya nenteng tasbih, itu Syekh alim. Kalau namanya pakai KH, itu Ulama. Kalau Sarjana, itu ilmuwan. Kalau Doktor, itu ekspert.
Mereka cari pemimpin, yang dipilih Presiden.
44.  Presiden HAM
Yang paling mendasar dan utama dari sifat durhaka manusia adalah manusia berlaku seakan-akan manusia menciptakan dirinya sendiri.
Puncaknya manusia memproklamasikan “Hak Asasi Manusia”. Seolah-olah ia punya saham atas terciptanya sehelai rambutnya. Seolah-olah ia berinisiatif dan berkuasa atas detak jantung dan aliran darahnya. Seolah manusia sendirilah yang merancang hidup dan matinya.
Itu bukan hanya durhaka, tapi juga tidak rasional, tidak ilmiah, tak bernalar, seolah-olah ia tak punya akal. Memenggal hilir dari hulu. Menggelapkan asal-usul. Tidak setia kepada sebab akibat.
Kalau manusia terhadap dirinya sendiri saja bersikap tidak mendasar, tidak jujur dan tidak rasional—maka kalau memilih Presiden, mustahil yang dimaksud adalah benar-benar Presiden.
45.  Presiden Pemimpin Dunia
Sampai hari ini yang dimaksud kemajuan adalah struktur bangunan fisik, pembangunan materiil, kemegahan kasat mata alias Ilmu Katon. Bukan Peradaban Manusia.
Maka yang dilihat pada manusia hanyalah bagian meteriilnya. Berdasarkan kulit luarnya, identitasnya, ormasnya, parpolnya, profesinya, pakaiannya, madzhabnya, kategorinya, box-nya, kotaknya, tempurungnya, topeng kemegahan jasadiyahnya.
Peradaban primitif dan dekaden seperti itu belum mengenal fenomena Semar yang gembrot tapi ternyata Insan Kamil. Gareng mata juling yang adalah filosof. Petruk yang berhidung panjang adalah ilmuwan, Bagong yang buruk muka adalah pujangga, budayawan dan pakar komunikasi.
Peradaban Indonesia Zaman Now menyangka Punakawan adalah badut. Nggak paham Punakawan, apalagi Panakawan.
Yang dibutuhkan oleh bangsa agung Nusantara Raya adalah Presiden yang menyimpan disain besar Cetak Biru Peradaban Manusia untuk besok pagi. Meninggalkan Peradaban Maniak Materi, Peradaban Budak Industri, Peradaban Kekuasaan Hewani hari ini.
Presiden Indonesia harus Pemimpin dunia.
(Mbah Nun bersama Masyarakat Maiyah)

Sumber : https://www.caknun.com/tag/reformasi-nkri/

Share:

0 komentar:

Posting Komentar

Lautan Jilbab

Pengunjung Blog

Posted by Arip. Diberdayakan oleh Blogger.

Pengikut