Pesantren
Tidak Belakangan dan Tidak Terbelakang
Cak
Nun membagi pengalamannya ketika beberapa tahun belajar di Pondok Pesantren
Gontor. Bertahun-tahun mondok merupakan pengalaman tirakat,
mengakrabi batasan-batasan, baik itu dalam soal makanan, pakaian, dan apalagi
dalam hal-hal yang lebih sekunder. Baju, sarung, dan celana masing-masing cukup
selembar, sering berpuasa, dan mendayagunakan sisa-sisa pasta gigi dan sabun
dari santri-santri lain – semuanya bukan karena terpaksa melainkan murni
pilihan sadar.
Tanpa
Pesantren Tebuireng tak akan ada peristiwa 10 November, tak akan ada adegan
terbunuhnya Jenderal Mallaby. Pesantren merupakan salah satu unsur yang
melahirkan Indonesia. Karena jelas siapa kebo siapa gudelnya,
mestinya pesantren tak pantas merasa minder dan merasa perlu mendapat pengakuan
dari negara untuk mengobati mindernya. Pesantren harus bangga karena sudah
membuktikan kehebatannya. Dan besok-besok dunia akan ikut membentuk pesantren.
Pesantren
adalah tempat para santri. Awalnya ada orang sepuh yang sungguh-sungguh
berilmu, berakhlak baik, dan bermental kuat. Anak-anak muda mendatanginya untuk
belajar. Setelah melalui pembelajaran dan pengujian-pengujian, orang sepuh tadi
menentukan lulus atau tidaknya santri tersebut. Untuk mempermudah proses
belajar ini, mereka membangun pondok-pondok. Pusat sistem pendidikan pesantren
adalah seorang tokoh berilmu.
Pada
zaman kita mendirikan pesantren-pesantren, Eropa mengalami masa kegelapan.
Mereka tak punya modal orang berilmu untuk ikut membentuk pesantren, maka
mereka kumpulkan orang untuk diajari. Maka sekolah-sekolah tidak punya figur
yang benar-benar berilmu, apalagi berakhlak. Kalau ada kiai menghamili
santrinya, batallah kekiaiannya. Tapi ketika hal yang sama dilakukan oleh
profesor, keprofesorannya tidak terganggu.
Muhammad Ainun Nadjib
Reportase Maiyahan di Pondok Pesantren
Al-Fattah, Lamongan
0 komentar:
Posting Komentar