Bersama
untuk
Keutuhan
Cak
Nun mengajak peserta untuk mengambil pelajaran dari menyanyikan Indonesia Raya
bersama di awal acara. Ekspresi menyanyi bersama sudah cukup untuk menunjukkan
betapa pentingnya kohesi sosial. Itulah misteri musik; begitu dinyanyikan
bersama-sama, semuanya menjadi pas tanpa fals.
Seorang
Nabi pernah mengajarkan penataan barisan ketika shalat berjamaah. Barangsiapa
robek bajunya di sebelah depan, dia menempati baris belakang. Barangsiapa robek
bajunya di sebelah belakang, dia menempati baris depan. Kalau ada yang robek
bagian kanan bajunya, dia mendapat tempat di kiri. Kalau ada yang robek bagian
kiri bajunya, dia mendapat tempat di kanan. Diatur demikian rupa sehingga dari
luar terlihat sebagai kesatuan yang utuh karena setiap unsur saling menutupi
kekurangan masing-masing.
Untuk
memberikan atmosfer yang sesuai dengan jiwa acara, Cak Nun meminta Mbak Via
bersama Kiaikanjeng membawakan Indonesia Raya stanza kedua dan ketiga. Kalau
stanza pertama membicarakan Indonesia sebagai wujud jasadiah, stanza kedua dan
ketiga menampilkan yang lebih dalam daripada itu, yakni sifat Indonesia (tanah
yang suci) dan dzat Indonesia (tanah yang mulia).
“Saya
tidak tahu bagaimana pengaturannya secara konstitusional, tapi ada baiknya
anak-anak muda diperkenalkan secara utuh tiga stanza lagu Indonesia Raya ini
karena yang kedua dan ketiga menurut saya lebih mendalam dan mengandung
nuansa-nuansa yang lebih tidak kering.”
Kearifan,
Pengetahuan, dan Hikmah
Bahasa
Indonesia dipilih sebagai bahasa nasional dari Bahasa Melayu pasar di Betawi,
sehingga dia tidak punya kemampuan untuk menampung kayanya peradaban Nusantara.
Ini seperti yang terjadi pada kata ‘kearifan lokal’ itu sendiri. Kata ‘arif’
berasal dari Bahasa Arab, yang artinya pengetahuan yang mendalam – jenis
pengetahuan yang lain dari ‘alim’ (pengetahuan yang meluas).
Yang
sebenarnya dituju maknanya oleh frasa ‘kearifan’ adalah ‘hikmah’, gabungan dari
koordinat arif dan alim. Subyek yang memiliki hikmah namanya Hakim – yang
karena sudah terlanjur dipakai untuk menyebut petugas Kehakiman, tidak mungkin
lagi kita gunakan untuk menggambarkan orang yang memiliki wisdom.
Ketiadaan
pendalaman secara sungguh-sungguh dalam Bahasa Indonesia ini menyebabkan kita
kerepotan sendiri dengan kata-kata yang sudah terlanjur kita pakai dalam
konstitusi. ‘Ketuhanan’ dalam sila pertama dasar negara kita, misalnya,
menunjukkan bahwa kita tidak sungguh-sungguh melibatkan Tuhan dalam kehidupan
bernegara kita.
Karena
kearifan adalah hikmah, maka bicara kearifan lokal sebenarnya tidak terbatas
secara statis pada padaidi padailo sipattuo sipatokkong, ing ngarso sung
tulodho – ing madya mangun karso – tut wuri handayani, atau nilai-nilai
lain yang sudah ada pada etnik-etnik tertentu. Setiap hari kita bisa
menciptakan kearifan lokal karena lokalitas tidak sama dengan etnisitas.
Lokalitas lebih cair sifatnya, sehingga seorang mahasiswa dan kaum intelektual
bisa memiliki kearifan lokalnya masing-masing.
Belajar
Tidak Terputus dengan Sejarah
Penataan
letak tempat duduk yang melingkari meja-meja bundar di ballroom selama
konferensi bukan merupakan inisiatif orang modern. Dulu pada zaman Majapahit,
ada yang namanya upacara Kendi Mas di mana setiap 35 hari sekali
lingkar-lingkar masyarakat dari setiap daerah commonwealth Majapahit
berkumpul untuk bergiliran meminum air dari Kendi Mas lalu duduk melingkar.
Indonesia
menjadi Indonesia yang sekarang ini karena kita sangat tidak bisa meneruskan
kearifan lokal kita pada zaman dulu. Posisi Gajah Mada ketika itu adalah
sebagai kepala pemerintahan atau perdana menteri, sementara Hayam Wuruk sebagai
kepala negara. Hayam Wuruk tidak boleh mengeksekusi, tapi Gajah Mada juga tidak
boleh melakukan apapun tanpa perundingan dengan Hayam Wuruk.
Sekarang
kita tidak membedakan kepala negara dengan kepala pemerintahan, tidak bisa
membedakan mana lembaga negara mana lembaga pemerintah, sehingga terjadi
kerancuan-kerancuan dalam konstitusi dan pelaksanaan birokrasi. Komisi Yudisial,
Mahkamah Agung, Komisi Pemberantasan Korupsi, dan Badan Pemeriksa Keuangan
mestinya merupakan lembaga negara. Mestinya Ketua KPK dilantik oleh Ketua MPR,
bukan oleh presiden karena justru presidenlah orang yang paling harus diawasi
oleh KPK. Maka tidak mungkin KPK mengambil orang yang melantiknya sebagai
terdakwa.
“Saya
bukannya mau mengubah Indonesia dari negara kesatuan menjadi persemakmuran,
tapi saya ingin menunjukkan bahwa aspirasi dari kearifan lokal kita sebenarnya
luar biasa.”
Tiga
Hipotesis atas Konflik Sosial
Merebaknya
konflik-koflik sosial di banyak titik di Indonesia mungkin disebabkan oleh tiga
butir hal berikut ini :
1.
Belum adanya landasan untuk rukun, yaitu keadilan sosial, ekonomi, dan
manajemen pemerintahan yang bagus. Dengan begitu, masyarakat tak pernah
terpuaskan hatinya karena hak-hak dasar mereka sebagai warga negara belum
pernah terpenuhi secara seksama.
2.
Kita tidak bisa menghalangi merebaknya materialisme, kapitalisme, dan
industrialisme yang melahirkan egoisme kepentingan dan kerakusan-kerakusan di
segala bidang bahkan sampai di wilayah-wilayah yang seharusnya tidak
dikapitalkan, misalnya wilayah agama, kebudayaan, kesehatan, dan pendidikan.
3.
Ketidakrelaan internasional terhadap kerukunan negara Indonesia. Indonesia
diprovokasi sedemikian rupa supaya rapuh sehingga sangat mudah dijajah tanpa
melalui penyerbuan seperti di Iraq dan Afghanistan, atau melalui pembunuhan
pemimpinnya seperti yang terjadi pada Saddam Husein dan Khadafi, atau melalui
provokasi ekstrim seperti di Mesir dan Syiria. Ada celah-celah di Indonesia di
mana tidak ada kohesi sehingga Trio Amerika Serikat – Israel – Arab Saudi dapat
dengan mudah melakukan infiltrasi sampai ke Perda-Perda, rapat-rapat DPRD
sampai DPR. Seluruh tatanan perundang-undangan kita beberapa tahun terakhir
sudah sangat diwarnai kepentingan mereka.
Menjadi
Sebenar-Benarnya Diri Sendiri
Taruhlah
Indonesia itu gado-gado yang disusun oleh sangat banyak unsur. Untuk menjadi
gado-gado yang sehat dan enak, cabenya harus benar-benar cabe, bawangnya harus
bawang beneran, dan seterusnya. Setiap unsur harus membina dirinya menjadi
sebaik mungkin.
Ketika
Tuhan memerintahkan kita untuk lahir di Papua, misalnya, wajib hukumnya bagi
kita untuk menjadi orang Papua dan mengembangkan kepapuaan kita demi Indonesia.
Maka yang ada adalah orang Indonesia Papua, Indonesia Bugis, Indonesia Mandar,
Indonesia Jawa, dan seterusnya. Indonesia tidak menghilangkan daerah-daerah,
tidak menomorduakan Papua atau Jawa.
Terhadap
kokok ayam orang Jawa menyebutnya dengan kukuruyuk, orang Sunda mengenalinya
sebagai kongkorongkong, orang Madura menggambarkannya dengan bunyi kukurunuk.
Banyak orang bertengkar karena masing-masing bertahan bahwa versinyalah yang
benar dan dengan begitu yang lain salah. Padahal kalau mau cari benarnya, yang
benar ya kokok ayam itu sendiri.
Tuhan
memberikan ketela, lalu oleh manusia dielaborasi secara kultural menjadi
gethuk, keripik, dan thiwul.Ini merupakan langkah arif, tapi begitu
kelompok-kelompok ini menyangka bahwa dirinya adalah ketela itu sendiri,
terjadilah pertengkaran-pertengkaran. Di Indonesia, banyak sekali kiai yang
datang membawa gethuk dan menginformasikan kepada umat bahwa itu ketela.
Enkripsi
Kearifan Lokal dalam Lagu Anak-Anak
Di
Jawa, kearifan lokal terutama disimpan dalam lagu anak-anak. Gundul-GundulPacul,
misalnya, menyimpan pesan kepada para pemimpin untuk tidak menaruh bakul
kesejahteraan rakyat kecuali di atas kepala – lebih penting dari jabatannya,
lebih penting dari ambisi-ambisi pribadinya.
Ajaran
lain juga bisa kita dapatkan melalui sindiran lokalitas Jawa dalam lagu E
Dhayohe Teka. Bahwa ketika kita berkepanjangan salah manajemen, problem
berkembang sesuai deret ukur. Yang ada, solusi belum tertemukan malah menambah
problem-problem baru.
Diceritakan
pada awalnya datang tamu, lalu kita gelarkan tikar untuknya.Ini masih benar.
Tapi ternyata tikar itu robek, lantas kita menambalnya dengan jadah. Sudah
jelas tidak mampu menutupi robeknya tikar, ditambah lagi tamu celaka karena
menduduki si jadah itu. Kemudian muncul problem ketiga karena ternyata jadah
tadi busuk, begitu seterusnya sampai kita mencelakai anjing, mencelakai
orang-orang yang memanfaatkan air sungai dan mencelakai lingkungan hidupnya.
Ampuhnya
manusia Indonesia dalam menemukan bermacam kearifan ini tidak lepas dari
sejarah genetikanya. Kalau gen Arab dan Israel terjadi setelah Nabi Ibrahim,
gen orang Nusantara terjadi setelah Nabi Adam, di mana satu dari dua anaknya
yang tidak kembar menurunkan 2 anak; salah satunya melahirkan orang-orang
Nusantara. Maka kita punya kelengkapan-kelengkapan – ya teknologi eksternal, ya
kebatinan. Tapi justru karena kelengkapan ini kita hilang arah.
Sekitar
70 ribu tahun pertama, Bumi dihuni oleh bangsa jin. Gagal menjadi khalifah,
Tuhan menggantinya dengan banujan.Masih gagal setelah 8 ribu tahun,
diturunkanlah iblis dan malaikat untuk meneliti sebab kegagalan itu. Iblis
rupanya keasyikan di Bumi sampai beranak pinak sampai banyak – salah satu
jenisnya Homo erectus.
Ketika
kemudian Tuhan menciptakan khalifah Adam alaihissalam, yang enggan disuruh
sujud kepadanya adalah penghuni bumi yang sedang eksis kala itu, yakni iblis.
Mereka senior dari semua malaikat; lebih sepuh dan taat kepada Allah.
Adam
adalah manusia hibrida baru, insan kamil, ahsani taqwim, yang di dalamnya
terdapat seluruh unsur dari jagad raya. Adam beranak pinak sedemikian rupa
sampai terjadi distribusi ke Sunda Land, Toba, pasca banjir Nuh, dan
seterusnya.
“Yang
paling lengkap di muka bumi ini adalah Anda, maka jangan mau menjadi anak
buahnya siapapun.”
Kiaikanjeng
dan Mbak Via mengantar kembalinya peserta ke kamar masing-masing dengan medley
Nusantara. Potongan-potongan lagu daerah Bali, Jawa, Nusa Tenggara, Papua,
China, Maluku, Riau, Sunda, Palembang, Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan, dan
lagu nasional dirangkai apik dalam iringan gamelan.
Disampaikan Cak Nun dalam Rangka Konferensi Nasioanl Kearifan Local 2013
0 komentar:
Posting Komentar