Agama
dan Budaya
Yang
berada dalam lingkup agama (religion) adalah hanya rukun Islam. Tapi
Allah memberikan keluasan kepada manusia untuk kreatif mengungkapkan rasa
keberagamaannya (religiosity) melalui bermacam-macam cara : memperindah
masjid dan sajadah, mendayagunakan Idul Fitri untuk halal bihalal membangun
silaturahmi, memperingati kesadaran sejarah dengan mudik, dan inovasi-inovasi
lain. Yang pertama disebut ibadah mahdloh, sementara yang kedua kita kenal
sebagai ibadah muamalah.
Komposisi
ayat-ayat Al-Qur’an terdiri dari 3,5% ibadah mahdloh dan sisanya tentang ibadah
muamalah. Di sinilah kita bisa mengidentifikasi letaknya bid’ah. Rumusnya
ibadah mahdloh adalah jangan melakukan apapun kecuali yang diperintahkan Allah.
Maka kalau kita mengubah redaksi kalimat syahadat, menambah gerakan shalat, itu
merupakan bid’ah. Tapi di luar itu ada wilayah sangat luas yang dinamakan
ibadah muamalah, di mana kita diperbolehkan melakukan apapun asalkan tidak
melanggar syariat.
Maka
orang-orang bertengkar mengenai boleh tidaknya bersalaman selepas shalat
berjamaah. Padahal jangankan bersalaman, mau main musik pun boleh ketika shalat
sudah selesai, dan tentu saja di tempat-tempat yang tepat.
Lalu
orang juga bertengkar mengenai musik : haram atau tidak? Ada tiga unsur yang
terkandung dalam musik, yakni bunyi, nada, dan irama. Kalau memang kita bisa
menghindari ketiganya, bolehlah musik diharamkan. Padahal kita butuh bunyi
untuk saling terhubung, kita melibatkan nada dalam berbicara, dan semua yang
ada mempunyai iramanya masing-masing.
Mungkin
yang tidak boleh bukan bermain gitarnya, bukan menyanyinya, melainkan pemilihan
tempat dan waktu yang tidak tepat. Memusiki shalat, misalnya, atau menyanyi
keras-keras saat tetangga sakit. Semua harus empan papan, tepat pada
koordinatnya.
Cara
mengidentifikasi mana agama mana bukan-agama adalah siapa yang menentukan tata
cara ibadah mahdlohnya. Hanya Allah yang punya kewenangan untuk membuat agama.
Maka Darmogandul, Kejawen, Kebatinan, NU, Muhammadiyah, itu semua posisinya
bukan sebagai agama tapi sebagai upaya tafsir. Ia menjadi penting hanya ketika
keberadaannya mendekatkan manusia kepada Allah.
Allah
bikin ketela, lalu manusia mencerdasinya sehingga muncul gethuk, keripik, dan
thiwul. Semua sama-sama boleh ada, tapi jangan sampai pelaku aliran gethuk
memposisikan gethuk sebagai ketela sehingga merasa punya wewenang untuk mengharamkan
eksistensi keripik dan thiwul. Ketiganya perlu saling berendah hati satu sama
lain.
Tapi
begitu ada yang merusak manusia, begitu ada yang menimbulkan keretakan sosial,
pertikaian, pemerintah punya wewenang untuk melarangnya. Misalnya ketika aliran
keripik membentuk Front Pembela Ketela untuk merusaki warung-warung yang buka
selama siang Ramadhan, untuk menghancurkan masyarakat dengan mengatasnamakan
ketela. Dengan memposisikan sebagai pembela ketela, dapat disimpulkan bahwa dia
sedang mengatakan bahwa dia bukan merupakan bagian dari ketela dan dia lebih
hebat dari ketela.
Muhammad Ainun Nadjib
Reportase Maiyahan di Pondok
Pesantren Al-Fattah, Lamongan
0 komentar:
Posting Komentar