"Manners Before Knowledge"

Rabu, 04 September 2013

KUTIPAN MAIYAHAN BERSAMA CAK NUN



Bersama untuk Keutuhan               
Cak Nun mengajak peserta untuk mengambil pelajaran dari menyanyikan Indonesia Raya bersama di awal acara. Ekspresi menyanyi bersama sudah cukup untuk menunjukkan betapa pentingnya kohesi sosial. Itulah misteri musik; begitu dinyanyikan bersama-sama, semuanya menjadi pas tanpa fals.
Seorang Nabi pernah mengajarkan penataan barisan ketika shalat berjamaah. Barangsiapa robek bajunya di sebelah depan, dia menempati baris belakang. Barangsiapa robek bajunya di sebelah belakang, dia menempati baris depan. Kalau ada yang robek bagian kanan bajunya, dia mendapat tempat di kiri. Kalau ada yang robek bagian kiri bajunya, dia mendapat tempat di kanan. Diatur demikian rupa sehingga dari luar terlihat sebagai kesatuan yang utuh karena setiap unsur saling menutupi kekurangan masing-masing.
Untuk memberikan atmosfer yang sesuai dengan jiwa acara, Cak Nun meminta Mbak Via bersama Kiaikanjeng membawakan Indonesia Raya stanza kedua dan ketiga. Kalau stanza pertama membicarakan Indonesia sebagai wujud jasadiah, stanza kedua dan ketiga menampilkan yang lebih dalam daripada itu, yakni sifat Indonesia (tanah yang suci) dan dzat Indonesia (tanah yang mulia).
“Saya tidak tahu bagaimana pengaturannya secara konstitusional, tapi ada baiknya anak-anak muda diperkenalkan secara utuh tiga stanza lagu Indonesia Raya ini karena yang kedua dan ketiga menurut saya lebih mendalam dan mengandung nuansa-nuansa yang lebih tidak kering.”

Kearifan, Pengetahuan, dan Hikmah

Bahasa Indonesia dipilih sebagai bahasa nasional dari Bahasa Melayu pasar di Betawi, sehingga dia tidak punya kemampuan untuk menampung kayanya peradaban Nusantara. Ini seperti yang terjadi pada kata ‘kearifan lokal’ itu sendiri. Kata ‘arif’ berasal dari Bahasa Arab, yang artinya pengetahuan yang mendalam – jenis pengetahuan yang lain dari ‘alim’ (pengetahuan yang meluas).
Yang sebenarnya dituju maknanya oleh frasa ‘kearifan’ adalah ‘hikmah’, gabungan dari koordinat arif dan alim. Subyek yang memiliki hikmah namanya Hakim – yang karena sudah terlanjur dipakai untuk menyebut petugas Kehakiman, tidak mungkin lagi kita gunakan untuk menggambarkan orang yang memiliki wisdom.
Ketiadaan pendalaman secara sungguh-sungguh dalam Bahasa Indonesia ini menyebabkan kita kerepotan sendiri dengan kata-kata yang sudah terlanjur kita pakai dalam konstitusi. ‘Ketuhanan’ dalam sila pertama dasar negara kita, misalnya, menunjukkan bahwa kita tidak sungguh-sungguh melibatkan Tuhan dalam kehidupan bernegara kita.
Karena kearifan adalah hikmah, maka bicara kearifan lokal sebenarnya tidak terbatas secara statis pada padaidi padailo sipattuo sipatokkong, ing ngarso sung tulodho – ing madya mangun karso – tut wuri handayani, atau nilai-nilai lain yang sudah ada pada etnik-etnik tertentu. Setiap hari kita bisa menciptakan kearifan lokal karena lokalitas tidak sama dengan etnisitas. Lokalitas lebih cair sifatnya, sehingga seorang mahasiswa dan kaum intelektual bisa memiliki kearifan lokalnya masing-masing.

Belajar Tidak Terputus dengan Sejarah

Penataan letak tempat duduk yang melingkari meja-meja bundar di ballroom selama konferensi bukan merupakan inisiatif orang modern. Dulu pada zaman Majapahit, ada yang namanya upacara Kendi Mas di mana setiap 35 hari sekali lingkar-lingkar masyarakat dari setiap daerah commonwealth Majapahit berkumpul untuk bergiliran meminum air dari Kendi Mas lalu duduk melingkar.
Indonesia menjadi Indonesia yang sekarang ini karena kita sangat tidak bisa meneruskan kearifan lokal kita pada zaman dulu. Posisi Gajah Mada ketika itu adalah sebagai kepala pemerintahan atau perdana menteri, sementara Hayam Wuruk sebagai kepala negara. Hayam Wuruk tidak boleh mengeksekusi, tapi Gajah Mada juga tidak boleh melakukan apapun tanpa perundingan dengan Hayam Wuruk.
Sekarang kita tidak membedakan kepala negara dengan kepala pemerintahan, tidak bisa membedakan mana lembaga negara mana lembaga pemerintah, sehingga terjadi kerancuan-kerancuan dalam konstitusi dan pelaksanaan birokrasi. Komisi Yudisial, Mahkamah Agung, Komisi Pemberantasan Korupsi, dan Badan Pemeriksa Keuangan mestinya merupakan lembaga negara. Mestinya Ketua KPK dilantik oleh Ketua MPR, bukan oleh presiden karena justru presidenlah orang yang paling harus diawasi oleh KPK. Maka tidak mungkin KPK mengambil orang yang melantiknya sebagai terdakwa.
“Saya bukannya mau mengubah Indonesia dari negara kesatuan menjadi persemakmuran, tapi saya ingin menunjukkan bahwa aspirasi dari kearifan lokal kita sebenarnya luar biasa.”

Tiga Hipotesis atas Konflik Sosial

Merebaknya konflik-koflik sosial di banyak titik di Indonesia mungkin disebabkan oleh tiga butir hal berikut ini :
1. Belum adanya landasan untuk rukun, yaitu keadilan sosial, ekonomi, dan manajemen pemerintahan yang bagus. Dengan begitu, masyarakat tak pernah terpuaskan hatinya karena hak-hak dasar mereka sebagai warga negara belum pernah terpenuhi secara seksama.
2. Kita tidak bisa menghalangi merebaknya materialisme, kapitalisme, dan industrialisme yang melahirkan egoisme kepentingan dan kerakusan-kerakusan di segala bidang bahkan sampai di wilayah-wilayah yang seharusnya tidak dikapitalkan, misalnya wilayah agama, kebudayaan, kesehatan, dan pendidikan.
3. Ketidakrelaan internasional terhadap kerukunan negara Indonesia. Indonesia diprovokasi sedemikian rupa supaya rapuh sehingga sangat mudah dijajah tanpa melalui penyerbuan seperti di Iraq dan Afghanistan, atau melalui pembunuhan pemimpinnya seperti yang terjadi pada Saddam Husein dan Khadafi, atau melalui provokasi ekstrim seperti di Mesir dan Syiria. Ada celah-celah di Indonesia di mana tidak ada kohesi sehingga Trio Amerika Serikat – Israel – Arab Saudi dapat dengan mudah  melakukan infiltrasi sampai ke Perda-Perda, rapat-rapat DPRD sampai DPR. Seluruh tatanan perundang-undangan kita beberapa tahun terakhir sudah sangat diwarnai kepentingan mereka.

Menjadi Sebenar-Benarnya Diri Sendiri

Taruhlah Indonesia itu gado-gado yang disusun oleh sangat banyak unsur. Untuk menjadi gado-gado yang sehat dan enak, cabenya harus benar-benar cabe, bawangnya harus bawang beneran, dan seterusnya. Setiap unsur harus membina dirinya menjadi sebaik mungkin.
Ketika Tuhan memerintahkan kita untuk lahir di Papua, misalnya, wajib hukumnya bagi kita untuk menjadi orang Papua dan mengembangkan kepapuaan kita demi Indonesia. Maka yang ada adalah orang Indonesia Papua, Indonesia Bugis, Indonesia Mandar, Indonesia Jawa, dan seterusnya. Indonesia tidak menghilangkan daerah-daerah, tidak menomorduakan Papua atau Jawa.
Terhadap kokok ayam orang Jawa menyebutnya dengan kukuruyuk, orang Sunda mengenalinya sebagai kongkorongkong, orang Madura menggambarkannya dengan bunyi kukurunuk. Banyak orang bertengkar karena masing-masing bertahan bahwa versinyalah yang benar dan dengan begitu yang lain salah. Padahal kalau mau cari benarnya, yang benar ya kokok ayam itu sendiri.
Tuhan memberikan ketela, lalu oleh manusia dielaborasi secara kultural menjadi gethuk, keripik, dan thiwul.Ini merupakan langkah arif, tapi begitu kelompok-kelompok ini menyangka bahwa dirinya adalah ketela itu sendiri, terjadilah pertengkaran-pertengkaran. Di Indonesia, banyak sekali kiai yang datang membawa gethuk dan menginformasikan kepada umat bahwa itu ketela.

Enkripsi Kearifan Lokal dalam Lagu Anak-Anak

Di Jawa, kearifan lokal terutama disimpan dalam lagu anak-anak. Gundul-GundulPacul, misalnya, menyimpan pesan kepada para pemimpin untuk tidak menaruh bakul kesejahteraan rakyat kecuali di atas kepala – lebih penting dari jabatannya, lebih penting dari ambisi-ambisi pribadinya.
Ajaran lain juga bisa kita dapatkan melalui sindiran lokalitas Jawa dalam lagu E Dhayohe Teka. Bahwa ketika kita berkepanjangan salah manajemen, problem berkembang sesuai deret ukur. Yang ada, solusi belum tertemukan malah menambah problem-problem baru.
Diceritakan pada awalnya datang tamu, lalu kita gelarkan tikar untuknya.Ini masih benar. Tapi ternyata tikar itu robek, lantas kita menambalnya dengan jadah. Sudah jelas tidak mampu menutupi robeknya tikar, ditambah lagi tamu celaka karena menduduki si jadah itu. Kemudian muncul problem ketiga karena ternyata jadah tadi busuk, begitu seterusnya sampai kita mencelakai anjing, mencelakai orang-orang yang memanfaatkan air sungai dan mencelakai lingkungan hidupnya.
Ampuhnya manusia Indonesia dalam menemukan bermacam kearifan ini tidak lepas dari sejarah genetikanya. Kalau gen Arab dan Israel terjadi setelah Nabi Ibrahim, gen orang Nusantara terjadi setelah Nabi Adam, di mana satu dari dua anaknya yang tidak kembar menurunkan 2 anak; salah satunya melahirkan orang-orang Nusantara. Maka kita punya kelengkapan-kelengkapan – ya teknologi eksternal, ya kebatinan. Tapi justru karena kelengkapan ini kita hilang arah.
Sekitar 70 ribu tahun pertama, Bumi dihuni oleh bangsa jin. Gagal menjadi khalifah, Tuhan menggantinya dengan banujan.Masih gagal setelah 8 ribu tahun, diturunkanlah iblis dan malaikat untuk meneliti sebab kegagalan itu. Iblis rupanya keasyikan di Bumi sampai beranak pinak sampai banyak – salah satu jenisnya Homo erectus.
Ketika kemudian Tuhan menciptakan khalifah Adam alaihissalam, yang enggan disuruh sujud kepadanya adalah penghuni bumi yang sedang eksis kala itu, yakni iblis. Mereka senior dari semua malaikat; lebih sepuh dan taat kepada Allah.
Adam adalah manusia hibrida baru, insan kamil, ahsani taqwim, yang di dalamnya terdapat seluruh unsur dari jagad raya. Adam beranak pinak sedemikian rupa sampai terjadi distribusi ke Sunda Land, Toba, pasca banjir Nuh, dan seterusnya.
“Yang paling lengkap di muka bumi ini adalah Anda, maka jangan mau menjadi anak buahnya siapapun.”
Kiaikanjeng dan Mbak Via mengantar kembalinya peserta ke kamar masing-masing dengan medley Nusantara. Potongan-potongan lagu daerah Bali, Jawa, Nusa Tenggara, Papua, China, Maluku, Riau, Sunda, Palembang, Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan, dan lagu nasional dirangkai apik dalam iringan gamelan. 

Disampaikan Cak Nun dalam Rangka Konferensi Nasioanl Kearifan Local 2013
Share:

0 komentar:

Posting Komentar

Lautan Jilbab

Pengunjung Blog

Posted by Arip. Diberdayakan oleh Blogger.

Pengikut