"Manners Before Knowledge"

Sabtu, 21 September 2013

Ulang-Alik Hidup di Dunia



Ulang-Alik Hidup di Dunia

Ada Masjidil Haram ada Masjidil Aqsa. Ada kegembiraan, ada pula kesedihan. Terang – gelap, bahagia – menderita, jaya – bangkrut. Hidup adalah perjalanan ulang-alik di antara keduanya, hijrah terus-menerus. Maka manusia harus siap untuk menjadi dewasa di dalam kegembiraan maupun di dalam kesedihan. Banyak orang yang menjadi dewasa ketika susah, menjadi hebat kalau menderita, tapi rapuh begitu dia bahagia. Ada orang siap miskin tapi tidak siap kaya, ada yang siap kaya tidak siap miskin, dan ada yang tidak siap terhadap keduanya.

“Kalau Anda bahagia, ambil 10% darinya untuk sedih, untuk prihatin dan eling bahwa bersama kegembiraan ada kemungkinan akan muncul kesedihan. Ketika gembira jangan sampai 100% sampai lupa daratan. Sebaliknya kalau Anda sedang terpuruk, sedih, menderita, jangan 100% juga karena 10%-nya menggembirakan. Harus ada kegembiraan diam-diam karena dari kesedihan itu mungkin Allah akan memberikan kegembiraan yang lebih besar daripada yang Anda harapkan. Jangan sampai 100% sedih dan 100% gembira. Ini masalah noto ati.

Wilayah Bid’ah

Banyak orang membid’ahkan shalawat, misalnya, dengan dasar shalawat tidak dilakukan, diperintahkan, dan dianjurkan Rasulullah. Benar definisinya, tapi ada satu hal yang tidak mereka urus, yaitu soal wilayah. Padahal setiap hal punya ruang dan waktunya untuk berlaku. Kalau memang mau konsisten tidak bicara wilayah, berarti bersepeda motor, membentuk NU atau Muhammadiyah, memakai sarung, menggunakan telepon seluler, juga masuk dalam bid’ah.

Di dalam Islam ada yang namanya ibadah mahdloh atau rukun Islam, yaitu ibadah yang pengaturan prosedur pelaksanaannya ditetapkan oleh Allah. Di luar ibadah mahdloh, usaha-usaha manusia untuk mendekat kepada Allah masuk dalam wilayah muamalah. Shalawat, bikin tambak udang, Syawalan, itu termasuk dalam wilayah ibadah muamalah. Letaknya bid’ah adalah hanya di lingkup ibadah mahdloh.

Sementara ibadah muamalah, rumusnya adalah melakukan apa saja asalkan tidak melanggar syariat, tidak melanggar larangan-larangan Allah. Shalawat merupakan bentuk ibadah muamalah, yang ekspresinya boleh lewat ucapan, hati, maupun sikap – yang penting kita mengabdikan diri kepada Allah melalui ittiba’ Rasulullah.

“Shalawat itu kolusi. Anda minta tolong sama Tuhan itu belum tentu ditolong, tapi kalau Anda minta tolong dengan membawa nama Rasulullah, pasti ditolong. Shalawatan itu mempermudah tercapainya kehendak Anda dikabulkan oleh Allah. Saya menyebut ini sebagai cinta segitiga antara Allah, Rasulullah, dan kita. Allah bershalawat, Nabi bershalawat kepada Allah, Allah bershalawat kepada kita, kita bershalawat kepada Allah dan Nabi. Ini kemesraan kita dengan Allah dan Rasulullah.”
Mereka yang melarang-larang shalawat tidak mampu memahami kemesraan semacam itu. Mereka itu menjadi manusia saja belum, jangankan menjadi Muslim. Kalau manusia seharusnya mau bertegur sapa, kalau manusia seharusnya bisa menghargai manusia lainnya.

Roti dan Tai

“Anda ini ibarat makan roti; dari tadi Anda bersyukur atas hasil usaha budidaya Anda. Sementara banyak yang di luar sana sehari-hari makan tai, tapi karena kemampuan menderita yang luar biasa, mereka bisa terus survive. Maka terjemahan saya, saya diminta datang ke Tulangbawang untuk solusi, sementara ke sini untuk prevensi. Di sana untuk mengobati, di sini untuk njamoni, kasih vitamin-vitamin saja.”

Rakyat Indonesia yang tiap hari makan tai tadi, karena teknologi nrimo ing pandum-nya, mampu memaknai tai sebagai roti. Ini hebat, tapi begitu lewat sepuluh tahun, generasi berikutnya hanya tahu bahwa ada tai dan ada roti tapi tak mampu lagi membedakan keduanya. Mereka tidak mengerti apakah Jokowi, Prabowo, dan Wiranto itu roti atau tai.

Yang paling hancur adalah generasi ketiga – yang sekarang sudah muncul. Mereka tak lagi tahu bahwa ada wacana tai. Semua yang di depan mereka, mereka mengenalnya hanya sebagai roti. Televisi, koran, pilkada, semuanya roti di mata mereka.


Catatan Silaturahmi Inti Plasma di Desa Bumi Pratama Mandira Bersama Cak Nun 
Share:

0 komentar:

Posting Komentar

Lautan Jilbab

Pengunjung Blog

Posted by Arip. Diberdayakan oleh Blogger.

Pengikut