"Manners Before Knowledge"

Senin, 09 September 2013

Agama dan Budaya



Agama dan Budaya 

Yang berada dalam lingkup agama (religion) adalah hanya rukun Islam. Tapi Allah memberikan keluasan kepada manusia untuk kreatif mengungkapkan rasa keberagamaannya (religiosity) melalui bermacam-macam cara : memperindah masjid dan sajadah, mendayagunakan Idul Fitri untuk halal bihalal membangun silaturahmi, memperingati kesadaran sejarah dengan mudik, dan inovasi-inovasi lain. Yang pertama disebut ibadah mahdloh, sementara yang kedua kita kenal sebagai ibadah muamalah.

Komposisi ayat-ayat Al-Qur’an terdiri dari 3,5% ibadah mahdloh dan sisanya tentang ibadah muamalah. Di sinilah kita bisa mengidentifikasi letaknya bid’ah. Rumusnya ibadah mahdloh adalah jangan melakukan apapun kecuali yang diperintahkan Allah. Maka kalau kita mengubah redaksi kalimat syahadat, menambah gerakan shalat, itu merupakan bid’ah. Tapi di luar itu ada wilayah sangat luas yang dinamakan ibadah muamalah, di mana kita diperbolehkan melakukan apapun asalkan tidak melanggar syariat.

Maka orang-orang bertengkar mengenai boleh tidaknya bersalaman selepas shalat berjamaah. Padahal jangankan bersalaman, mau main musik pun boleh ketika shalat sudah selesai, dan tentu saja di tempat-tempat yang tepat.
Lalu orang juga bertengkar mengenai musik : haram atau tidak? Ada tiga unsur yang terkandung dalam musik, yakni bunyi, nada, dan irama. Kalau memang kita bisa menghindari ketiganya, bolehlah musik diharamkan. Padahal kita butuh bunyi untuk saling terhubung, kita melibatkan nada dalam berbicara, dan semua yang ada mempunyai iramanya masing-masing.

Mungkin yang tidak boleh bukan bermain gitarnya, bukan menyanyinya, melainkan pemilihan tempat dan waktu yang tidak tepat. Memusiki shalat, misalnya, atau menyanyi keras-keras saat tetangga sakit. Semua harus empan papan, tepat pada koordinatnya.

Cara mengidentifikasi mana agama mana bukan-agama adalah siapa yang menentukan tata cara ibadah mahdlohnya. Hanya Allah yang punya kewenangan untuk membuat agama. Maka Darmogandul, Kejawen, Kebatinan, NU, Muhammadiyah, itu semua posisinya bukan sebagai agama tapi sebagai upaya tafsir. Ia menjadi penting hanya ketika keberadaannya mendekatkan manusia kepada Allah.

Allah bikin ketela, lalu manusia mencerdasinya sehingga muncul gethuk, keripik, dan thiwul. Semua sama-sama boleh ada, tapi jangan sampai pelaku aliran gethuk memposisikan gethuk sebagai ketela sehingga merasa punya wewenang untuk mengharamkan eksistensi keripik dan thiwul. Ketiganya perlu saling berendah hati satu sama lain.

Tapi begitu ada yang merusak manusia, begitu ada yang menimbulkan keretakan sosial, pertikaian, pemerintah punya wewenang untuk melarangnya. Misalnya ketika aliran keripik membentuk Front Pembela Ketela untuk merusaki warung-warung yang buka selama siang Ramadhan, untuk menghancurkan masyarakat dengan mengatasnamakan ketela. Dengan memposisikan sebagai pembela ketela, dapat disimpulkan bahwa dia sedang mengatakan bahwa dia bukan merupakan bagian dari ketela dan dia lebih hebat dari ketela.


Muhammad Ainun Nadjib
Reportase Maiyahan di Pondok Pesantren Al-Fattah, Lamongan


Share:

0 komentar:

Posting Komentar

Lautan Jilbab

Pengunjung Blog

Posted by Arip. Diberdayakan oleh Blogger.

Pengikut